www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-08-2020

Siapa bilang otoritarianisme hanya berurusan dengan laras panjang? Gramsci membedakan antara war of position dan war of maneuver. Maka bisa dikatakan juga kemudian otoritarianisme akan menaruh perhatian lebih pada dua hal tersebut. Modo de proceder-nya, cara bertindaknya bisa berbeda menyesuaikan ‘semangat jaman’. Tetapi sejak dulu otoritarianisme pada dasarnya adalah sama: mono-arki. Sifat ke-mono-an, ke-tunggal-annya seakan tidak mau digoyah. Bahkan dan terlebih terkait dengan apa yang namanya sebagai ‘prosedur demokrasi’ itu.

Maka esensi dari otoriter bukanlah pertama-tama pada soal penggunaan arche, penggunaan kekuasaan di tangan untuk menindas misalnya, tetapi adalah soal mempertahankan hegemoni. Soal ‘merawat’ arche terutama sifat ke-hirarki-annya. Soal perebutan kekuasaan yang seakan ‘dinihilkan’. Atau jelasnya, penggunaan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam ranah demokrasi, ‘segala cara’ itulah yang mau dilawan dengan disepakatinya modo de proceder, cara bertindak tertentu yang memungkinkan perpindahan kekuasaan melalui cara-cara atau prosedur-prosedur demokrasi. Jika di abad 20 dikenal adanya benevolent authoritarianism itu memang dimungkinkan. Pergantian kekuasaanlah yang seakan ‘dinihilkan’ –sehingga jadilah otoriter, tetapi penggunaan arche kemudian memang terbukti meningkatkan kesejahteraan umum yang signifikan. Tetapi kita harus ekstra hati-hati dalam menghayati soal ‘kediktatoran yang baik hati’ ini. Sejarah mencatat, justru sebagian besar diktator adalah ‘tidak baik hati’.

Maka bukannya tanpa alasan jika para diktator itu kemudian ada yang menyebut sebagai ‘pembunuh demokrasi’. Baik ‘pembunuhan’ secara langsung atau bagai seekor kucing yang mempermainkan tikus yang ditangkapnya, membuat ‘demokrasi seolah-olah’. Para diktator itu pada dasarnya adalah juga seorang ‘pembunuh berantai’. Yang ‘dibunuh’ adalah kebebasan. Kebebasan terutama yang memungkinkan untuk adanya pergantian pemegang kekuasaan. ‘Berantai’ karena pasti itu akan berulang dan akan diulangi lagi jika perlu. Berulang karena kebebasan tidak akan pernah berhenti untuk diperjuangkan. Dimanapun.

Ketika ‘semangat jaman’ memaksa modo de proceder pada yang ber-DNA otoriter berubah, dengan tidak bisa lagi menempatkan laras panjang berdiri paling depan, maka taktik yang dekat dengan ranah war of position-pun akan digelar. Atau kalau memakai istilah Joseph Nye Jr., di ranah soft power. Tetapi di dunia ini tetaplah masih banyak orang macam Donald Rumsfeld, mantan menteri pertahanan AS yang ketika ditanya soal soft power, jawabnya singkat: kagak tahu tuh apa itu soft power! Di kepalanya isinya adalah gelut-jotosan saja. Dan tidak sepenuhnya salah memang, kata Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari politik. Atau bisa kita baca, biar politik berdaya-guna secara efektif, maka dia harus pandai menggertak. Gertak sebagai satu bentuk terdepan dari perang, gelut-jotos-jotos-an.

Tetapi demokrasi kan tidak mengenal jotos-jotos-an dalam arti betul-betul adu jotos. Duel sampai berdarah-darah. Tidak ada yang namanya non-violence-democracy itu karena demokrasi pastilah tanpa kekerasan. Contradictio in terminis. Bagaimana kemudian yang ber-DNA otoriter itu kemudian bertingkah dalam situasi ketika kebebasan menjadi begitu peka terhadap pembatasan-pembatasan? Bagi pengagum Donal Rumsfeld di atas tentu ia akan berharap kebebasan minim pembatasan itu pada satu titik justru berujung pada ketidak-tertiban yang ugal-ugalan sehingga dapat menjadi alasan kekuatan kekerasan laras panjang untuk maju di depan. Menjadi sah.

Tetapi di atas adalah ‘skenario’ terakhir –untuk jaman now, ‘jaring pengaman’ yang mungkin baru ada dalam imajinasi saja. Maka bukan kebebasan yang dibatasi, tetapi isinya yang diacak-acak. Katanya, ini jaman post-truth, jadi ngibul apapun boleh. Padahal dibalik post-truth itu sebenarnya adalah intensifnya inter-subyektifitas. Keterbukaan untuk tidak hanya saling isi, tapi juga saling uji. Klaim-klaim raksasa-pun bisa-bisa bercampur-baur dalam inter-subyektifitas ‘pinggiran’. Sama-rata-tidak-sama-rasa, dan penuh trial-error. Menjadi serasa diacak-acak ketika error kemudian dinihilkan. Maka sifat otoriter-pun mulai merekah, merasa paling benar sendiri. Asal njeplak karena error sudah dinihilkan. Menjadi tuli karena merasa tidak ada yang salah. Fanatisme-pun merekah bak alang-alang di musim hujan. Dan selamat datang ‘kediktatoran kognitif’ itu. Ketika para ‘pembunuh berantai’ akal sehat itu seakan sedang menari mengejek khalayak. Bertubi-tubi. Kalau gué mau njeplak-ngibul seperti ini, emang lu mau apé? Gitu kira-kira semboyannya. Kalau kepèpèt? Maka jotosan-duelpun akan disiapkan. At all cost. Rusak-rusakan. *** (08-08-2020)

Akal Sehat dan Pembunuh Berantainya