www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-07-2020

Kok semakin lama rasa-rasanya kita sedang napak tilas Orde Baru bersama ‘orang-baik’ itu ya ... Dulu sekali, pada awalnya adalah gelut antara si’merah’ melawan si’hijau’. Apapun penyebabnya. Siapapun yang ada di depan, di tengah atau di belakangnya, faktanya: gelut. Gelut -berkelahi, sungguhan dan sungguh mengerikan. Siapa yang menang? Bukan keduanya, bukan salah satunya, tetapi ternyata dikemudian hari yang muncul adalah si’kuning’. “Yellow submarine” demikian Ringo Starr berdendang di tahun 1966. Bukan partai, tetapi selalu ikut pemilu di hampir 30 tahun kemudian. Dan selalu menang, tuh. Telak, lagi. Soal dominannya laras panjang? Itu adalah modo de proceder yang menyesuaikan ‘semangat jaman’. Tentu tidaklah ‘sekedar’ saja mengingat dalam-luas dampaknya. Yang ingin ditekankan di sini adalah soal modo de proceder, cara bertindak. Cara bertindak yang menyesuaikan ‘semangat jaman’ dan situasi riil di depan mata.

Soal ‘bipolaritas’ power di tingkat global saat itu tentu akan sangat berpengaruh, tetapi jika power (lokal) dipegang oleh yang kuat maka bisa kita lihat ‘rentang-kekuasaannya’ akan didisain lebih sempit. Cukup akhirnya 3 peserta pemilu misalnya, kuat-lah power di tangan untuk mengelolanya. Devide et impera secara ‘terbalik’. Ketika ‘multi-polaritas’ power di tingkat global mulai merekah, dan kekuasaan ‘unipolar’ selama lebih dari 30 tahun itu runtuh maka dapat kita lihat dengan mata sekarang, bagaimana kemudian kekuatan itu ‘dipecah-pecah’. Apapun alasan atau caranya. Atau dramanya. Atau ‘benturan’-nya. Asli atau tidak benturan / dramanya, kalau kita berandai-andai, jika semua yang berasal atau ber-asal-usul dari si-‘kuning’ itu dijumlahkan, tetaplah ia merupakan ‘mayoritas’. “Modo de proceder’-nya berubah sesuai dengan ‘semangat jaman’ dan situasi riil yang berkembang di depan mata. Jika yang punya asal-usul jelas itu kemudian ada yang ‘nakal’ maka tindak ‘pendisiplinan’-pun akan dilakukan. Banyaklah cara. Tidak sulit itu, terlalu banyak ‘infiltrat’ bertebaran di sana-sini. Mau halus sampai kasar, siap. Intinya, siap dipecah juga harus siap disatukan (lagi).

Tetapi kita juga tidak boleh lupa dengan ‘hikayat politik pintu terbuka’. Sejak jaman dulu yang namanya ‘pintu terbuka’ itu sudahlah ada, entah sebelumnya ‘pintu’nya itu tertutup rapat, terbuka sedikit, atau bahkan tanpa pintu lagi. Tetapi segera juga kita akan bisa melihat bagaimana soal ‘buka-tutup-pintu’ ini dapat berkembang dalam berbagai cerita, dari Perang Candu sampai Restorasi Meiji. Dari Columbus sampai VOC. Dari suku Aborigin sampai suku-suku asli Amazon. Mengapa? Karena kita tidak hidup seperti bermacam binatang di kepulauan Galapagos itu.

Jika Orde Baru dilihat dan dihayati dari ‘hikayat politik pintu terbuka’ maka itu adalah sebuah peristiwa kedua jika kita memaknai tahun 1870 sebagai ‘politik pintu terbuka’ pertama seperti digambarkan oleh si-Bung dengan gaya khasnya. Pasca Perang Dunia II dengan segala penataan-ulangnya membuat di sebagian belahan dunia merasakan ‘the golden age of capitalism’. Adanya istilah ‘baby-boomers’ mengindikasikan istilah “the golden age” itu tidaklah asal saja. Dan sayangnya, soal imperialisme itu ternyata Marx benar lagi. Singkat cerita, UU pertama di tahun 1967 adalah soal penanaman modal asing. Bukan soal onta-anti-asing dalam hal ini, tetapi adalah fakta yang memang harus disadari bersama. Fakta bahwa kita hidup tidak di Galapagos. Dan apakah soal penanaman modal asing itu selalu berdampak negatif? Tidaklah, banyak komunitas yang mampu mengelolanya dengan baik dan dapat meraih banyak keuntungan juga dengan adanya bermacam investasi itu.

Yang ingin ditekankan dalam tulisan ini adalah juga soal ‘hikayat politik pintu terbuka’ (dan pengaruhnya terhadap modo de proceder) yang itu sebenarnya bisa kita lihat di gejolak 1998. Politik pintu terbuka ketiga. Politik pintu terbuka era ‘imperium’ globalisasi pasar bebas neoliberalisme. Jika melihat ‘tanda-tanda jaman’, naiknya Thatcher, Reagen dan perestroika/glasnostnya Gorbachev serta perubahan yang diusung Deng Xiao Ping, ‘semangat jaman’ waktu itu memang sedang bergerak dinamis. Salah satu puncaknya adalah runtuhnya Tembok Berlin di tahun 1991. Dan tentu juga pecahnya USSR. Sebuah dinamika yang dimulai dari ‘pusat-pusat kekuatan dunia’ itu akhirnya gelombangnya juga menerjang ‘negara-negara perifer’. Dan mungkin saat itu di awal dekade 1990-an ‘pintu gerbang nusantara’ juga sudah digedor-gedor untuk dibuka semakin lebar lagi. Jika kita ‘mengumpulkan’ dinamika dalam negeri di dekade 1990-an itu maka akan terasa panas-dinginnya, dalam bermacam wajahnya. Macam-macam. Sayangnya, bagi ‘mereka’ tentunya, pemilu 1999 ternyata dimenangkan oleh partai yang gambaran peristiwanya sangat berlawanan dengan semangat ‘floating mass’ yang sudah merupakan ‘strategi’ paten ‘mereka’. Singkat cerita, model ke-partai-an yang seperti itu sungguh tidak kompatibel dengan ‘maunya-mereka’. Kalau kita lihat lebih dalam lagi, maka itu menimbulkan juga pertanyaan, mengapa ‘biaya politik’ itu dari pemilu-ke-pemilu kok semakin mahal? Kebetulan? Kata banyak orang dalam politik soal kebetulan itu adalah barang mewah. Dan ketika ‘kuda hitam’[1] semakin dominan, seperti dikatakan Platon, hidup (ke-partai-an) sangat tergoda untuk ‘meluncur ke bawah’.

Maka cara bertindak, modo de proceder-pun bergeser. Jika dipaksakan dengan memakai kekuatan kekerasan seperti jaman old maka akan dimaki oleh ‘semangat jaman’. Dari segala penjuru. Jadilah ‘kekuatan uang’ kemudian menjadi ‘panglima’-nya. “Accumulation by dispossession,” demikian David Harvey mengingatkan wujud sebenarnya dari kekuatan uang yang sedang jadi ‘semangat jaman’ itu. Tentu dimana-mana soal uang tidak pernah berdiri sendiri, ia akan lekat dengan kekerasan juga. Tetapi karena ‘semangat jaman’ maka yang hadir adalah pidato soal ‘ketertiban dan keamanan’. Bukan perang. ‘Tertib’ tidak macam-macam sambil menonton gelaran ‘accumulation by dispossession’ itu dan soal ‘mengamankan’ hasil-hasil yang diperoleh ‘mereka’. Soal hadirnya ‘politik pintu terbuka’ bisa dilihat dari kerasnya perdebatan antara ‘kubu keadilan’ dan ‘kubu efisiensi’ dalam amandemen UUD 1945 di awal-awal reformasi. Akhirnya kompromi, dan muncullah istilah ‘efisiensi berkeadilan’ itu. Bagaimana ini dalam praktek? Tidak mudah, sangat tidak mudah.

Soal ‘napak tilas’ yang disinggung di awal tulisan, banyaklah kesesuaiannya. Terlalu telanjang, terlebih di ‘periode tanpa beban’ ini. Dan di pojok sana, ada yang sedang bersuka ria sambil minum bir, dan berdendang bersama Ringo Starr, John Lennon, Paul McCartney, dan George Harrison: “We all live in a yellow submarine, yellow submarine, yellow submarine ...” Jrèng ... jrèng ... jrèng ... Dan si-merah-pun sedang cekot-cekot ndas-é. *** (21-07-2020)

 

[1] Dalam alegori Kereta Peang-nya Platon

Yellow Submarine