www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-07-2020

Untuk sebuah kerajaan atau kekaisaran, bahkan seorang Pu Yi yang berumur 2 tahun-pun bisa diangkat sebagai kaisar. The Last Emperor. Tidak usah perlu repot-repot mèjèng pakai masker bergambar mèlèt-mèlèt itu. Atau mèjèng sambil menenteng es teh dalam kantong plastik dan kemudian ramai-ramai didramatisir. Oleh pasukan horé-nya. Kalau itu ada yang melakukan? Lihat dulu siapa orang-tuanya. Jika orang-tuanya petinggi republik misalnya, maka mungkin ia sedang merasa sebagai seorang Pu Yi milenial.

Dinamika sebuah kerajaan adalah soal tarik dan tekan. Tarik sebanyak mungkin kaum bangsawan, dan tekan sebanyak mungkin bagi rakyat. “How does one man assert his power over another, Winston?” Winston thought. “By making him suffer,” he said. “Exactly. By making him suffer. Obedience is not enough.” Demikian penggalan novel 1984 karya George Orwell. Maka kesewenang-wenangan-pun justru dipertontonkan. Mengapa? Bahkan khalayak diam saja masih belum cukup, tetapi perlu dihadirkan di depan mata bagaimana power itu bisa menyakiti siapa saja tanpa sungkan lagi. Jika upeti kurang, jangan sungkan tambah lagi! Jika rakyat mulai gelisah? Untuk itulah ada mekanisme tarik. Menarik kaum bangsawan untuk berpihak pada raja, dan dengan segala fasilitas yang ditawarkan maka kaum bangsawan itu diminta untuk secara langsung menghadapi rakyat yang gelisah itu.

Apa fasilitas yang ditawarkan sang raja bagi kaum bangsawan? Selain ‘tanah-perdikan’ misalnya, adalah juga kesempatan untuk melakukan apa yang sering dikenal sebagai korupsi-kolusi-nepotisme itu. Siapa yang tidak ingin kenikmatan tanpa ujung? Dan siapa yang tidak ingin anak-keturunannya terjamin kelangsungan hidupnya? Yang namanya korupsi-kolusi-nepotisme itu pastilah pertimbangan soal meritokrasi ada di nomer sekian. Tetapi bagaimana soal korupsi-kolusi-nepotisme ini dalam praktek dapat menjadi pondasi utama bagi tegak-berdirinya kerajaan yang sudah di depan mata itu? Soal korupsi mudah, cukup si-raja membuat ‘tim pemburu koruptor’ maka korupsi dari para bangsawan loyal akan aman sentosa.

Soal nepotisme agak susah karena tidak mungkin dibentuk ‘tim pemburu nepotem’. Satu-satunya cara untuk meyakinkan adalah proses habitualisasi, pembiasaan. ‘Habitus baru’.[*] Atau lama yang belum sempat terkubur dalam-dalam justru dibangkitkan lagi? Dan pembiasaan yang paling efektif adalah jika itu dimulai dari yang memegang power. Yang lain tinggal meniru saja. Aman.

Tetapi sejarah telah memberikan pelajaran mahal dari hikayat ‘kerajaan’ seperti di atas. Ketidak-adilan akan semakin dihayati dan dirasakan proses-proses molekulernya yang terus menyelusup ke dalam pori-pori hidup bersama. Dan ketika sebuah katalis datang mendekat maka spiral kekerasan kemudian bisa tiba-tiba saja ada di depan mata. Uskup Dom Helder Camara (1909-1999) salah satu tokoh Teologi Pembebasan telah menunjukkan hal tersebut. *** (17-07-2020)

 

[*] Mohon maaf monsinyur ...

Habitualisasi