www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-07-2020

Yang terakhir adalah istilah new normal diganti dengan adaptasi kebiasaan baru. Atau aksi mobil VVIP isi bensin di tengah khalayak. Sebelumnya jika kita deretkan bermacam ‘kedunguan’ dan aksi dramaturgi, serta bentuk lainnya, seakan khalayak sedang menghadapi sebuah ‘patroli opini’. Silih berganti seakan ‘masing-masing’ mendapat jatah ronda opini publik. De-politisasi itu perlahan merangkak menuju puncaknya. Setelah potensi munculnya oposisi kuat dipreteli, dan potensial lebih dipreteli lagi, ‘kanal lawan-kawan’ melalui bermacam benturan opini-pun kemudian digarap habis-habisan. Tidak hanya soal pembatasan melalui bermacam bentuk ancaman, tetapi juga dialihkan dengan hal-hal yang jauh dari esensi. Bahkan mendekati kedunguan total. Diobok-obok tanpa putus oleh para buzzerRp bangsat itu. Rasanya sebagian besar media mainstream yang di tangan masih dirasa belum cukup.

De-politisasi adalah lebih dari sekedar misalnya, NKK-BKK seperti jaman old. Tetapi adalah ketika politik dicerabut dari alasan adanya, the political. Yang menurut Carl Schmitt adalah adanya pembedaan antara lawan dan kawan. Dalam nuansa sekarang ini, pendapat Karl Polanyi di tahun 1944 soal double movement kiranya akan sangat membantu: The one was the principle of economic liberalism, aiming at the establishment of a self-regulating market, relying on the support of trading classes, and using largely laissez-faire and free trade as the methods, the other was the principle of social protection aiming at the conservation of man and nature as well as productive organization ...... and using protective legislation, restrictive assosiation, and other instrument of intervention as its methods.”[1] [2] Maka dapat dirasakan bahwa yang terjadi di NNI[3] jaman now sebenarnya adalah pembedaan antara pendukung aliran self-regulating market ala neoliberalisme (dengan accumulation by dispossession-nya) dan ‘the other’ seperti kutipan pendapat Karl Polanyi di atas. Bukan lagi semata antara si-kapitalis dan proletar, atau penjajah dan yang dijajah, tetapi jika meminjam istilah Antonio Negri, Empire dengan segala para ‘bangsawan’nya dan ‘multitude’.

Kekuasaan empire ini dapat kita rasakan dari yang ‘nampak biasa’ saja, misalnya, dari sering tidak efektifnya seruan boikot terhadap produk tertentu. Bagaimana kekuatan ‘gaya’ konsumsi atau sihir dari ‘luxury goods’ misalnya, tanpa sadar sudah begitu dalam menguasai hidup kita sehari-hari. ‘New normal’ itu sudah sedemikian mengontrol hidup kita. Seakan-akan hidup keseharian sudah dikontrol sedemikian rupa, dan sulit untuk menghindar lagi. Tetapi meski seakan sudah begitu merasuki kehidupan, asal-muasal lahirnya power ini mestinyalah dapat dijelaskan. Karena adanya bukanlah satu bentuk mukjizat yang hanya bisa diraba dengan mata iman. Multitude salah satunya bisa kita bayangkan misalnya terkait dengan merebaknya demonstrasi Black Lives Matter itu di banyak penjuru dunia. Yang ternyata tidak hanya diikuti oleh kulit hitam saja, tetapi dari bermacam latar belakang.

Maka, apakah itu satu bentuk baru dari ‘teori ketergantungan’ (dependency theory), ala abad informasi? Ketika para elit dari ‘negara perifer’ itu kemudian seakan terserap sebagai bagian dari para bangsawan-nya ‘empire’? Yang bagi bangsanya bermacam keputusan dan perilakunya sungguh sulit dijelaskan, tetapi menjadi mudah dijelaskan jika kacamata kepentingan ‘empire’ dipakai? Yaitu, (salah-satunya) menjinakkan si-‘multitude’ itu? Yang siapa tahu akan mendapatkan momentum politiknya untuk bergerak dalam gerakan nation lives matter. Nation lives matter yang bergerak ketika kesempatan untuk hidup lebih baik begitu saja dirampas melalui berbagai modus accumulation by dispossession dengan segala kebrutalannya. Kemana saja tuh 900 T itu? Akan kemana nasib BUMN-BUMN itu? Jalan-jalan tol itu? Kasus Jiwasraya? Nasib anak-cucu menanggung utang? Kekayaan-kekayaan alam republik? Dan banyak lagi. Siapa lawan, siapa kawan bisa menjadi sangat jelas. Hal jelas yang sudah tidak mempan lagi untuk dipermainkan atau di-adu-domba. Jika black lives matter di AS sono berujung dengan reformasi lembaga kepolisian secara mendasar, maka coba bayangkan jika di NNI kemudian merebak nation lives matter itu. Jika sudah sampai pada titik ini maka sikap hati-hati juga perlu ditingkatkan. Logika penguasaan: jika satu terlalu kuat untuk dikuasai, ya dipecah. Balkanisasi. Sejarah mengajarkan hal tersebut pada kita. *** (12-07-2020)

 

[1]Karl Polanyi, The Great Transformation, hlm. 138-139

[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.

com/560-Kanan-kiri-dan-Retorikanya/

[3] NNI = Negara Neoliberal I (baca: i saja)

Patroli Opini