www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-07-2020

All significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts not only because of their historical development – in which they were transferred from theology to the theory of the state, whereby, for example, the omnipotent God became the omnipotent lawgiver – but also because of their systemic structure,” demikian ditulis Carl Schmitt dalam Political Theology yang terbit pertama kali dalam bahasa Jerman di tahun 1922.[1] Yang lebih dibahas Carl Schmitt mungkin dinamika di Eropa sana, dimana di awal modernitas merebak juga ‘pendekatan teologi’: deisme.

Mungkin mendekati bayangan Carl Schmitt adalah model monarki konstitusional seperti Inggris. Atau pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Dimana raja/ratu atau kepala negara seakan menjaga jarak atas ‘urusan duniawi’ yang penuh dinamika dengan segala ‘kekotoran’nya. Tetapi meski berjarak ia tetap mempunyai hak ketika ‘urusan duniawi’ itu mengalami situasi menuju chaos. Lalu bagaimana dengan yang tidak mempunyai raja/ratu, atau kepala negara dan kepala pemerintahannya menjadi satu? Nampaknya para hakim-lah kemudian dalam posisi menjaga ‘kosmos’, tertib-semesta, terutama para hakim agung-nya. Maka rekrutmen para hakim kemudian tidak main-main lagi, terlebih urusan hakim agung-nya. Karena dalam keseluruhan tatanan ia akan ditempatkan di tempat yang sungguh-sungguh terhormat. Sedikit banyak kita rasakan ketika kepala negara dan kepala pemerintahan itu mejadi satu dan jika kemudian urusan per-hakim-an ini terlalu sering menampakkan lubang hitamnya, tertib tatanan bisa menjadi begitu mudah goyangnya. Karena dari lubang hitam itu kemudian keluarlah dengan segala ledakan energinya, si-mamon. Jauh sebelum agama-agama monoteis berkembang, manusia telah mengembangkan ‘tehnologi’ yang dibayangkan akan membantunya mengubah chaos menjadi kosmos: axis mundi.

Tetapi sering ‘manusia yang penuh dosa’ itu untuk dapat membangun ‘tertib tatanan’ tidak hanya cukup dengan ‘kabar baik’ saja, maka ‘bayang-bayang’ kematian-pun kemudian menjadi ‘exeption’ sendiri yang itu melanjut pada ‘hak prerogratif’ dari Sang Pemberi Hidup. Untuk itu kemudian ada ‘malaikat pencabut nyawa’. Yang mungkin kemudian ‘disekulerkan’ dalam bentuk intelijen. Maka intelijen yang bekerja ‘seperti pencuri di malam hari’ itu-pun semestinya rekrutmennya tidak boleh main-main. Jika ada pembedaan antara loyalitas negara dan rejim, ia semestinya ada di loyalitas negara. Tidak jauh sebenarnya dengan yang pegang senjata, bedanya yang ini tidak bekerja ‘seperti pencuri di malam hari’ dan pertama-tama bukan untuk ‘mencabut nyawa’ tetapi untuk perang.

Urusan ‘nyawa’ dalam ranah demokrasi ini bisa berkembang tidak hanya soal berhentinya nafas seorang manusia, tetapi juga ‘nyawa opini publik,’ misalnya. ‘Nyawa opini publik’ yang bisa-bisa terus tiada henti dipermainkan. Bahkan kadang benar-benar dihilangkan, dengan berbagai macam cara. Opini publik yang digambarkan Ortega y Gasset sebagai pusat gravitasinya politik.

Ketika kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi satu dan para-hakim-agung-nya terlalu sering membuka ‘lubang hitam’, dan yang pegang senjata serta ‘para pencabut nyawa’ itu kemampuan menahan dirinya kelas medioker, maka rejim ugal-ugalan-pun bisa-bisa tiba-tiba saja hadir di depan mata. Tidak ada lagi ‘axis mundi’. Chaos. Maka terkait dengan putusan MA gugatan Rachmawati untuk pilpres 2019 lalu, yang diunggah ke publik berbulan kemudian –baru-baru ini, itulah puncak gunung es salah satu mengapa republik seakan terus tersendat dalam kemajuannya. Lebih dari sah atau tidaknya sebuah rejim. *** (08-07-2020)

 

[1] Carl Schmitt, Political Theology Four Chapters on the Concept of Sovereignty, The MIT Press, 1988,  hlm. 36

Para 'Malaikat' Pencabut Nyawa