www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-07-2020

Sedalam, seluas apapun soal globalisasi, selama belum ditemukan adanya makluk cerdas luar angkasa (alien) dan terjadi interaksi yang intens dengan mereka, maka bicara soal negara-negara tetaplah relevan. Negara dalam praktek hanya bisa dihayati melalui orang-orang kongkret yang mengelolanya. Dan dinamika negara semestinya ada di ruang antara (in-between), ruang antara dari apa yang seharusnya dan yang senyatanya ada. Seorang negarawan adalah yang sesadar-sadarnya ia ada di ruang itu. Politik riil juga ada di ruang antara itu. Ia (semestinya) berurusan dengan yang masih mungkin dicapai saat itu atau beberapa tahun ke depan, di jalan antara yang senyatanya ada dan yang seharusnya ada.

The idea of ‘the nation,’ once extracted, like the mollusc, from the apparently hard shell of the ‘nation-state,’ emerges in distinctly wobbly shape,” demikian dikatakan Eric J. Hobsbawm dalam Nations and Nationalism Since 1780 (1992, hlm. 190). Bandingkan dengan pendapat David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005): “In principle, neoliberal theory does not look with favour on the nation even as it supports the idea of a strong state. The umbilical cord that tied together state and nation under embedded liberalism had to be cut if neoliberalism was to flourish.” (hlm. 84) Dari dua pendapat itu segera nampak bagaimana pentingnya hubungan antara bangsa dan ‘cangkang’ negara-nya. Kita boleh dan bahkan harus ‘waspada’ ketika cangkang negara itu tidak hanya semakin mengeras, tetapi juga ‘menghimpit’ ruang bangsanya. Pengalaman di banyak negara, dan bahkan di republik telah memberikan pelajaran sangat berharga. Tetapi ketika cangkang negara itu menjadi begitu rapuhnya, atau bahkan dibethot, dilepas dari bangsanya, maka seperti dikatakan Hobsbawm di atas, bangsa akan seperti siput yang kehilangan cangkangnya. Apalagi jika dihadapkan pada dinamika geopolitik yang semakin meningkat di kawasan Pasifik.

Maka negara bukan hanya bisa terancam, tetapi dia sendiri bisa berubah menjadi ancaman. Masalah negara dan bangsa bukanlah soal mana lebih dulu ayam atau telur, karena bisakah negara dijelaskan tanpa bangsa? Tetapi bangsa masih bisa dijelaskan tanpa hadirnya negara. Negara yang masih diperjuangkan. Negara yang masih in-mind. Jadi negara sebenarnya adalah non-independent parts dari the whole-nya, bangsa. Maka tepat istilah yang dikatakan Driyarkara soal ‘menegara’ itu. Yang di dalamnya ada unsur yang mutlak harus ada, dialog. Dialog antar bermacam unsur bangsa. Ketika dialog kemudian macet maka negara itu untuk siapa patut dipertanyakan.

Supaya dialog bisa terselenggara dengan baik maka syarat utamanya adalah adanya kebebasan. Karena alat utama dalam dialog itu adalah bahasa maka kebebasan dalam berbahasa-pun mestinya harus dijaga. Tidak perlu begitu rigidnya negara mengatur harus menggunakan model bahasa yang seperti ini atau itu. Ingat ketika bertahun lalu ‘nama-nama asing’ harus diganti dalam bahasa Indonesia? Toko roti Danish kemudian jadi Danti misalnya. Biarlah bahasa berkembang sesuai dengan yang dihayati sehari-hari. Biarlah bahasa berkembang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari. Yang kedua adalah, bagaimana dialog itu bisa berlangsung tidak dalam suasana ketakutan. Soal ini tidaklah mudah sebab bagaimanapun sampai sekarang negara masih dipercaya sebagai satu-satunya yang mempunyai hak monopoli akan kekerasan. Dwi-fungsi ABRI jaman Orde Baru memberikan pelajaran berharga soal ini. Maka adalah sangat penting untuk menarik garis tegas antara ‘yang pegang senjata’, dalam hal ini TNI/Polri, dan yang tidak pegang senjata dalam dinamika berbangsa-menegara ini.

Saya mestinya tidak di sana,” demikian dikatakan Jenderal Mark Milley terkait foto barengnya dengan Donald Trump di depan gereja St. John beberapa waktu lalu. Selain menyatakan penyesalannya, adalah benar Milley kemudian mengkaitkan dengan masyarakat sipil, civil society.[1] Masyarakat sipil dimana kemampuan ber-dialog ditumbuh-kembangkan. Jika memakai pembedaan soft-power dan hard power, maka dialog ada dalam ranah soft-power. Tetapi lihat apa yang dikatakan Donald Rumsfeld, saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS ketika ditanya soal soft-power oleh Joseph S. Nye, menjawab singkat: “I don’t know what ‘soft power’ is.” (Brian C. Schmidt, 2007, hal. 62) Ranah yang pegang senjata memang sangat ketat terkait dengan rantai komando. Bayangkan jika yang pegang senjata itu punya pendapat sendiri-sendiri. Jadi memang minim dialog. Lalu apakah dari jalur yang pegang senjata itu tidak boleh masuk ranah yang penuh dialog itu? Tentu boleh, karena bagaimana-pun ia punya hak juga. Di beberapa negara diberi jarak waktu, tidak otomatis bisa langsung. Berhenti dulu, tunggu beberapa waktu ‘untuk penyesuaian’. Untuk yang masih aktif pegang senjata, jelas tidak boleh. Harus ambil jarak.

Bahasa bukannya bebas dari ‘tekanan’. Apapun kemajuan teknologi komunikasi, sebenarnya tetaplah bahasa dalam modus oralitasnya menempati posisi terpenting dalam dialog. Termasuk juga di sini oralitas sekunder-nya, meski dalam dialog perannya minimal. Kadang dikatakan ‘budaya melihat’ sekarang ini lebih berkembang dari pada ‘budaya mendengar’. Selain dialog tatap-muka itu secara etik lebih ‘bertanggung-jawab’ (dalam konteks Emmanuel Levinas), menurut Walter J. Ong mendengar lebih punya nuansa mempersatukan. Sedang melihat lebih mendorong ‘pecah-belah’.

Chuck Noland yang diperankan Tom Hanks dalam film Cast Away (2000) ketika terdampar di pulau terpencil tanpa penghuni, terus saja ‘ngoceh’ sendiri. Bahkan kemudian ia membuat boneka dari bola volley sebagai teman ‘ngoceh’-nya, yang diberinya nama: Wilson. Apakah Chuck Noland itu sedang berbahasa? Tak ada satu-pun yang mengerti apa yang sedang diucapkan selain dirinya sendiri waktu itu. Itulah mengapa ia ‘menciptakan’ si-Wilson itu, berharap ada yang memahami ketika ia berbicara. Si-Wilson sebagai ‘teman bermain’ dalam ‘permainan bahasa’-nya. Maka bahasa-pun tidak bisa lepas dari konteks. Ia tidak melayang sendiri di ruang kosong.

Bagaimana kita bisa menghayati adanya bahasa? Apakah bahasa itu melayang-layang yang kemudian tiba-tiba saja mampir ke mulut-lidah kita? Mampir di tangan kita? Dari penelitian otak manusia, kita tahu bahwa area bahasa kita di otak itu berdekatan dengan area motorik halus. Ketika tangan ‘dibebaskan’ dari fungsi berjalannya, maka ia menjadi lebih aktif untuk melakukan bermacam hal. Maka lebih berkembanglah area motorik halus itu di otak. Yang juga ikut mempengaruhi yang berdekatan dengannya, area berbahasa. Ketika tangan menjadi begitu berkembang dan kemudian banyak melakukan bermacam hal, manusia sebagai ‘pengamat’-pun mulai berkembang, paling tidak pada bermacam hal yang bisa dijangkau-dipegang-ditimang dengan tangan. Berpikir dan berbahasa-pun kemudian berkembang. Berbahasa yang tidak lepas dari berpikir. Berpikir sebagai yang seakan ‘menjembatani’ antara dunia dan bahasa.

Maka, bagaimana kita menghayati bahasa? Dari manusia yang berpikir. Dan itu tidak perlu terus beimajinasi yang ‘ndakik-ndakik’, yang ‘tinggi-tinggi’ soal berpikir itu. Bahkan yang nampaknya taken for granted itu-pun juga melibatkan proses berpikir, paling tidak berdasar apa yang mungkin kita sebut sebagai common sense itu. Bahkan jika bahasa kita hayati sebagai ‘permainan’-pun itu tidak bisa lepas dari konteksnya. Konteks yang sebagian besar kita hayati juga seakan taken for granted itu. Tapi bagaimanapun bahasa akan menemui batas-batasnya. Maka kadang atau bahkan sering kita menyerap kata-kata asing dari bahasa asing. Atau mengambil dari kasanah bahasa lokal. Atau menciptakan kata baru. Tapi Wittgenstein mengingatkan pada kita, “whereof one cannot speak, thereof one must be silent.” Meski begitu tetaplah saja ada yang ‘nakal’: para sastrawan, penyair, pelukis, pematung, musikus, dan sekitarnya. Tak mengherankan bahkan seorang Heidegger-pun begitu menyukai puisi-puisi Hordelin. Bahasa akan mendapat ‘tekanan’ salah satunya jika para sastrawan, penyair, pelukis, pematung, musikus, dan sekitarnya itu tidak mendapat ruang dan waktu yang seluas-luasnya karena bermacam sebab. Atau ketika anak-anak kita di sekolah tidak punya ruang dan waktu cukup luas untuk akrab dan mengapresiasi karya-karya mereka.

Dalam satu wawancara terkait survei trans-atlantic sebelum wabah dan setelah wabah yang menemukan persepsi positif terhadap Angela Merkel meningkat tajam, peneliti dari Bertelsmann Foundation sebagai surveyornya menyebut salah satunya karena Merkel berhasil menyampaikan (selama pandemi) clear massages pada khalayak. Tidak hanya pada khalayak diperlukan clear massages, tetapi dalam dialog-pun hal tersebut sangatlah penting. Masalahnya menurut Albert Mehrabian, bagaimana suatu pesan sampai pada yang dituju itu justru pengaruh isi pesan ada di urutan ketiga. Pertama adalah soal body language, dan yang kedua adalah intonasi. Maka ketika apa yang disebut sebagai para elit itu lebih mementingkan body language, pada saat itulah dialog yang menggunakan bahasa itu akan mengalami tekanan. Tentulah body language atau intonasi saat bicara sangat perlu diperhatikan, tetapi jika kemudian soal clear massages dilupakan, alarm deteksi dini anti-dialog harus mulai berbunyi. Jadikan soal isi yang clear itu sebagai yang nomer satu, dan body language serta intonasi sebagai pendukungnya saja.

Clear massages di sini tidak hanya soal subyek-predikat dan pemilihan kata yang efektif/efisien, tetapi juga clear dalam konteks. Konteksnya adalah, dalam contoh Merkel di atas, negara yang bertindak. Contoh soal clear dari Merkel di atas, selain jelas pada khalayak juga antara kata dan tindakan itu clear, jelas juga ada hubungannya. Tidak ngibal-ngibul saja. Jika itu adalah sebuah language-games maka sebuah games yang tidak sedang dipermainkan. Dari segala aspeknya. Jika itu sepakbola, jelas jauh sekali dari bayangan ‘sepakbola gajah’. *** (04-06-2020)

 

[1] https://www.nytimes.com/2020/06/11

/us/politics/trump-milley-military-protests-lafayette-square.html

Ancaman (Terhadap) Negara