www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-07-2020

Joel Bakan dalam Corporations (2004) menunjukkan bagaimana merger pada akhir abad 19 yang melanjut di abad 20 itu melahirkan korporasi-korporasi raksasa. Yang semakin meraksasa di bagian akhir abad 20 sebagai akibat dari deregulasi dan privatisasi. Beberapa waktu lalu sebuah dokumenter ditayangkan oleh TV DW (Jerman), Greed. Dalam satu scene ditayangkan seorang pengusaha kulit hitam sukses di Afrika, dan dia mengatakan, kalau seorang pengusaha sukses kok sepertinya kemudian dipandang tidak jauh dari seorang kriminal saja. Batas antara pengusaha sukses dan seorang kriminal tiba-tiba menjadi tipis. Padahal dia sudah bekerja sangat keras demi suksesnya itu.

Salah satu keruntuhan Idi Amin adalah ketika ia mengeksploitasi primordialisme demi meraup dukungan, dan kemudian menggeser dengan brutal etnis pendatang, dalam hal ini etnis India yang mempunyai ketrampilan dalam jaringan distribusi logistik. Akhirnya kekacuan dalam distribusi bermacam logistik kebutuhan sehari-haripun merebak dan justru meningkatkan tekanan pada Idi Amin. Apa yang kita pelajari di sini adalah, hidup bersama bagaimanapun akan memerlukan bermacam ketrampilan, termasuk ketrampilan para pengusahanya. Para entrepreneurnya. Para profesionalnya, Para petani-pedagang-nelayan, dan lainnya. Juga buruhnya. Senimannya, guru-dosennya, wartawannya, dan banyak lagi.

Dalam salah satu wawancara memperingati 10 tahun bukunya, Corporations (dan film dokumenternya), Joel Bakan menekankan bahwa sulit menyalahkan korporasi sehingga mereka ada di jalan seperti itu sekarang ini (menjadi meraksasa dengan segala konsekuensinya), yang diperlukan adalah bagaimana kita berubah, pemerintah yang merupakan representasi warga negara juga mestinya berubah. Jika pembedaan antara market-state-civil society kita pakai maka sebenarnya yang kita bicarakan adalah soal power. Katakanlah yang kita hadapi adalah balance of power. Bukan hubungan yang tenang, tetapi banyak gejolak di dalamnya. Terlebih dalam market yang adanya karena ada pembedaan untung-rugi itu, bayang-bayang ‘kematian’, kebangkrutan hampir bisa dikatakan melekat dalam keseharian. Dalam ranah state, karena periodisasi entah 4 tahun atau 5 tahun sekali, bayang-bayang ‘kematian’ atau tersingkir dari kekuasaan bukanlah keseharian. Bahkan impeachment-pun bukan hal mudah. Apalagi kecurangan yang gila-gilaan itu seakan bisa menjadi garansi tidak akan ‘mati’. Sedang civil-society bukannya tidak punya bayang-bayang kematiannya sendiri, tetapi bahkan sudah di tepi jurang kematian-pun kadang tidak sadar juga.

Mengapa ‘kematian-kematian’ di atas di sebut? Karena ini terkait langsung dengan ‘daya survival’, dengan greget dalam memaksimalkan bermacam daya yang dipunyai, terutama sumberdaya dalam kreatifitas-berpikir. Demi kelangsungan hidup masing-masing. Kematian sebagai ‘basis-material’ yang paling primordial. Kematian sebagai ‘situasi-batas’ paling ujung yang memaksa segala kreatifitas dan berpikir seakan dipompa adrenalin. Maka kita bisa menjadi paham mengapa jika sais tidak ‘berkolaborasi’ erat dengan si-kuda putih maka kereta akan sangat sulit untuk diajak mengarah ke atas. Karena si-kuda hitam dengan segala ledakan energinya itu mempunyai karakter maunya meluncur ke bawah saja. Itu saja masih harus ditambah dengan sayap di kanan-kiri kereta. Dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon akan nampak jelas hal tersebut.

Ketika globalisasi sebagai isu semakin menguat mulai 1980-an, yang sebenarnya pembonceng utamanya adalah kekuatan pasar –tepatnya: disembedded liberalism, negara-negara di Eropa di tahun 1992 mengembangkan apa yang sekarang ini kita kenal sebagai Uni Eropa. Apapun itu bisa kita lihat juga sebagai yang disebut Joel Bakan di atas, bagaimana mengelola negara-pun mesti berkembang. Kalau kekuatan uang itu meraksasa salah satunya melalui merger maka negara-negara-pun bisa berkerja-sama dengan semacam ‘merger’ juga. Dengan prinsip subsidiaritas kerja-sama itu (Uni Eropa) kemudian tidak menghilangkan kedaulatan masing-masing.

Adanya curhat dari seorang pengusaha besar di Afrika yang merasa kadang dikatakan batas antara pengusaha sukses dan seorang kriminal tiba-tiba menjadi tipis seperti disebut pada awal tulisan tentulah tidak mengenakkan. Kita bisa juga merasakan. Banyak pengusaha ulet-sukses yang jelas jauh dari jalan kriminal. Tetapi munculnya ‘tudingan’ tersebut nampaknya tidak juga mengada-ada, ia muncul dari banyak pengalaman. Terlalu banyak cerita ketika kekerasan yang dipunyai atau bahkan dimonopoli negara itu kemudian digunakan oleh kekuatan uang dalam proses akumulasi kapitalnya. Maka kejahatan baik yang blue collar maupun white collar-pun kemudian membesar potensinya. Dari yang kasar-vulgar sampai dengan yang seakan-akan legal-mulus.

Dua hari lalu TV NHK (Jepang) menayangkan bagaimana Leo, asli Timor Timur yang menikah dengan gadis Jepang dan kemudian menetap di Jepang, bekerja dan belajar sebagai petani di Jepang sejak 2012 lalu. Bagaimana petani ‘sepuh’ terdekat mengajari mengolah tanah sampai dengan bagaimana bertani di empat musim. Setelah dua-tiga tahun kemudian petani itu merekomendasikan Leo untuk bekerja di pertanian yang lebih besar untuk belajar soal manajemen pertanian dan bisnisnya. Sambil bekerja di situ Leo belajar dan diajari soal menejemen pertanian dan pengelolaan bisnisnya. Soal pertanian, terlebih soal beras memang mendapat perhatian lebih dari negara. Beras di Jepang mahal? Itu adalah juga karena keputusan negara supaya petaninya sejahtera, (bandingkan dengan Henry Ford yang memutuskan menaikkan gaji pekerjanya) dan salah satunya juga diiringi dengan bea masuk untuk produk beras yang sangat tinggi. Apa yang mau ditulis di sini adalah soal peran negara. Lihat saja berapa subsidi bagi peternak di Eropa sana? Atau petani-petani di AS melalui Farm Bill-nya?

Pasar bagaimanapun juga sangat diperlukan dalam bermacam alokasi/distribusi sumber daya, dalam ‘pembagian kesejahteraan – pembagian kekayaan’, bahkan dalam mendorong bermacam inovasi. Tetapi hal-hal itu tidaklah monopoli pasar saja, negara-pun punya kemampuan dalam pengalokasian sumber daya, juga soal ‘pembagian kesejahteraan’ seperti beberapa kasus terkait pertanian dan peternakan di atas, dan siapa bilang negara tidak punya kemampuan untuk mendorong bermacam inovasi? Di ujung satunya, neoliberalisme ala Hayek dkk dengan pemujaannya pada kekuatan pasar (bebas) mereka kemudian membangun persepsi bahwa negara sebaiknyalah yang ‘ultra-minimal’. Di ujung lainnya, jika sekarang, bisa kita lihat di Korea Utara itu.

Machiavelli dalam Discourses on Livy (Ch. 27) menuliskan: “But men commit this error, that is, they do not know how to set limits to their hopes.” Ideologi atau apalah namanya, sejenisnya, selalu berurusan dengan harapan-harapan. Lalu bagaimana sehingga ‘mereka-mereka’ itu ‘paham’ soal batas-batas dari harapan-harapan yang terbangun dari ‘ideologi’ masing-masing? Di luar soal kritik-otokritik, nampaknya masyarakat sipil yang kuat akan memaksa mereka sadar akan batas. ‘Memaksa’ baik pasar dan negara. Dan terutama adalah negara kerena sebenarnya ‘titik temu’ ada di negara yang mampu membuat berbagai keputusan dan sekali lagi, yang memegang ‘hak’ monopoli penggunaan kekerasan.

Ketika kekuatan ‘pasar’ lebih senang memasang boneka plonga-plongo misalnya, yang ia akan menuruti segala permintaan ‘pasar’, maka kritik pada si-boneka adalah dalam konteks upaya menempatkan republik di tempat semula. Ketika kekuatan ‘pasar’ melepas piaraan para buzzer bangsat itu, maka ini harus dilawan supaya masyarakat sipil tidak ‘terdegradasi’ oleh polah mbèlgèdèsnya. Ketika adu-domba semakin memuncak maka harus ada upaya untuk menggeser persoalan. Ketika negara menjejali khalayak dengan orang-orang tidak mutu atas pesanan ‘pasar’, maka ini juga harus dilawan. Bermacam ‘drama’ di level penyelenggaraan negara yang memuakkan itu perlu perhatian lebih. Entah drama ‘ideologis’, drama kebijakan, sampai drama perilaku. Jika memang muak, jangan sungkan lagi. Apalagi jika itu ada sebagai selubung laku-laku bajingan –terutama sekarang ini: soal 900 T itu. Dan ketika ‘pasar’ mempunyai imajinasi untuk melakukan ‘balkanisasi’ maka lengan baju-pun perlu mulai digulung. Balkanisasi? Mengapa tidak? Pasar yang ugal-ugalan, neoliberalisme itu, menurut Pierre Bourdieu (1998) esensinya adalah, a programme for destroying collective structures which may impede pure market logic.[1] *** (01-07-2020)

 

[1] https://mondediplo.com/1998/12

/08bourdieu

Karena Ada Imajinasi Balkanisasi