www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-06-2020

Gemas sering dipakai untuk menggambarkan perasaan sangat suka bercampur dengan kejengkelan. Jengkel-jengkel yang bercampur dengan gemes. Dalam politik jaman now paling tidak ada dua tipe manusia yang menggemaskan. Yang pertama adalah tipe ‘orang baik’ dan kedua adalah tipe ‘manusia massa’.

Bagi Carl Schmitt, apa yang disebut dengan ‘yang politikal’ itu adalah alasan mengapa politik itu ada. Politik akan sulit dijelaskan ketika lepas dari alasan adanya, the political. Dan menurut Carl Schmitt itu adalah pembedaan antara kawan dan lawan. Dari hal di atas maka bisa dikatakan bahwa politik itu sebenarnya adalah non-independent parts (moments), maka bisa dikatakan politik adalah hal abstrak (abstracta). Berbeda dengan independent parts yang bisa langsung kita hayati. Kita akan dianggap aneh jika saat masuk gedung yang mengurus soal politik, atau saat masuk markas partai politik dan kemudian bertanya, di mana politiknya?

Dahan (independent parts/pieces) yang lepas dari induk pohonnya (the whole) masih bisa in-concreta kita hayati. Lalu bagaimana hal yang abstrak itu bisa kita kembangkan dalam hidup bersama? Karena kita punya bahasa. Jika warna merah itu adalah non-independent parts yang hanya bisa kita hayati jika ‘melekat’ pada kursi, meja, tembok, alat, bendera, dan macam-macam lagi, bagaimana politik yang juga non-independet parts itu bisa kita hayati? Dari manusia-manusia yang menggunakan bahasa.

Desire is very essence of men,” demikian kata Spinoza. Bermacam ‘eksperimen’ dalam pengelolaan hasrat manusia ini bisa kita lacak dari perjalanan hidup manusia. Dari yang mengandalkan kualitas diri sampai dengan ketika hasrat dikontrol oleh hasrat lainnya. Dari yang berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah baik sampai dengan asumsi manusia itu pada dasarnya jahat. Gambarannya soal ‘state of nature’-pun bisa berbeda. Bagi Thomas Hobbes, ‘state of nature’ adalah begitu buramnya. Maka untuk menghindari kegelapan kondisi ‘state of nature’ itu dan manusia kemudian mempunyai kesempatan mengembangkan diri maka perlulah mengadakan kesepakatan-kesepakatan. Siapa yang mengawasi sehingga kesepakatan-kesepakatan itu akan dilaksanakan? Itulah yang kemudian disebutnya Leviathan.

Tetapi bagaimana-pun sang-Leviathan itu juga terdiri dari manusia-manusia kongkret. Mengandalkan bahwa yang ada di Leviathan itu adalah manusia setengah dewa? Boleh, tetapi sejarah menunjukkan bahwa Lord Acton tidaklah asal nggedebus saja ketika bicara power tends to corrupt absolute power corrupts absolutely. Maka berkembanglah pendekatan hasrat vs hasrat itu. Mulai dari pembedaan eksekutif, legislatif, yudikatif, kemudian berkembang ditambah dengan pers dan masyarakat sipil, dan terakhir: media sosial. Apapun dorongan untuk bersepakat, entah karena bayang-bayang kegelapan hukum rimba atau percaya bahwa manusia itu pada dasarnya baik sehingga mau bersepakat, bayang-bayang kegelapanlah yang sebenarnya lebih kuat nuansanya. Nuansa kontrol, check and balances melalui hasrat vs hasrat terasa lebih kuat dari pada mengandalkan ‘manusia setengah dewa’.

Musyawarah tidaklah khas nusantara, demikian juga gotong royong. Kalau si-Bung bicara soal “ekasila-gotong royong” siapa tahu itu lebih sebagai gandrungnya si-Bung pada persatuan? Yang mungkin pada saatnya itulah yang harus menjadi perhatian utama bangsa. Jadi ya nggak usah dipaksa-paksakan seolah-olah di jagat raya ini hanya manusia Indonesia yang paham soal gotong royong. Kalau dipaksa-paksakan terus malah menghabiskan enerji, nanti ‘revolusi’-nya malah nggak mulai-mulai. Sabar terus, cuk. Saking sabarnya, jatuh-jatuhnya gotong royongnya kalau pas kerja bakti, buat posko, dan urusan gelut saja. Dan layatan.

Kalau mengikuti Levinas soal ‘wajah’ dan ‘yang lain’ maka musyawarah memang dimungkinkan ketika orang-per-orang bertemu secara langsung dan membicarakan apa yang mesti dibicarakan bersama. membicarakan kepentingan diri atau pendapat-imajinasinya. Keseluruhan ekspresi kehadiran dan terutama wajah-wajah yang menatap kita itu, menurut Levinas, seakan juga mengundang tanggung jawab kita terhadap ‘yang lain’ itu. Adam Smith juga menyinggung tentang hal ini secara tidak langsung. “Kita mendapat simpati lebih kecil dari seorang kenalan biasa daripada dari seorang sahabat,” dan “kita menerima simpati jauh lebih kecil lagi dari orang-orang yang tidak kita kenal,” demikian ditulis B. Herry Priyono (2007) mengutip The Theory of Moral Sentiment.

Maka meski tetap dimungkinkan, musyawarah tetaplah mempunyai keterbatasannya sendiri. Keterbatasan ketika yang bermusyawarah tidak hanya mewakili diri sendiri. Ia pertama-tama mewakili banyak orang yang memilihnya. Karena hasrat itu penuh gejolak maka bisa-bisa lepas kontrol. Lupa terkait bermacam hal yang diwakilinya. Keseluruhan ekspresi diri saat itu kemudian tidak ‘otentik’. Maka selain kualitas diri, masihlah diperlukan kontrol yang berasal dari luar diri. Selain kontrol dari yang diwakilinya maka pers dan masyarakat sipil dan lainnya bisa memegang peran pentingnya. Untuk itu kebebasan, baik kebebasan pers maupun kebebasan bersuara perlu dikembangkan supaya hasrat tidak begitu saja lepas kontrol. Bayangkan jika yang sedang ‘berhasrat’ itu adalah yang pegang senjata atau yang mampu menggerakkan yang pegang senjata.

Maka pembedaan antara lawan dan kawan seperti disebut oleh Carl Schmitt sebagai ‘yang politikal’ itu tetaplah relevan, terlebih jika kita bicara dalam ranah hasrat vs hasrat itu. Penghayatan akan pembedaan lawan-kawan ini akan terus mengusik mengapa seseorang itu berpolitik. Ketika oposisi meredup, saat itulah kita khawatir terjadi laku ugal-ugalan. Ketika pers dibungkam atau ‘membungkamkan diri’ karena bermacam sebab, maka kita khawatir potensi laku ugal-ugalan akan membesar. Demikian juga soal masyarakat sipil, legislatif, dan yudikatif-nya. Atau media-sosial yang terus diusik. Dan kata adalah ‘senjata’ utamanya.

Globalization, as it has been advocated, often seems to replace the old dictatorships of national elites with new dictatorships of international finance,” demikian dikatakan Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002, hlm. 247). Dan lahirlah si-Leviathan Baru, dan bahkan perlahan menggeser Leviathan lama. Seperti juga digambarkan oleh Herry-Priyono ddalam artikelnya di Kompas, 5 April 2002: Memahami Leviathan Baru. Si-Leviathan Baru ini sebenarnya lahir dalam ranah untung-rugi, bukan ranah lawan-kawan. Maka segera saja sebuah dilema langsung muncul, seperti dikatakan Harold J. Laski: “The profit-making motive demanded lower wages, inferior general condition of industry, a diminution of the charges imposed upon capital by taxation, a consequent contraction of the social services. But democracy has led the masses to expect the reverse of all this.[i] Meski itu ditulis bahkan sebelum motor neoliberalisme lahir (Mont Pelerin Society, 1947), apa yang diungkap Laski masih terasa relevansinya. Maka akan ada yang kemudian menjadi begitu berbeda, Leviathan lama muncul bisa dihayati karena ada pembedaan lawan dan kawan, sedangkan si-Leviathan baru karena ada pembedaan antara untung dan rugi. Jurang perbedaan yang pernah ‘diselesaikan’ dengan jalan gampang: fasisme. Itulah mengapa sebelum sampai pada jalan gampang, yang sekarang bisa saja menjadi jalan terakhir karena jaman sudah begitu berkembang, maka salah satu pilihan adalah (di)tampil(kan)nya ‘yang menggemaskan’ itu. Yang dikonstruksikan sebagai ‘orang baik’ karena ‘tidak mengambil keuntungan’ (tetapi membiarkan kanan-kirinya mengambil keuntungan secara ugal-ugalan melalui apa yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession itu). ‘Orang baik’ karena dinampakkan tidak terlibat dalam ranah ‘lawan-kawan’. ‘Orang baik’ karena dikonstruksikan ‘setengah-dewa-satrio-piningit’. Dan banyak lagi konstruksi-konstruksi lainnya untuk mendukung lahirnya ‘orang baik’ itu. Bahkan kalau perlu: dia utusan Tuhan! ‘Orang-baik’ yang menumpulkan ranah ‘lawan-kawan’, sementara ranah untung-rugi kemudian ugal-ugalan melakukan akumulasi-profit-making tanpa mau dikontrol lagi. ‘Orang baik’ yang ternyata telah mengikis ‘martabat’ bahasa. ‘Orang baik’ itu ternyata telah memperbesar potensi kehancuran bangsa. Karena ilusi-ilusi yang diciptakan membuat rapuh ‘cangkang’ negara yang melindungi bangsa yang hidup di dalamnya, demikian Eric J. Hobsbawn pernah mengingatkan.

Dan jangan pernah berpikir bahwa kediktatoran dalam ranah ‘Leviathan baru’ ini akan tidak lebih kejam dari kediktatoran ranah ‘Leviathan lama’.

Lalu bagaimana dengan ‘yang menggemaskan’ satunya? ‘Manusia massa’ itu? Dari waktu-ke-waktu yang namanya ‘manusia massa’ itu memang menggemaskan, terutama untuk urusan gelut dan coblosan/dukungan. ‘Manusia massa’ itu tidak bisa dikatakan juga sebagai yang buruk atau yang baik, tetapi kadang baik-buruknya adalah baik-buruknya man behind the gun-nya. Kalau urusan rejeki, dapatnya remah-remah yang disebar. Tetapi ketika bendera dibakar, urusan gelut diminta berdiri paling depan. Kita bisa bayangkan jenis atau kualitas man behind the gun-nya. Selain baik-buruknya adalah baik-buruknya man behind the gun-nya,  juga sebenarnya diimbangi oleh yang ada di seberang: orang-orang yang masih peduli. Maka, jangan diam-lah. Jangan sampai kata digeser oleh laku-laku ketidak-berpikiran itu. *** (28-06-2020)

 

[i] Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, George Allen and Unwin, 1951, hlm. 131

Yang Paling Menggemaskan