www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-06-2020

Jika kita sedang menjadi pemimpin, adanya penjilat-penjilat di sekitar adalah di luar kendali saya. Terlebih adanya para penjilat ini seakan sudah ada sejak jauh-jauh dulu dalam perjalanan manusia. Mulai sejak ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Adanya penjilat ini seakan tidak bisa dijelaskan lepas dari adanya kuasa. Machiavelli dalam Sang Penguasa-pun menaruh perhatian soal penjilat ini. “Para penjilat harus disingkirkan,” demikian tegas Machiavelli.

Karena Sang Penguasa berisi nasehat-nasehat untuk Sang Pangeran, maka Machiavelli lebih banyak bicara soal bagaimana raja harus bersikap terkait dengan para penjilat di sekitarnya. Intinya, jangan sampai karena ulah para penjilat ini ia menjadi tidak dihormati sama sekali. Setelah mengurai bagaimana raja dalam hubungannya dengan penasehat-penasehatnya, Machiavelli menuliskan: “... raja tidak boleh mengikuti nasehat siapapun juga. Ia harus mengusahakan agar kebijaksanaannya disetujui dan langsung dilaksanakan, dan ia harus memegang teguh kebijaksanaan tersebut. Raja yang tidak melaksanakan kebijaksanaan ini tentu dihasut oleh para penjilat, atau orang yang selalu berubah pandangan karena menerima nasehat yang saling bertentangan: akibatnya ia tidak dihormati sama sekali.[1]

Soal para penjilat ini banyak yang berpendapat bahwa itu akan lebih banyak beredar dalam suasana feodal dan kolonial. Atau juga -memakai istilah power distance-nya Geert Hofstede, komunitas dengan power distance tinggi bisa dikatakan akan lebih mudah bermunculannya penjilat-penjilat. Bagaimana dalam ranah demokrasi? Bukankah rakyat yang pegang kuasa? Untuk melihat ini maka harus dibandingkan antara sebelum pemilihan dan sesudahnya. Ketika bertemu petani di masa kampanye dan kemudian bilang, “kangmas petani, nanti kalau saya terpilih maka petani akan saya muliakan” dan ternyata setelah terpilih justru nasib petani terus dalam tekanan karena impar-impor saja, maka saat kampanye sebenarnya ia sedang menjilat. Atau ketika ketemu yang miskin kemudian berkata, “kangmas-mbakyu, saya dulu juga lahir di pinggir kali” dan ketika setelah terpilih ternyata lebih memihak golongan atas, maka saat kampanye sebenarnya ia sedang menjilat. Atau ketika bertemu dengan para tokoh sepuh yang soal komitmen sudah teruji dari waktu ke waktu: “kangmas sesepuh, percayalah dengan komitmen saya,” dan setelah itu ya ... goodbye-lah. Tentulah akan ada penjelasan bla bla bla. Macam-macam-lah. Masalahnya adalah soal rapatnya keberulangan. Ketika terlalu berulang maka orang akan menyebutnya sebagai karakter. Dan ketika banyak contoh lagi yang bisa menunjukkan hal yang tidak jauh beda seperti dicontohkan di atas maka dapat dirasakan bahwa ternyata karakternya memang karakter penjilat.

Kalau pemimpin mempunyai karakter penjilat maka sebenarnya tidaklah mengherankan jika ia nyaman-nyaman saja dikelilingi oleh para penjilat. Nyaman berkumpul dengan yang sejenis. Pada umumnya seperti itu. Dan ujungnya persis seperti yang ditulis Machiavelli di atas: ia tidak dihormati sama sekali. “Raja yang berhasil membuat dirinya dihormati sedemikian itu sangat dihargai; dan terhadap orang yang sangat dihormati sulit untuk mengadakan persekongkolan,”[2] demikian tulis Machiavelli pada bagian lain. Maka ketika ‘ia tidak dihormati sama sekali’ bisa-bisa bermacam persekongkolanpun akan merebak. Krisis akan membayang di depan mata, atau bisa juga tahu-tahu kerajaan sudah dirampas habis-habisan. *** (26-06-2020)

 

[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987, hlm. 98

[2] Ibid, hlm. 75

Terlalu Banyak Penjilat