www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-06-2020

Inilah saatnya kita belajar tidak hanya ‘tahu tentang’ neoliberalisme, tetapi juga ‘tahu bagaimana’ neoliberalisme itu bekerja. Kita tidak hanya ‘tahu tentang’ naik sepeda, tetapi kita bisa bercerita tentang ‘seluk-beluk’ naik sepeda karena terutama kita mempunyai pengalaman naik sepeda. Tidak hanya berhenti pada ‘knowing-that’ tetapi ‘knowing-how’, meminjam pembedaan dari Gilbert Ryle. Gilbert Ryle (1900-1976) membangun pemikirannya berangkat dari kritiknya atas dualisme tubuh-pikiran-nya Rene Descartes. The ghost in the machine, demikian Ryle menggambarkan dualisme cartesian itu. Tubuh semata soal mekanika dan hukum lainnya yang bergerak atas perintah dari pikiran, the ghost.

Dualisme cartesian ini tidak hanya menjadi sasaran kritik Ryle saja, tetapi juga banyak kritik dari penjuru lain. Kalau melihat konteks waktu munculnya dualisme cartesian yang memberi bobot lebih pada cogito ini rasanya adalah wajar saja. Rene Descartes (1596-1650) sering dikatakan sebagai salah satu dari tokoh awal modernitas. Modernitas yang bisa dibedakan dengan ‘abad kegelapan’ di Abad Pertengahan, yang mana terjadi pergeseran yang kemudian memberi bobot pada kekuatan berpikir manusia secara lebih. Cogito ergo sum, demikian pendapat Descartes yang sedikit memberi gambaran bagaimana modernitas bisa dibedakan dengan era sebelumnya waktu itu. Bagi Descartes, pikiran adalah lebih prioritas dibanding tubuh. Pikiran dapat tetap ada tanpa tubuh, tetapi tubuh tidak akan ada tanpa pikiran.

Newton (1642-1727) dengan bermacam temuannya memberikan dorongan besar bagi banyak pemikir lain dalam semangat pencarian penjelasan-penjelasan tentang bermacam hal. Bahkan jika bisa penjelasan tunggal seperti hukum gravitasi yang diajukan oleh Newton. Adam Smith (1723-1790) mengembangkan pemikiran-pemikirannya dalam suasana atau semangat seperti itu. Apa sumber ‘gravitasi’ yang membuat tatanan dalam masyarakat bisa menjadi tatanan yang tertib? Bermacam penjelasan-penjelasan yang memang mempunyai argumentasi kuat itu perlahan seakan menjadi ‘dunia obyektif’ sendiri. Seakan kemudian menentukan, katakanlah ‘dunia’ ini ya seperti ini, dunia riil-obyektif yang bisa dipertanggung-jawabkan di hadapan sains. Di luar itu adalah tidak rasional, tidak obyektif.

Padahal di luar dunia obyektif mereka, ada ‘dunia lain’, dunia yang dihayati dalam keseharian. Seorang petani, entah dari kebiasaan bertahunnya, atau dari pengetahuan turun-temurun, atau hasil ngobrol dengan sesama tani, ketika ia menemui ‘tanda-tanda alam’ tertentu maka saat itu juga ia tahu bahwa itu adalah saatnya tanam, misalnya. Atau meski survei mengatakan bahwa menyatakan cinta itu paling baik dengan bunga misalnya, tapi kita juga tahu bahwa soal cinta itu akan dihayati orang-per-orangnya lebih luas daripada soal bunga. Di luar ‘objective-world’ itu ternyata ada ‘life-world’ yang dijalani orang-per-orang, atau bersama dengan orang-orang terdekatnya, dalam kesehariannya. Dan jika ‘hitung-hitungan-matematis’ kemudian memberikan ruang evidence dalam dunia obyektif-rasional , bukankah ketika petani dengan segala pengetahuan, endapan pengetahuan, obrolan dengan temannya kemudian ia memutuskan mulai tanam, dan ternyata hasilnyapun baik, bukankah ini juga evidence? Bukankah ia juga rasional? Atau ketika kita melihat dinding, pintu, jendela, dan dengan serta merta kita kemudian menghayati sebagai rumah, dan hampir sebagian besar itu juga terbukti, bukankah validitas pengalaman itu juga semestinya juga bermakna?

Dalam perjalanan panjang sejarahnya, apa yang dihayati sebagai pasar itu adalah berkembang sebagai bagian dari hidup bersama yang lebih luas. Pasar katakanlah adalah nonindependent parts. Dahan yang tergeletak di depan kita masih bisa kita hayati sebagai dahan meski ia sudah lepas dari pohon induknya. Dahan itu katakanlah independent parts. Adam Smith ‘mencomot’ dinamika pasar ini dan membedahnya secara luas dan mendalam di bawah 'mikroskop'-nya. Friedrich Hayek (1899-1992) matang secara intelektual dengan melewati dua Perang Dunia, dan terlebih kekejaman Nazi dan munculnya Marxisme-Leninisme-Stalinisme. Hayek dan kolega-koleganya dalam Mont Pelerin Society (MPS, berdiri tahun 1947) yang terdiri dari ahli ekonomi, filsafat, sosial, sejarah, dan juga intelekual lainnya serat para pebisnis top, tanpa lelah mengembangkan dan meluaskan pengaruhnya terkait apa yang kita sebut sekarang ini sebagai neoliberalism.

‘Kebencian’ mereka terhadap ‘planned economy’ membuat promosi soal kebebasan menjadi salah satu upaya pokoknya. Tetapi intinya adalah dis-embedded liberalism. Pasar bebas yang kemudian dihayati sebagai ‘independent parts’, dan bahkan lebih dari itu: ia menjadi ‘jiwa’, menjadi the ‘ghost’-nya hidup bersama. Semua aspek kehidupan akan digerakkan oleh ‘jiwa pasar bebas’ ini. Maka, inilah mengapa adalah waktu yang tepat bicara soal neoliberalisme. Tidak hanya karena ‘mereka anak-cucu MPS’ itu sedang merasa mendapat ‘momentum-emas’-nya dimana hidup bersama sedang dalam keadaan ‘rantai yang paling lemah’, tetapi juga (bagi kita) karena yang dulu koar-koar tentang pasar bebas itu sedang sibuk dengan Brexit-nya. Sedang sibuk dangan perang dagangnya yang senjata utamanya adalah proteksi dalam bermacam bentuknya. Jadi, masih mau ditipu (lagi)? *** (25-06-2020)

Saat Tepat Belajar Neoliberalisme