www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-06-2020

The madness of stupidity, mungkin itu yang segera terlintas saat membaca berita Lomba Video New Normal Kemendagri di tengah-tengah segala kesulitan-kepengapan khalayak selama berbulan-bulan ditengah-tengah wabah coronavirus ini. Di tengah-tengah wabah yang belum juga mereda. Jika ini adalah ‘penyakit’ maka perlulah melacak ‘perjalanan penyakit’-nya. Mungkinkah (gejala penyakit) ini semakin meningkat di akhir Januari-awal Februari ketika secara bertubi-tubi stupidity itu mulai menunjukkan gejala madness-nya? Ketika merebak glècènan terkait dengan awal wabah. Bahkan sampai pakai goyang tik-tok segala. Berlanjut dengan keinginan bayar influencer milyaran rupiah. Keinginan buka lapak turisme di tengah puncak wabah, sampai segala simpang-siur keputusan dan tindakan, dan banyak lagi.

Penelitian terbaru soal ‘cinta buta’ ternyata memang itu tidak hanya berurusan dengan berdebar-debarnya jantung. Tetapi juga melibatkan proses-proses rumit di otak yang ujungnya memang segala ‘akal sehat’ kemudian di-shut down. Demikian diulas beberapa hari lalu oleh TV DW (Jerman). Di abad 20, ‘ke-cinta-buta-an’ sebagian orang terhadap para diktator kesayangannya dapat kita lihat bagaimana itu juga seakan men-shut down akal sehat. Nilai-nilai sosial yang umum berlaku seakan masuk kotak dulu.

Gelombang globalisasi (baru) yang mulai menerjang di awal 1980-an perlahan mulai meruntuhkan berseraknya para diktator abad 20. Para diktator yang seakan memegang erat pintu-pintu negaranya sehingga modal mengalami hambatan untuk bebas keluar-masuk. “Of equal concern is what globalization does to democracy. Globalization, as it has been advocated, often seems to replace the old dictatorships of national elites with new dictatorships of international finance. Countries are effectively told that if they don’t follow certain conditions, the capital markets or the IMF will refuse to lend them money. They are basically forced to give up part of their sovereignty, to let capricious capital markets, including the speculators whose only concerns are short-term rather than the long-term growth of the country and the improvement of Jiving standards, "discipline" them, telling them what they should and should not do,”[1] demikian ditulis Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002). Kediktaktoran abad 20 masih dimungkinkan -meskipun sangat kecil, apa yang disebut sebagai benevolent dictatorship sampai dengan di ujung lainnya yang sangat kejam. Bagaimana dengan dictatorships of international finance yang nampaknya semakin kita rasakan paling tidak 6 tahun terakhir ini?

What is neoliberalism? A programme for destroying collective structures which may impede pure market logic,” demikian Pierre Bourdieu di akhir tahun 1998.[2] Tak jauh dengan apa yang dilihat oleh David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalsm (2005): “In principle, neoliberal theory does not look with favour on the nation even as it supports the idea of a strong state. The umbilical cord that tied together state and nation under embedded liberalism had to be cut if neoliberalism was to flourish.”[3] Dalam konteks inilah akan menjadi lebih jelas mengapa the madness of stupidity kemudian banyak menghinggapi pengelola negara, terlebih yang mempunyai kemampuan membuat keputusan politik. Terlebih jika kualitas pimpinan negara itu kualitasnya kelas medioker, plonga-plongo abis. ‘Ke-cinta-buta-an’nya pada sang diktator (dictatorships of international finance) membuat banyak akal sehat di-shut down. Nilai-nilai sosial, nilai-nilai kepantasan seakan masuk kotak lebih dahulu. Apalagi jika mengingat kutipan dari pendapat Stiglitz di atas: ... "discipline" them, telling them what they should and should not do. Maka, lihat bagaimana bahkan yang cendekiawan itu melakukan salto mortale atas kecendekiawanannya. Tanpa beban.

Kalau bisa dibuat sekuelnya sekarang ini, mungkin film The Years of Living Dangerously (Mel Gibson, Signourney Weaver, 1982) akan mendapat antusiasme di beberapa kalangan. Bagaimana tidak ‘dangerously’ yang bahkan si-Erick itupun sampai-sampai dari yang pegang senjata merasa perlu direkrut sebagai komisaris BUMN? Tahun-tahun vivere pericoloso, demikian seru si Bung 56 tahun lalu. Atau kalau jaman now, tahun-tahun ‘penataan ulang’ oleh para economic hit man/woman yang ujungnya adalah dirampasnya republik. Dan yang namanya ‘penataan ulang’ biasanya akan menimbulkan panas-dingin. Apalagi jika itu dilatar-belakangi dengan sebuah radikalisme: radikalisme akumulasi. Makanya perlu yang pegang senjata.

Uang yang hampir menyentuh 1000 triliun itu sudah dibayangkan bagaimana harus dibagi sehingga everybody happy bagi mereka. Mereka-mereka para ‘stake-holders’ penataan ulang. Maka bisa-bisa Kartu Pra-kerja itu baru ‘pemanasan’ saja. Dan itu sangat dimungkinkan karena bisikan para ‘pangeran-pangeran’ dictatorships of international finance yang meyakinkan bahwa pengelolaan dan manipulasi krisis adalah juga bagian dari akumulasi kapital. Jadi sah-sah saja, apalagi sekarang ini ada dalam situasi exception.[4]

Lalu bagaimana dengan rakyat kebanyakan? Bukannya mendapat tetesan, tetapi justru disedot. Kurus kering-lah, everybody hurts –kata Michael Stipe vokalis REM. Melalui kenaikan premi BPJS. Tetap membayar rapid test dan sejenisnya. Tagihan listrik yang bikin dahi mengerut. Tarif tol naik terus. Bensin yang tidak juga turun harga. Dan nantinya saat ‘barang rongsokan’ charter school-nya[5] mas menteri sudah jalan: soal komodifikasi pendidikan. Persis seperti yang dikatakan David Harvey tentang accumulation by dispossession ‘jalur’ state redistribution: “The state, once neoliberalized, becomes a prime agent of redistributive policies, reversing the flow from upper to lower classes that had occurred during the era of embedded liberalism.”[6] Era embedded liberalism adalah masa pasca Perang Dunia II sampai dengan awal 1970-an. Era welfare state yang pada akhir 1970-an digusur oleh paradigma neoliberalisme, dis-embedded liberalism. Atau the madness of accumulation. Radikalisme akumulasi. Kegilaan yang bersembunyi di balik kegilaan-kegilaan dari kedunguan. Radikalisme yang disembunyikan di balik ‘radikalisme’ lainnya, dari yang di ujung kiri maupun di ujung kanan. Kalau perlu dibenturkan. Jadilah krisis (baru). Akhirnya, 'spiral akumulasi'. Kalau dalam spiral kekerasannya Dom Helder Camara, ketidak-adilan terus dilanjut kekerasan dan semakin tidak-adil-kekerasan mengeras, dst. Bagi Milton Friedman, bisa-bisa: krisis-akumulasi-semakin krisis-semakin ganas akumulasinya. Bangsat-lah. *** (24-06-2020)

 

[1] Joseph Stglitz, Globalization and Its Discontents, WW Norton & Company, 2002, hlm. 247

[2] https://mondediplo.com/1998/12/

08bourdieu

[3] David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, Oxford University Press, 2005, hlm. 84

[4] https://www.pergerakankebangsaan.

com/561-Permanent-Exception/

[5] https://www.pergerakankebangsaan.

com/563-Setelah-Katrina/

[6] David Harvey,, A Brief ... , hlm 163

Everybody Happy/Hurts