www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-06-2020

Johnson has also said he wanted to change the "narrative so we stop the sense of victimization and discrimination", demikian dilaporkan Newsweek, 15 Juni 2020. Bagian ‘the sense of victimization’  yang mana si-Boris berharap untuk dihentikan itulah yang membuat munculnya bermacam tanggapan. Pernyataan terkait dengan demonstrasi rasisme yang juga merebak di Inggris akhir-akhir ini. Sebelumnya Johnson berjanji akan meneliti secara mendalam bermacam kesenjangan yang ada di Inggris, terlebih pada kulit hitam dan berwarna lainnya.

I grew up in the 30s with an unemployed father. He didn't riot; he got on his bike and looked for work and he kept looking 'til he found it,” demikian dikatakan oleh Norman Tebbit, 15 Oktober 1981 di depan Konferensi Partai Konservatif Inggris, di usia 50 tahun. Norman Tebbit saat itu sebagai Menteri Tenaga Kerja (1981-1983) di bawah pemerintahan Margaret Thatcher. Meski berjarak hampir 40 tahun, ‘gaya bicara’ antara Boris Johnson dan Norman Tebbit bisa dikatakan tidak jauh berbeda. Sesuatu yang di latar-belakangi paradigma konservatif. Seperti banyak ditemukan di Eropa maupun di Amerika Utara yang menampilkan dua partai (atau koalisi partai-partai) dominan, jika si A yang menang maka sedikit banyak bisa diraba ‘gaya’, dan terlebih lagi keputusan politik dan tindakannya. Kanan dan kiri-nya akan nampak dalam praktek. Dan dalam praktek, soal kanan-kiri ini juga mengalami pergeseran-pergeseran dalam spektrumnya.

Istilah kanan-kiri dalam politik dimulai jauh sebelum komunisme ada. Tahun 1789 sebagai bagian dari Revolusi Perancis, dibicarakan soal undang-undang baru. Yang masih mendukung monarki dan golongan aristokrat ada di sebelah kanan, yang anti-kerajaan di sebelah kiri. Atau yang kemudian berkembang, satu menekankan soal social equality di kiri, dan social hierarchy di kanan. Atau kalau di AS, Partai Republik di kanan, dan Partai Demokrat di kiri dalam spektrum kanan-kiri tersebut. Neoliberalisme misalnya, pertama-tama pendukungnya adalah dari Partai Republik di AS dan Konservatif di Inggris, terutama faksi kanan-jauhnya. Maka tidak heran jika kemudian David Harvey menyebut neoliberalisme itu adalah juga ‘the restoration of class power’. Kelas korporasi besar yang merasa stagnan karena harus berhadapan dengan dinamika social equality saat welfare state menjadi paradigma pasca Perang Dunia II.

Pada kesempatan ini bukan soal kanan-kirinya, tetapi yang ada dinamis di antaranya: retorika. Mengapa kanan-kiri itu tidak meneruskan angkat senjata saja? Bukankah yang powerful itu senjata? Tetapi bukankah yang menjadi ‘rumah’ bagi manusia itu adalah -kata Heidegger, bahasa? Maka sebenarnya, senjata sekuat apapun adalah di belakang kata, di belakang bahasa. Makna retorika pada awalnya memang positif. Retorika tidak pernah lepas dari upaya pencarian kebenaran. Kata Yunani untuk ‘kebenaran’ adalah ‘aletheia’, berarti ‘menyingkap selubung’. Demikianlah realitas baru tercapai bila selubung data dan fakta disisihkan.[1] Y.B. Mangunwijaya dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992) menuliskan: “Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika. Pengertian retorika biasanya kita anggap negative, seolah-olah hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran  poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan.[2]

Pendidikan klasik sejak jaman Abad Pertengahan sering disebut sebagai ‘liberal arts’. Kata ‘liberal’ di sini tidak ada kaitannya dengan ideologi liberalisme, tetapi adalah seni untuk ‘unlocking the power of the mind’. Sejak Abad Pertengahan pula kemudian ‘liberal arts’ ini dibedakan antara trivium dan quadrivium. Trivium yang terdiri dari logic, grammar, dan rhetoric terkait dengan mind. Sedangkan quadrivium terdiri dari arithmetic, music, geometry, dan astronomy, dan terkait dengan matter. Logic merupakan art of thinking, grammar merupakan the art of inventing symbols and combining them to express thought, dan rethoric adalah the art of communicating thought from one mind to another, the adaptation of language to circumstance. Sedangkan arithmatic adalah theory of number, dan music merupakan aplication of the theory of number. Geometry merupakan theory of space, dan astronomy, an aplication of the theory of space.[3]

Hampir 40 tahun lalu Gayatri Spivak menulis esai Can Subaltern Speak? Jika retorika kemudian menjadi salah satu pendorong kemajuan dunia Barat, dalam sejarah kemudian kita bisa melihat bahwa kemajuan itu ternyata juga meluas dalam bermacam kolonialisme. Dalam konteks terkait kolonialisme itu Spivak menulis secara tidak langsung. Bagi Spivak, yang utama adalah persoalan ‘diabaikan’. Subaltern bisa bicara, sering bicara juga, sering bercerita, tetapi diabaikan. Tetapi juga jangan dilupakan, banyak juga yang memang ‘tidak bisa bicara’. Tulisan-tulisan Paulo Freire di tahun 1960-1970-an bicara banyak soal ini. Bahkan dalam banyak hal, juga Gramsci.

Maka jika kita bicara soal pendidikan retorika, soal logos, pathos, dan ethos misalnya, kita tunda dulu sampai pada usia-usia tertentu. Sejak usia dini berikanlah pada anak-anak kita ruang dan waktu yang cukup untuk bicara. Berani bicara. Yang pada saat bersamaan, anak-anak lain juga berlatih mendengar. Mendengar dengan kesungguhan dan ketulusan serta menampakkan dalam memberikan apresiasinya. Dan itu paling tidak dilaksanakan sepanjang pendidikan dasar, katakanlah SD-SMP. Berani? *** (16-06-2020)

 

[1] Alois A. Nugroho, Manusia dan Perubahan Sejarah: Berfilsafat Bersama Jose Ortega Y Gasset, dlm Manusia Multi Dimensional, M. Sasatra[ratedja (ed), Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 109

[2] Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7

[3] Tentang pendidikan klasik ini lihat, Miriam Joseph, The Trivium. The Liberal Arts of Logic, Grammar, and Rhetoric.Paul Dry Books, 2002

Kanan-kiri dan Retorikanya