www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-06-2020

Accumulation by dispossession dikembangkan oleh David Harvey untuk melihat secara luas apa yang disebut Marx sebagai primitive accumulation, yang dipotret Marx pada awal-awal kapitalisme berkembang. Beberapa infant industry yang dilindungi saat Orde Baru, akumulasi kapitalnya masih dalam konteks primitive accumulation ini. “Memanen” nilai lebih yang dihasilkan para pekerjanya. Dengan berkembangnya gerakan dan menguatnya serikat pekerja serta berkembangnya isu HAM, untuk ugal-ugalan dalam ‘panen nilai lebih’ ini semakin tidak mudah lagi. Menurut Harvey dalam The New Imperialism (2003), bersamaan dengan merangkaknya dominasi neoliberalisme sejak awal 1970-an, apa yang disebutnya accumulation by dispossession itupun juga berkembang (dikembangkan).

Indonesia is the best thing that’s happened to Uncle Sam since World War,” demikian menurut salah satu pejabat Bank Dunia, seperti ditulis oleh David Ransom di tahun 1970 dalam The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre.[i] Dan itu dikatakan terkait dengan lanjutan peristiwa 1965. Kelanjutannya adalah, (salah satunya) munculnya peta Indonesia yang sudah dibagi-bagi konsensi eksplorasi minyaknya, seperti dimuat di The Times, 17 Agustus 1971.[ii] Tahun 1973, di Cile, Allende digulingkan dan kemudian menjadi percobaan proyek neoliberalisme di bawah Pinochet. Dikawal oleh yang sering disebut dengan Chicago Boys. Beda dengan yang di Indonesia.

Selain sebagai ‘penjaga malam’, negara dalam konteks 'negara neoliberal' dalam praktek sebenarnya adalah juga untuk ‘memfasilitasi’ accumulation by dispossession karena sifat monopoli penggunaan kekerasan dan kemampuan dalam membuat perundangan.[iii] Menurut Harvey, accumulation by dispossession mempunyai beberapa bentuk, privatisasi dan komodifikasi, finansialisasi, terkait dengan manajemen dan manipulasi krisis, dan state redistribution.[iv] Pada awal tahun 1970an, dollar AS dibuat mengambang, tidak lagi dipatok standar emas lagi seperti perjanjian Bretton Woods. Jadi tergantung naik-turunnya permintaan. Dan diikuti oleh negara-negara lain. Dollar AS tetap menjadi ‘favorit’ karena permintaan akan selalu tinggi, terlebih dalam perdagangan minyak dunia. Dengan itu pula maka financialization semakin dimungkinkan untuk dipompa sebesar-besarnya. Dan ujungnya kita bisa melihat tumbuhnya ‘konglomerat-konglomerat’ baru dari area ini. Yang sering juga mereka memanfaatkan bermacam krisis yang ada. Atau bahkan mereka juga yang ‘meniup krisis’? Intinya, krisis adalah juga salah satu sumber dari akumulasi kekayaan mereka. Krisis 1998 adalah contoh kongkret bagaimana accumulation by dispossession itu membuat republik yang harus menanggung beban bertahun-tahun kemudian.

Apa yang ingin disampaikan di sini adalah, kalau setiap penetapan UMR misalnya, para pekerja/buruh dan serikatnya mempunyai kemampuan untuk ‘menahan’ ugal-ugalannya primitive accumulation, bagaimana dengan ugal-ugalannya accumulation by dispossession ini? Lihat yang telanjang di depan mata, soal sekitar Kartu Pra-kerja yang melibatkan staf-khusus-milenial-bangsat itu. Atau kasus Jiwasraya, Asabri. Atau utang-utang yang menjerat dan BUMN-BUMN yang kemudian perlahan sudah sampai di ujung jurang itu. Dan banyak lagi.

Dalam tayangan France24 terkait mulai dibukanya restoran dan cafe, seorang warga Paris menunjukkan kegembiraannya. Katanya: “Akhirnya kebiasaan lama hadir lagi!” Yang dimaksud adalah kebiasaan lama nongkrong di cafe. Kebiasaan nongkrong di cafe menurut Habermas adalah salah satu tradisi yang ikut mewarnai ruang publik di Perancis dan bagian lain di Eropa sana sejak abad 18. Mereka di cafe diskusi bermacam hal, berdebat, atau ngobrol biasa saja. Selain cafe juga bermacam terbitan seperti koran, majalah, jurnal, ensiklopedia, dan lain-lain ikut membangun ruang-ruang publik itu. Ruang-ruang publik itu berkembang seakan ada di antara ruang negara dan ruang privat. Dan memang ruang-ruang publik itu berkembang di luar kontrol negara atau kerajaan.

Ketika mulai banyak pejabat-penguasa mulai mudah tersinggung terhadap apa-apa yang muncul di ruang publik, bahkan dengan segala sumber daya yang dipunyai negara ingin mengusik/mengontrol ruang publik, pada saat itulah alarm ‘kedaruratan demokrasi’ harus sudah bunyi keras. Inilah yang juga dirasakan republik akhir-akhir ini. Dan semakin lama semakin tersingkap juga, itu pertama-tama adalah untuk menutupi accumulation by dispossession yang sudah sedemikian ugal-ugalan itu. Dan vulgar tanpa beban lagi. Atau jangan-jangan, diam-diam ada pejabat Bank Dunia yang sedang gundah bergumam: “Indonesia is the best thing that’s happened to China since 1998?*** (12-06-2020)

 

[i] Ramparts, Vol. 9, No. 4, Oct. 1970, pp. 26-28, 40-49

[ii] Dennys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Vol. 1, hlm. 89

[iii] David Harvey, A Brief of Neoliberalism, hlm. 159

[iv] Ibid, hlm. 160-164

Akhir Dari "Ultra-minimal State? (5)