www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-06-2020

“I have come to the conclusion that politics are too serious a matter to be left to the politicians

Charles de Gaulle

Through liberty to welfare!” demikian mungkin motto para buzzer bayaran itu. Mau ngebacot apa saja, yang penting bayarannya ada. Atau juga yang sedikit ‘berkelas’, sebagian para ‘konsultan’ tukang survei itu. Mau sulap-sulap data mah bebas –liberté!, asal ada yang bayar. Atau bebas juga ngerancang pertanyaan giringan sesuai pesanan, sekali lagi, asal bayaran sesuai. Yang dimaksud Adam Smith tentang perdagangan bebas lintas negara tentu tidak seperti itu. Tetapi ada saja yang kemudian berpikir, bagaimana mungkin ada perdagangan bebas kalau di rumah saja dikekang? Maka bacot-bacot buzzerRp itupun jadi monyong tanpa lelah, karena cacing-cacing yang di perut itupun selalu minta jatah.

Salah satu kritik Friedrich List terhadap Adam Smith adalah soal kekuatan produksi, yang lebih menekankan pada soal pekerja saja. Kekuatan otak dari seorang akademisi atau cendekiawan, atau dari seorang komposer misalnya, kemudian tidak masuk sebagai kekuatan produksi. Dari kritik List ini kita bisa mengembangkan imajinasi lebih jauh dalam upaya memajukan hidup bersama sebagai satu bangsa. Katakanlah kita mengikuti pembedaan antara state, market, dan civil society, maka yang namanya productive forces itu sebenarnya ada di tiga ranah tersebut. Dan, seperti ditekankan List, tidak hanya sebatas pada pekerja atau buruh yang terlibat dalam rantai produksi tertentu. Menurut List, the prosperity of a nation depended not upon the wealth that it had amassed but upon its ability to develop "productive forces" which would create wealth in the future, productive forces not being those involved in creating material products, but rather scientific discoveries, advances in technology, improvements in transportation, the provision of educational facilities, the maintenance of law and order, an efficient public administration, and the introduction of a measure of self-government.[1] Kalau menurut Smith, the wealth of nations adalah ‘akibat sampingan’ saja dari sejahteranya individu-individunya.

Dari ranah state, market, dan civil society, semakin kita rasakan bahwa justru di state-lah masalah productive force kita rasakan di tahun-tahun terakhir pasca-1998 ini sungguh bermasalah jika kita bicara soal era Reformasi. Dan sebaiknya kita jangan menggiring diri kita untuk kemudian pagi-pagi sudah melihat soal PNS-nya dulu, tetapi jika mengikuti List, ekonomi adalah juga politik ekonomi, maka ini adalah soal keputusan dan tindakan-tindakan atau perilaku aktor politiknya. Maka pertama-tama yang harus dipikirkan adalah manusianya, aktornya. Atau kalau kita kembali lebih awal lagi, rekrutmen aktor-aktor yang akan mengelola state itu. Input-nya. Tentu segala sistem yang dibangun akan sangat berguna menunjang banyak hal, tetapi dari apa-apa yang bisa kita lihat bersama, aktor-lah ternyata yang menjadi titik sentral ‘masalah’.

Siapa yang menolak audit sistem IT KPU, atau standarisasi sistem IT-nya, misalnya? Siapa yang menerima suap sehingga kena OTT itu? Siapa yang mengumumkan pemenang di tengah hari? Siapa yang lempar-lempar bingkisan untuk rakyat dari mobil yang sedang berjalan melalui jendela pintu mobil sambil pecingas-pecingis? Siapa yang suka menipu dan ngibul? Mungkin jika ada yang mau mencalonkan jadi walikota dan nampang sambil menenteng es teh dalam plastik sudah serasa merakyat, di lain tempat mungkin ditengok saja kagak. Juga bagaimana penjilat-penjilat itu sering justru sengaja ‘dipamerkan’ tanpa beban lagi. Atau lihatlah polah-tingkah provokator buzzerRp yang nampak telanjang justru dikerahkan oleh state dan seakan sedang mengobok-obok bangunan civil society itu. Refleksinya adalah, ada masalah soal productive force terutama di ranah state sekarang ini. Lalu akan ada yang bilang: tidak ada masalah tuh. Mengapa? Politik ya gitu itu, katanya. Tanpa kehormatan sekalipun. Maka dibiasakanlah khalayak melihat tontonan vulgar dari si-kutu-kutu-loncat, misalnya. Dan tontonan-tontonan tidak mutu lainnya. Hasilnya? Bisa kita lihat bersama, bukan the wealth of nations yang membayang di depan tetapi the wealth of oligarchs.

Beberapa contoh perilaku tidak mutu aktor di ranah negara di atas nampaknya kok seperti ‘perilaku pribadi’ saja. Tapi justru dengan melihat bermacam yang perilaku itu kita bisa membayangkan apa-apa kebijakan dan eksekusinya jika pengelolaan negara itu ada di tangan orang dengan kualitas seperti itu? Input yang serba medioker itu akan sangat mempengaruhi proses, dan ujungnya output-nya sekali lagi, the wealth of oligarchs. Maka bagi kaum oligark, mediokerisasi total di ranah negara adalah salah satu strategi utamanya.

Seberapa kuat kita banting tulang membangun kekuatan di pasar, tetapi ketika aktor-aktor yang duduk di ranah negara tidak bisa mengikuti kualitas yang berkembang di pasar maupun masyarakat sipil, jadinya justru akan nyrimpeti saja. Apakah pilihannya kemudian ‘ultra-minimal state’ itu? Ketika semua akhirnya harus dipaksa efisien demi survive dalam persaingan global? Asumsi dari privatisasi adalah orang tidak akan ‘bertarung habis-habisan’ jika bukan miliknya. Tentu tidak semuanya salah asumsi itu. Makanya, dalam konteks strategi List ini, patriotisme adalah syarat mutlak. Ada juga ‘jalan tengah’, dibentuk semacam Sovereign Wealth Fund (SWF), misalnya. Ha Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder (2002) menggambarkan bagaimana ‘curang’-nya yang sekarang sedang ‘duduk di atas’ di panggung global itu. Mereka dulu naik tangga proteksi dalam bermacam bentuknya, dan ketika sudah di atas, tangga itu ditendang dan orang lain tidak boleh menaiki tangga itu. Do as we say, not as we do, demikian gambaran yang diberikan Ha Joon Chang.

Kalau kita mau mencari contoh bagaimana capital of mind itu kemudian muncul sebagai productive force yang kreatif di ranah state, paling tidak bisa kita lihat dari Rizal Ramli. Bagaimana kiprahnya saat menjabat di era Gus Dur dulu. Atau dalam banyak hal, Anies Baswedan. Bukan yang plonga-plongo-ona-anu-sok-sok-an-tukang-ngibul-penuh-lagak itu. Atau ‘generasi muda’-nya yang merasa perlu nampang sambil menenteng es teh dalam plastik itu, misalnya. Mereka akan bilang: itu kan yang diminta rakyat, yang diminta pasar. Maka kita juga bisa bilang: anda sama sekali bukan patriot! Sama sekali bukan!

Dalam pidatonya di depan National Future Farmers of America Organization, 27 Juli 2001, Presiden George W. Bush menekankan bahwa: “It's important for our Nation to be able to grow foodstuffs to feed our people. Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation that would be subject to international pressure. It would be a nation at risk. And so when we're talking about American agriculture, we're really talking about a national security issue.” Bagi List, nation must first develop its own agricultural and manufacturing processes sufficiently to support international free trade.[2]  Jika pandangan List dan Bush di atas kita gabung, maka ini adalah soal kedaulatan. Kedaulatan untuk apa? Pertama-tama adalah untuk menentukan apa-apa yang terbaik bagi negara-bangsa. Lihat bagaimana soal kedaulatan ini nampak begitu mewarnai dalam awal-awal wabah di republik. Rapuhnya soal kedaulatan membuat bermacam keraguan dan kekonyolan justru merebak di tingkat pengambilan keputusan level negara. Akibatnya? Berkepanjangan, dengan segala konsekuensinya akibat ke-ber-tele-tele-an masalah dan responsnya. Konyolnya lagi, justru buzzerRp dan lembaga survei yang juga ikut diminta maju. Bangsat-lah. *** (11-06-2020)

 

[1] https://www.newworldencyclopedia.org/

entry/Friedrich_List#Economics_based_

on_productive_powers

[2] Ibid

Akhir Dari "Ultra-minimal State? (4)