www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-06-2020

Lhaaa ... ndas-mu,’ demikian kadang guyonan di kalangan aktifis sebelum 1998, terkait dengan ‘janji’ tinggal landas yang terus diulang-ulang selama rejim Orde Baru. Atau kalau jaman now, tahun sekian kita akan menjadi negara bla bla bla.

Rent seeking activity di republik saat Orde Baru mulai bahkan di awal-awal Orde Baru –sekitar tahun 1970an, yaitu terkait dengan masalah produk kayu/soal konsensi hutan. Dan kemudian kita bisa melihat bagaimana itu kemudian berkembang melebar-meluas dan mengakar di sepanjang rejim Orde Baru. Friedrich List sebenarnya sungguh mengingatkan soal dampak buruk korupsi ini. Tentu banyak juga capaian selama Orde Baru itu –dan sebaiknya kita lihat juga dengan mata jujur, juga capaian-capaian pemerintah sebelumnya, tetapi sayangnya kerusakan yang ditinggalkannyapun seakan membuat kita tertinggal jauh dengan ‘rekan-rekan seangkatan’, atau bahkan ‘adik kelas’ saat merdeka dulu. Lihat bagaimana capaian swasembada pangan (beras) suatu saat di jaman Orde Baru, yang sekarang bisa kita lihat dengan sangat jelas bagaimana itu telah dibajak oleh kong-ka-li-kong antara pemburu rente dan oligarki itu.

Apakah ‘orang luar’, baik itu misalnya Bank Dunia, atau negara-negara lain ikut prihatin atas kerusakan yang terus berjalan itu? Nampaknya tidak tuh. Bank Dunia tentu paham soal kebocoran dari utang-utang (bantuan, kata sementara orang) yang diprediksi bisa mencapai 30%, tapi apa yang mereka lakukan terhadap itu? Apapun itu, pelajaran yang bisa kita tarik, kita bisa dikatakan gagal mengelola apa-apa yang mestinya dapat kita kendalikan. Apa itu yang disebut ‘resources curse’, atau ‘bad-debt’ harus juga dilihat itu merupakan kesalahan kita sendiri sebagai bangsa.

Adam Smith melakukan kritik total terhadap merkantilisme sampai ke ujung bandul. Sedangkan Friedrich List mengajukan kritik terhadap Smith dengan menahan bandul tidak mengayun ke ujung. Tetapi ke duanya tetaplah melihat hak milik sebagai yang sah dan diperlukan. Sedangkan Marx berusaha mempersoalkan di jantung masalah, hak milik. Maka pertanyaan praktisnya, bagaimana soal ‘membagi kesejahteraan’ itu? Soal ‘pembagian rejeki’. Mau sama-rata-sama-rasa? Atau njomplangnya gila-gilaan? Atau diupayakan yang paling bawah untuk serius diangkat nasibnya?

Masalahnya kadang di tengah-tengah jatuh-bangunnya menggali rejeki, sejarah menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai imperialisme itu adalah nyata adanya. Sebagai reaksi terhadap bermacam bentuk imperialisme ini maka bermacam perjuangan-nasional kemudian melahirkan negara-bangsa. Abad 20 dalam banyak hal sering disebut sebagai abad nasionalisme terkait dengan banyaknya kemunculan negara-bangsa baru. Tetapi sejarah juga mencatat, meski negara-bangsa baru terbentuk, imperialisme itu bisa sedemikian lenturnya dan terus-menerus membayang dalam berbagai bentuk. Maka benar kata si-Bung, dua hal yang mesti diselesaikan di seberang jembatan emas, keberesan politik dan keberesan rejeki.

Kita telah membayar mahal dalam banyak hal demi (maunya) beresnya oikos-nomos republik selama Orde Baru. ‘Liberty’ ditunda dulu demi ‘through welfare to liberty’. Mulai dari ‘penataan institusi’ demi ‘beresnya’ politik, sampai dengan bermacam pengendalian di banyak lini. Tetapi ‘pengorbanan’ yang begitu besar itu seakan perlahan dibajak oleh gurita korupsi dan kolusi serta nepotisme yang begitu ugal-ugalan. Pembangunan menjadi pembangunanisme yang sudah tidak bisa dikontrol lagi.  Kalau kita memakai pembedaan Aristoteles terkait dengan oikos-nomos dan chrematistics, maka pandangan List bisa dilihat juga dari kacamata oikos-nomos ini. Ia ingin menekankan beresnya rejeki pada ‘keluarga’ dulu, dalam hal ini ranah negara-bangsa. Dan memandang soal chrematistics bukanlah untuk diprioritaskan. Kreatifitas adalah dalam hal barang atau jasa, dan kemudian itu baru ‘di-uangkan’. Ada keringat nyata, ada loyalitas juga misalnya yang bekerja di sebuah perusahaan. Rent-seeking activity dalam banyak hal bisa dipandang sebagai kegiatan chrematistics. Menurut Aristoteles, oikonomia is the science or art of efficiently of producing, distributing, and maintaning concrete use values for the household and community over the long run. Chrematistics is the art of maximizing the accumulation by individuals of abstract exchange value in the form of money in the short run.

Ini permainan yang memabukkan, penuh kegairahan, tapi kemenangan dan kekalahan di meja poker tidak menutup fakta yang mengerikan bahwa kapal itu sedang tenggelam dan tidak ada seorangpun yang menyadarinya,” demikian kata Akio Morita (1921-1999) pendiri Sony Corporation pada suatu saat. Morita sedang menyoroti meraksasanya pasar keuangan yang semakin tidak terkendali. Jejak Friedrich List di Jepang dimulai sejak akhir abad 19-awal abad 20, menurut Ha Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder (2002). Setelah hancur lebur pasca Perang Dunia II, salah satu hal penting yang ditanyakan Kaisar, berapa guru yang tersisa? Berapa sumber-daya untuk mengembangkan capital of mind itu? Pernyataan Akio Morita di atas mungkin bisa menggambarkan orang yang begitu didorong kreatifitas dan loyalitasnya terhadap hal-hal yang jauh dari spekulasi. Di republik, kapal bisa karam bisa-bisa karena pemburuan-rente yang gila-gilaan, dan kong-ka-li-kong-nya dengan para oligarkis. *** (10-06-2020)

Akhir Dari "Ultra-minimal State? (3)