www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-06-2020

Tidak hanya ada di tengah-tengah 8 milyar populasi, tetapi ada di tengah-tengah yang serba cepat. Tidak hanya informasi, atau cepatnya perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga penyebaran virus seperti sekarang ini. Juga soal ekonomi yang dari segi volumenya, ‘ekonomi virtual’ yang seakan meminggirkan ‘ekonomi riil’. Lalu bagaimana negara semestinya dikelola di dunia serba cepat ini?

Bermacam upaya manusia mengembangkan teknologi artificial intelligence. Ini bisa kita lihat sebagai tantangan terbesar manusia dalam upaya ‘meniru’ dan meningkatkan kapasitas tubuh. Dan kita semakin paham bahwa hal yang paling sulit ditiru adalah soal otak manusia. Maka, mumpung masalah otak manausia itu bisa dikatakan masih belum tergantikan, bahkan di dunia yang sudah sedemikian cepat ini, pertanyaan di atas, bagaimana negara semestinya dikelola di yang serba cepat ini, jawabannya adalah: pakailah otak!

Keputusan-keputusan mungkin akan sangat terbantukan dengan simulasi-simulasi berdasarkan bermacam algoritma digital, tetapi pada akhirnya otak manusialah yang ujungnya memberikan putusan akhir. Tidak hanya soal putusan akhir, dalam konteks menegara, bagaimana itu dikomunikasikan pada khalayak, peran manusia masih belum tergantikan. Maka, kata adalah kuncinya. Bahasa.

Kata-kata yang meluncur dari mulut kita bukanlah hanya proses mekanik yang terbatas di area mulut-hidung sampai rongga dada saja, tetapi pastilah ia melibatkan proses rumit di jaringan otak sana. Dan proses itu berlangsung sedemikian cepatnya, bahkan komputer yang paling canggihpun belum bisa menandingi. Inilah sebenarnya ‘bargaining’ manusia terhadap segala macam ciptaannya. Berkata-kata, berbahasa dalam segala bentuknya. Bisa secara verbal, bahasa tubuh, seni lukis, musik, dan lain-lainnya.

Mungkin sudah saatnya kita memandang bahwa bahasa itu tidak hanya berurusan dengan ‘bangunan atas’ saja, tetapi juga ia tidak akan lepas dari ‘bangunan bawah’, basis material. Penelitian Robert Levi di sekitar tahun 1970 terkait dengan tingginya angka bunuh diri di Tahiti waktu itu, sampai pada persoalan yang disebutnya sebagai hipokognisi. Ketika ada yang kehilangan sesuatu yang amat berharga, tidak ada kata untuk mengatakannya. Hanya dirasakan perasaan yang sungguh tidak enak, menyakitkan, dan seterusnya. Ujungnya, banyak yang bunuh diri. Atau coba kita bayangkan, mengapa Eep Saefullaf Fatah sempat mengusulkan penambahan kosa kata baru: merendra (terkait dengan WS Rendra).

Dari bermacam pengalaman menghadapi coronavirus di berbagai belahan dunia, yang sering kita lupakan karena sudah menjadi sehari-hari: peran bahasa, peran kata-kata. Atau tepatnya, kualitas dalam berbahasa. ‘Efektifitas’ dalam berbahasa. Tentu mendahului banyak hal, kualitas berbahasa itu pertama-tama berbanding lurus dengan tindakannya. Baru kemudian soal bermacam input lainnya.

Dunia yang serba cepat ini tidak hanya menuntut respons yang cepat, tetapi di satu sisi bisa-bisa juga mengorbankan soal kedalaman, keluasan. Maka mungkin ‘menunda’ adalah barang mewah bagi kebanyakan orang. Tetapi bagi pemimpin atau si-minoritas kreatif jika memakai istilah Toynbee, ‘ketrampilan menunda’ adalah kondisi yang mutlak harus ada. Kita ‘menunda’ bermacam prasangka yang ada dalam diri, dan kembali ke sesuatu itu dengan sikap seakan-akan sebagai ‘pemula’ dan mulai melihat segala sisi dari bermacam sudut dan aspeknya. Apa-apa yang kita dapatkan sebagai ‘pemula’ itu kita bincangkan dengan kanan-kiri kita, siapa tahu akan semakin mendekati esensi masalahnya. Dan karena yang akan di-‘bahasa’kan pada khalayak itu hal yang mendekati esensi, maka dengan itu pulalah khalayak yang dipimpinnya akan lebih mudah ‘menyesuaikan’ diri. Seakan di depannya disodorkan peta sederhana yang dengan itu ia akan menjalaninya. Tentu tidak semua -bahkan sebagian besar, dalam berbahasa haruslah se-efektif ini, bisa terus menerus berkeringat hidup di dunia ini. Tetapi dalam konteks penyelenggaraan negara, efektifitas ini akan bisa berujung terkait dengan daya saing.

Mengelola negara itu tidak hanya mempertaruhkan masa kini, tetapi juga masa depan dan masa lalu. Lihat saja apa yang dipertaruhkan oleh Donald Trump terkait dengan responnya terhadap merebaknya protes atas kematian George Floyd akhir-akhir ini. Dan coba juga cermati kata-kata yang dipakainya. Kualitas dan efektifitasnya. Bagi seorang konservatif tulen, kata-kata Trump mungkin ‘berkualitas’, artinya antara kata dan tindakan yang semestinya diambil adalah sesuai. Tetapi efektifkah?

Bermain kata untuk tujuan propaganda jelas tidak akan bisa dihilangkan. Tapi porsi terbesarnya adalah di Abad 20, tidak di abad ini. Pemimpin tukang ngibul dan sukanya main jargon-jargon kosong serta drama-drama tidak mutu, jelas sudah tidak kompatibel lagi dengan tuntutan perkembangan jaman. Apalagi ia seakan kesulitan berakrab dengan sain. Sudah tidak berkualitas, tidak efektif pula. Kalau ada yang semacam itu, kemungkinan besar ia adalah sekedar boneka saja. Bukan pemimpin. ‘Efektif’ hanya untuk kepentingan sang majikan. Dan sungguh ia telah mempertaruhkan banyak hal di tengah-tengah ‘lautan’ 8 milyar manusia ini. *** (05-06-2020)

Negara dan 8 Milyar Populasi