www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-06-2020

Ketika Thomas Hobbes dan kemudian John Locke, dan kemudian lagi Rousseau menulis yang sekarang bisa kita kaitkan dengan istilah ‘kontrak sosial’ itu, populasi dunia belum mencapai 10%-nya jumlah populasi sekarang ini. Baru mendekati 10%-nya saja. Soal kontrak sosial ini, dalam praktek sebenarnya sudah dijalankan paling tidak pada jaman Sokrates. Setelah mengalami bermacam perang, termasuk dua Perang Dunia yang melanjut pada Perang Dingin, dan juga bermacam goncangan dan keberhasilan ekonomi, di Abad 21 ini kita masih saja mengenal apa yang disebut sebagai ‘kontrak sosial’ itu. Bahkan di China-pun ada juga ‘kontrak sosial’, yang disebut oleh Martin K. Dimitrov (2013-hlm. 278) sebagai ‘implicit social contract’. Atau jika memakai kata-kata Cak Nun, rakyat disuruh diam saja, tetapi kebutuhannya dipenuhi. Tetapi menurut Dimitrov, dalam perkembangannya tidaklah 100% disuruh diam saja –terlebih setelah runtuhnya Tembok Berlin, ada mekanisme citizen complaints, (hlm. 278) dan nampaknya dinamika inilah yang digambarkan sebagai ‘implicit social contract’ itu. China kelihatannya juga sangat mengambil pelajaran atas peristiwa Tiananmen di tahun 1989.

Kontrak sosial merupakan ‘perjanjian’ antara warga dan pemerintahannya. Di Republik, ‘garis-garis besar haluan kontrak sosial’ itu ada di alinea 4 Pembukaan UUD 1945,  empat hal di awal alinea. Yang juga itu ada dalam sebuah negara yang jalannya telah disepakati di dasarkan atas yang ada di bagian akhir alinea tersebut. Perkembangan ‘detail’ bagaimana kontrak sosial itu diterjemahkan sesuai dengan situasi berkembang, paling tidak adalah pada saat pemilihan. Pada saat itulah kontrak-kontrak sosial ‘turunan’ dari ke-empat hal di Pembukaan UUD 1945 seperti dimaksud di atas ditawarkan masing-masing kontestan. ‘Paling tidak’ karena sebenarnya tidak hanya janji-janji kampanye, tetapi juga bermacam peraturan dan perundangan yang ada, termasuk tentu undang-undang dasarnya. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat akhir-akhir ini, polisi yang sebenarnya bertugas ‘melayani dan melindungi’ itu adalah juga bagian dari kontrak sosial antara warga AS sono dengan pemerintahannya. Dan ketika polisi justru secara brutal mengakibatkan meninggalnya George Floyd, maka reaksi berantai-pun menggelinding.

Jika kita melihat pendapat Driyarkara soal menegara, maka esensi dari menegara itu adalah dialog. Dan kontrak sosial itu adalah apa-apa yang begitu penting dalam dialog dan dimungkinkan untuk sebuah kata sepakat, kemudian disepakati. Dorongan utama untuk berdialog dalam hal ini adalah pertama-tama demi kelangsungan hidup itu sendiri, terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar. Tetapi Maslow kira-kira 8 tahun sebelum Stalin meninggal, menunjukkan bahwa human needs itu tidaklah hanya sekitar kebutuhan dasar saja. Dan jika kita memakai teori segitiga hasrat-nya Rene Girard, paling tidak hasrat akan aktualisasi diri akan terus tergoda dengan seliwerannya berbagai model. Ketika modus komunikasi masih man-to-man, dan man-to-mass, mengendalikan model masih dimungkinkan dalam ‘masyarakat tertutup’. Tetapi dengan merebaknya jaringan internet yang memfasilitasi modus komunikasi mass-to-mass, bermacam ‘model’ akan dengan mudah menerobos, bahkan pada masyarakat tertutup sekalipun. Maka sosialisme ala Uni Soviet-pun akan begitu banyak godaannya, dan sejarah mencatat bagaimana kelanjutannya kemudian. Maka ‘kontrak sosial’ yang terutama hanya menyajikan kebutuhan dasarpun, dan juga katakanlah sebagian psycological needs ala Uni Soviet, sudah tidak mencukupi lagi.

Masalahnya, dalam masyarakat konsumsi seperti sekarang ini, kebutuhan akan aktualisasi diri kadang terhayati dengan mengkonsumsi lebih banyak dan banyak lagi. Kepenuhan ‘potensi diri’ sering terefleksi dari apa yang dikonsumsinya. Repotnya, perlahan tapi pasti, konsumsi perlahan bergeser ke tengah dan menjadi bahan bakar utama dari kapitalisme. Lihat saja saat pandemi merebak sekarang ini dan ketika konsumsi turun drastis. Tidak hanya bergeser ke tengah, tetapi soal konsumsi ini juga seakan menciptakan ‘kelas-kelas’ baru. ‘American dream’ yang sering kita dengar itu adalah juga bisa berarti konsumsi sampai batas maksimalnya.

Jika Bernie Sanders pernah mengatakan bahwa demokrasi Amerika di sana telah bergerser dari milyader, oleh milyader, dan untuk milyader, pada dasarnya adalah juga sebagai akibat tidak langsung dari soal konsumsi. Dalam modus konsumsi ini, yang mempunyai uang lebihlah yang akan mempunyai kemampuan mengkonsumsi lebih juga. Seakan mempunyai power lebih juga. Maka buka one man one vote lagi, tetapi one dollar one vote. Yang pada dasarnya ini bisa kita bayangkan sebagai juga ‘logika kerajaan’, monarki-imperial. Sang raja yang tidak membuat ‘kontrak sosial’ dengan rakyat, tetapi hanya dengan kaum bangsawan di sekitarnya. Yang (katanya) mempunyai ‘kapabilitas’ untuk membuat kontrak sosial hanya kaum bangsawan, tetapi tidak dengan rakyat. Tidak jauh berbeda dengan era ‘partai pelopor’ yang kemudian membuat ‘kontrak sosial’ dengan yang dipilihnya, ‘si-petugas-partai’ untuk menjalankan kekuasaan. Sementara si-proletar, kang marhaen juga, wong cilik juga, dan seterusnya apalah mau disebut, adalah pasukan horé-nya saja. Dapat ampasnya saja. Trickle down effect, katanya.

Dan sekarang ini kita ada di tengah-tengah hampir 8 milyar manusia. Dengan hampir 6 juta sudah terinfeksi coronavirus sekarang ini. Juga dengan segala gejolak tempat kita hidup. Mulai dari perubahan iklim, kemajuan teknologi yang meningkat pesat, ekonomi yang semakin saling tergantung, sumber daya semakin terbatas, potensi gejolak geopolitik, dan bermacam lagi. Masih plonga-plongo, ona-anu, selfa-selfi saja?! Janganlah ...., terlalu mahal itu, sangat mahal, yang dipertaruhkan. Apa iya kontrak sosial baru itu harus ditulis dengan darah? Atau berdarah-darah? Janganlah.

Seratus dua puluh-an tahun sebelum Leviathan-nya Thomas Hobbes terbit, karya Machiavelli The Prince terbit dalam edisi cetaknya -5 tahun setelah kematian Machiavelli. Salah satu saran Machiavelli pada Sang Pangeran: anda sedang berusaha untuk menjadi kaisar atau sudah jadi? Demikian kira-kira bentuk pertanyaan yang diajukan Machiavelli untuk menegaskan bahwa soal merebut kekuasaan itu bisa menjadi berbeda dengan saat menjalankan kekuasaan. Merebut kekuasaan adalah masalah hegemonia, sedang menjalankan kekuasaan itu masalah arche.[1] Pada masa rivalitas Athena-Sparta, hegemonia adalah katakanlah hak untuk berkuasa yang didasarkan atas prestasi, kehormatan karena bermacam pengorbanan yang telah dilakukan saat berperang melawan Persia. Sedang arche yang berarti ‘kontrol’ itu, begitu kekuasaan dipegang, sifatnya adalah hirarkis. Sekali arche ini ditetapkan, merawat dan menjaga hirarki ini menjadi salah satu tujuan utamanya.

Hampir satu abad setelah Machiavelli menulis The Prince, apa yang kita kenal dengan VOC itu, berdiri untuk pertama kalinya sebagai sebuah ‘perusahaan publik’ dengan banyak penanam modalnya di tahun 1602. Dan kemudian bermunculanlah perusahaan-perusahaan sejenis yang cerita selanjutnya dapat kita lihat bagaimana kemudian ‘revolusi borjuis’ itu berkembang. Yang harus kita perhatikan adalah peran penting merebaknya buku yang tercetak dan menjangkau banyak kalangan. Seakan itu kemudian membentuk suatu ‘lapisan sosial baru’ yang berbeda jika dibandingkan pada era manuskrip.

Revolusi Industri kemudian mendorong ‘revolusi borjuis’ itu tidak hanya terbatas pada borjuis-pedagang. Di saat yang bersamaan, revolusi industri juga mendorong apa yang disebut sebagai ‘waktu senggang’, saat-saat libur setelah bekerja di pabrik-pabrik. Inilah juga yang mendorong berkembangnya budaya konsumsi, seperti disebut di atas. ‘Status sosial’ bukan lagi masalah keturunan ala masyarakat feodal, tetapi seberapa banyak yang mampu dikonsumsi, termasuk dan terutama adalah luxury goods. Sekarang, puncak dari ‘waktu senggang’ ini adalah ‘biar uang yang bekerja’. Yang langsung atau tidak, mendorong konsumsi sampai ke puncaknya. Tetapi lepas dari ini, Revolusi Industri ini juga mendorong berkembangnya modus komunikasi yang oleh Toffler disebut man-to-mass itu. Dan ‘kontrak sosial’-pun kemudian tidak bisa lepas dari bayang-bayang sihir modus man-to-mass ini, baik yang di sisi kanan maupun kiri.

Kalau di Abad 20 pemimpin yang lama berkuasa kemudian sering dipersepsikan dekat dengan ke-otoriter-an, maka di Abad 21 ini kita juga melihat beberapa pemimpin pemerintahan yang lama berkuasa juga. Apa yang membuat dua hal itu bisa terhayati secara berbeda? Mungkinkah dari sudut ‘kontrak sosial’ itu karena yang sekarang begitu sadarnya, bukan masa ‘american dream’ lagi, tetapi ‘social contract dream’? Bukannya masalah konsumsi itu terus menjadi hilang, tetapi dia digeser lagi menjadi bagian dari kontrak sosial. Apa yang diperjanjikan, itulah yang secara sungguh-sungguh akan dilaksanakan. Mungkin banyak khalayak yang kemampuan terlibat dalam membuat kontrak sosial masih agak di pinggir, tetapi dalam modus komunikasi mass-to-mass yang sudah berkembang seperti sekarang ini, mengatakan bahwa mereka juga akan mudah dimanipulasi itu sama saja membesarkan bom waktu saja. “Lapisan sosial baru’ itu perlahan mulai terbentuk. Lapisan yang karena keterhubungannya satu dengan yang lain menjadi lebih peka terhadap ‘situasi-situasi negatif’ yang melingkupinya.

Kontrak-kontrak sosial dari waktu-ke-waktu itu adalah juga perluasan horison. Dan disitulah sebenarnya kemajuan dapat diperjuangkan. Di dalam hidup yang begitu cepat dinamikanya ini, kontrak sosial itu bisa-bisa terhayati sebagai ‘axis-mundi’ hidup bersama. Juga sebagai ‘horison bersama’. Yang serba chaos menjadi mendekat pada kosmos. Kedaruratan kontrak sosial adalah ketika bayang-bayang chaos semakin menguat, dan ini disebabkan pertama-tama karena kontrak sosial yang dipermainkan. Diantara hegemonia dan arche itu, yang muncul ternyata adalah yang dungu. *** (03-06-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

Kontrak Sosial dan Kedaruratannya