www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-06-2020

Apakah betul gotong royong itu hanya ada di nusantara saja? Di belahan dunia lain tidak ada itu yang namanya gotong royong? Bahkan di planet se galaksi itupun tidak ada? Atau gotong royong itu tidak akan ada di masyarakat kapitalis? Benarkah? Mengapa si-Bung begitu gandrung dengan gotong royong? Terutama setelah ‘di-seberang jembatan emas’? Mengapa hal-hal atau pertanyaan ini kemudian muncul? Karena nampaknya ada (atau banyak?) yang kalau sudah bicara lantang soal gotong royong sekarang ini, rasanya sudah ideologis banget. Ideologis abis. Sudah seperti ‘sang ideolog’ saja. Juga karena yang memandang penting sampai ke sumsum-tulang soal gotong royong ini, konon sedang mendapat kesempatan mengelola negara. Sedang mendapat kesempatan besar membuat kebijakan-kebijakan negara. Lalu, apakah soal gotong royong ini kemudian nampak dalam kebijakan-kebijakannya? Dalam perilaku sebagai pengelola negara?

Masalahnya adalah, gotong royong ini bisa dikatakan lebih ada dalam ranah tacit knowledge, meminjam istilah Michael Polanyi. Akan berbeda dengan ilmu-ilmu yang ada dalam diri kaum teknokrat yang lebih merupakan explicit knowledge. Karena sifatnya tacit maka transfer knowledge-nya pun berbeda. Salah satu ‘soko-guru’ dari tacit knowledge ini, termasuk proses transfernya adalah soal trust, kepercayaan.

Atau kalau kita meminjam Amartya Sen, jika kita bicara soal (motivasi) kepentingan diri (self interest) maka dalam gotong royong ini kepentingan diri sementara dipinggirkan dulu. Ada kepentingan lebih yang membuat kepentingan diri itu minggir dulu, yaitu kepentingan terkait yang lain atau kelompok yang lebih besar. Kenapa ini dapat dimungkinkan? Menurut Sen karena adanya komitmen. Meskipun ada suara bahwa toh di balik komitmen ini sebenarnya ada juga kepentingan diri yang tersembunyi. Gotong royong membuat jalan misalnya, dalam kadar minimalnya mungkin ada perasaan juga, nantinya toh aku juga ikut menikmati. Tetapi apapun itu, dalam komitmen soal kepentingan diri tidak ditengah-tengah jalan lagi, minggir dulu meski mungkin saja tidak sampai keluar jalan. Maka tetaplah ada yang dikorbankan. Dan dalam kadarnya, sadar atau tidak, si-pelaku gotong royong itu juga sedang melakukan, katakanlah: noble act. Tentu ‘kadar’nya berbeda berbanding lurus dengan ‘kesakitan’ yang harus ditanggungnya, misal pada pejuang-pejuang kita, atau misalnya Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Mandela, Gandhi dst. Tetapi tetaplah itu sebuah noble act yang sangat penting sebenarnya dalam hidup bersama.

Bahkan ketika rakyat patuh untuk tinggal di rumah saja, ojo cedhak-cedhak dhisik, social distancing, janganlah itu dilihat hanya sekedar kepatuhan saja atau masalah ketakutan ketularan saja. Dilihat dalam perkembangan moral Lawrence Kohlberg, maka bisa saja tidak sedikit yang menghayati sebagai itu baik karena baik saja. Ada komitmen kuat yang berkembang. Yang mendorong, katakanlah noble act: tinggal di rumah saja. Bahu-membahu bersama lainnya, gotong royong melawan wabah. Tacid knowledge soal gotong royong itu kemudian seakan menyeruak sebagai intuisi. Dan itu tidak hanya ada di nusantara saja, tapi bisa kita lihat dari berita di sana sini, terjadi baik di negara yang tidak keberatan disebut sebagai negara kapitalis maupun yang tidak keberatan masih disebut sebagai negara sosialis. Atau spektrum diantaranya. Dan bisa kita raba juga salah satu soko-gurunya adalah soal trust, soal kepercayaan. Soal bisa dipercaya. Mereka yang bisa dikatakan berhasil itu mampu mengkombinasikan antara tacid knowledge dan explicit knowledge secara mak-nyus.

Bagaimana dengan yang disana-sini mengingkari explicit knowledge yang sebenarnya bisa diverifikasi itu –dengan lagak sok-sok-annya, dan ternyata juga jauh untuk bisa dipercaya? Bikin dongkol! Dongkol sampai ubun-ubun. Pengorbanan khalayak yang sudah dilakukan demi kepentingan yang lebih besar itu pada dasarnya tidak diapresiasi sama sekali. Malah ada yang ambil kesempatan rampok sana-rampok sini. Bangsat. Menggolkan aturan yang mbèlgèdès itu, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bangsat lagi. Maka jangan kaget ketika mereka bicara soal gotong royong jauh di atas panggung sana itu, ada repons spontan di bawah: dengkulmu suwèk! *** (02-06-2020)

Gotong Royong dan Arus Baliknya