www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-06-2020

Berapa kali dalam sehari kita memikirkan atau mengarahkan kesadaran kita bahwa kita adalah bangsa Indonesia? Dalam keadaan normal keseharian mungkin sangat-sangat jarang, atau baru berpikir bahwa kita adalah bangsa Indonesia pada 17 Agustus atau saat peringatan lainnya. Atau saat-saat peristiwa ‘abnormal’ tiba-tiba datang. Sebagian besar dari kita dalam keseharian mungkin akan disibukkan dalam mempertahankan atau mengembangkan hidup diri sendiri, atau keluarga. Bekerja atau meniti karier. Atau sekolah, kuliah, dan lainnya. Akan berbeda jika kita bicara Korea Utara, yang soal bangsa kemudian direpresentasikan pada pemimpin tertingginya.

Kira-kira setahun lalu kita terkejut dengan berita tenggelamnya kapal di danau Toba dengan ratusan penumpang di atasnya. Peristiwa yang tiba-tiba saja menyedot perhatian kita. Peristiwa yang tiba-tiba saja menyentuh salah satu situasi batas kita sebagai manusia yang paling mendasar, kematian. Tetapi dari ‘koleksi’ berita yang bisa kita temui, kita dapat merasakan bagaimana rejim saat itu serasa ingin secepat-sepatnya menutup peristiwa yang perlahan mulai masuk di ruang kesadaran khalayak. Santunan dan monumen, selesai. Mengapa segala daya kemampuan manusiawi kita tidak dikerahkan untuk mengangkat tubuh-tubuh yang tenggelam di dasar danau itu? Ranah uang dan ranah daya kenang (monumen) dipakai rejim untuk mengaburkan ranah nalar dan ranah ‘kebanggaan’ sebagai satu komunitas yang pantang menyerah.

Demikian juga misalnya ketika ratusan petugas pemilihan meregang nyawa ketika melaksanakan tugas negara. Segala kemampuan yang ada dan diberikan kepada negara seolah tidak digunakan secara maksimal oleh rejim pelaksananya. Atau ketika bermacam bencana mewujud di sana-sini, gaya selfa-selfi dan tingkah pemimpin di depan kamera itu seakan ingin memberikan konstruksi ‘subversif’ ketika kesadaran khalayak mulai tersedot pada bencana tersebut. Beberapa hal di atas adalah sedikit gambaran ketika ada yang begitu takutnya saat bangsa dihayati sebagai fenomena oleh khalayak. Ketika bangsa dihayati sebagai fenomena maka segera saja potensi bermacam posibilitas merekah. Bermacam kebenaran semakin mungkin untuk tersingkap. Bermacam kebohongan dan kelicikan akan semakin mungkin juga tersingkap. Atau bisa jadi akan lebih peka ketika infiltrasi dengan bermacam kedoknya seakan justru sedang dipersilahkan. Imajinasi soal bangsa yang sedang digadaikan oleh para pengkhianatpun akan semakin mungkin untuk merekah dalam penghayatan.

Fenomena dalam Fenomenologi bukanlah sekedar gejala saja, atau jelas juga bukan masalah klenik atau sejenisnya. Sekitar 6-7 tahun lalu kami mendapat masukan mak-nyus dari Ito Prajna Nugroho dalam obrolan tentang Fenomenologi, yaitu soal obyek, fenomena, dan fakta dalam perspektif Fenomenologi. Beberapa penjelasan tentang hal tersebut dalam tulisan ini bersumber dan juga dikutip dari tulisan mas Ito (IPN) saat itu. Meski begitu, tanggung jawab tulisan tetap pada penulis, Greg.

Segala hal yang tampak bagi kesadaran melalui caranya yang khas, itulah yang sesungguhnya disebut sebagai fenomena,” demikian IPN dalam awal naskah akademiknya. Selanjutnya ditulis oleh IPN: “Berangkat dari pengertian ini fenomenologi bermaksud untuk menyelidiki secara ketat dan metodologis bagaimana sesuatu (fenomena yang tampak bagi kita itu) dapat kita persepsi, kita alami, kita ketahui, kita tafsirkan, kita hayati, dan kita maknai melalui medium yang khas manusia. Medium yang khas manusia itu tidak lain adalah kesadaran kita yang melaluinya kita menyadari-diri dan menyadari adanya dunia serta manusia lain. Apa yang hendak disingkapkan di balik proses kerja metodologis ini tidak lain adalah relasi mendasar antara kita (manusia) dan dunia.” Persoalannya, menurut IPN, dalam disiplin metode fenomenologi, tidak semua hal dapat dikelompokkan ke dalam fenomena.  Dan untuk memperjelas apa itu fenomena, IPN mengajukan pendapat Emmanuel Levinas: “Fenomenologi berarti ilmu tentang fenomena. Segala yang terberikan, tertampakkan, atau tersingkapkan bagi pandangan kita adalah fenomena. Tetapi dengan itu apakah berarti segala sesuatu adalah fenomena dan setiap ilmu adalah sebuah fenomenologi? Tidak sama sekali. Apa yang terberikan bagi kesadaran, objek atau sesuatu itu, hanya dapat dikatakan sebagai fenomena jika orang yang bersangkutan merengkuh sesuatu itu lewat peran yang dimainkannya dan lewat fungsi yang dijalankannya dalam hidup pribadi dan afektif orang tersebut. Di luar itu, sesuatu atau objek tadi tidaklah lebih dari abstraksi yang arti, daya cakup, dan bobotnya lolos dari pemahaman kita. Sebuah penafsiran filosofis yang dikonstruksi, pemahaman yang ditempelkan dari luar, telah mengkhianati arti sesungguhnya dari sesuatu atau objek itu. Konstruksi membuyarkan fenomena. Untuk menyelamatkan fenomena, fenomenologi dipandu oleh keyakinan bahwa makna akhir dan makna filosofis dari suatu fenomena dapat dicapai hanya jika kita meletakkannya kembali ke dalam ruang hidup kesadaran, ke dalam apa yang individual dan tidak terbagi dalam cara berada (eksistensi) kita yang konkret. Tentu saja hal ini membalik seluruh pendekatan/sikap ilmiah yang naturalistik.”

Selanjutnya disampaikan oleh IPN: “Untuk lebih memahami apa yang telah dirumuskan dengan bagus oleh Levinas, dan untuk lebih memahami arti konsep fenomena, perlulah kita kembali kepada pemikiran Husserl sendiri. Dalam naskah akademis yang dibawakan di Amphithéatre Descartes, Universitas Sorbonne, Prancis, pada 23 dan 25 Februari 1929, dan diterbitkan dalam bahasa Prancis pada 1931, Husserl mengatakan:

Hidup yang disadari (hidup kesadaran) bukan hanya terdiri dari kumpulan ‘data’ kesadaran yang dapat dianalisa [...] melainkan dalam ciri khasnya sebagai kesadaran intensional merupakan sebuah penyingkapan atas potensi-potensi yang implisit terkandung dalam aktualitas kesadaran, sebuah penyingkapan yang membawa bersamanya sebuah pengungkapan, sebuah kejelasan atau keterbukaan pemahaman atau pembedaan yang jelas terpilah, mengenai apa yang disadari (makna objektif) dan juga mengenai proses intensional yang memungkinkannya. Telaah intensional dipandu oleh prinsip dasar bahwa sebagai kesadaran, setiap cogito terarah kepada sesuatu, tetapi juga setiap saat sesuatu yang kepadanya cogito terarah itu selalu mengandaikan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dari apa yang sekadar tertampakkan. Persepsi kita, dalam setiap momennya, selalu hanya mempersepsi satu sisi saja dari sebuah objek yang kepadanya kita terarahkan. Sementara intensionalitas selalu merupakan keterarahan yang melampaui dirinya sendiri, dan secara implisit menjadi ciri dasar setiap kesadaran. Intensionalitas selalu mengandaikan sesuatu yang lebih dari apa yang tertampakkan, dan memperoleh bentuknya dalam kemungkinan-kemungkinan persepsi, pemahaman, dan proses ingatan yang terus menerus (tak terbatas) yang dapat diaktualisasikan melalui inisiatif saya.”

Terkait dengan pandangan Husserl di atas, IPN menjelaskan: “Kutipan di atas kiranya semakin memperjelas arti fenomena dalam kaitan/perbedaannya dengan objek. Objek, apapun itu, secara tidak terbatas merupakan semesta dunia tersendiri yang kepadanya kesadaran terarah. Semesta objek ini membentuk saling-keterkaitan di antara realitas objektif yang tidak terbatas (Sachverhalt), yang membentuk juga horizon pengalaman dan horizon pemahaman kita. Objek bukan atau belumlah merupakan fenomena. Bagian, sisi, atau dimensi tertentu dari objek yang hadir bagi kesadaran dan dipersepsi menurut konstitusi pemahaman dan pola penghayatan yang partikular, itulah fenomena. Objek pada dirinya sendiri tidak mensyaratkan adanya intensionalitas kesadaran, sebab setiap objek dapat ada ataupun tidak ada secara kontigen. Fenomena, sebaliknya, baru dapat disebut sebagai fenomena jika mengandaikan adanya keterarahan kesadaran pada suatu objek, yang melalui keterarahan itu objek memberikan diri (menghadirkan diri/menampakkan diri) sebagai sesuatu yang memiliki arti tertentu bagi orang bersangkutan. Fenomena selalu terkait secara mendasar dengan kesadaran. Setiap kesadaran-akan-sesuatu sebetulnya juga merupakan sebuah bentuk fenomena.”

IPN melanjutkan: “Perlu diingat bahwa fenomena, sebagaimana kesadaran, selalu merupakan sebuah perspektif dan karena itu selalu bersifat partikular. Namun demikian, seperti telah kita lihat sebelumnya, setiap fenomena selalu memuat sesuatu yang lebih dari apa yang tertampakkan hic et nunc. Oleh karena setiap fenomena mengandaikan adanya sesuatu yang lebih di belakangnya, sesuatu yang melampaui apa yang tertampakkan, maka fenomena selalu mengarahkan kesadaran kita kepada keseluruhan / keutuhan objek. Bagian demi bagian, sisi demi sisi, lapis demi lapis fenomena merupakan tanda yang tertampakkan dari keseluruhan objek yang belum sepenuhnya tertampakkan atau terpahami. Namun demikian, kesadaran sebetulnya sejak awal telah selalu mengantisipasi objek dalam keutuhan/keseluruhannya, yaitu dengan membentuk gambaran mental-konseptual mengenai keseluruhan suatu objek. Saat melihat sisi depan sebuah rumah misalnya, kesadaran kita selalu sudah membentuk gambaran mental-konseptual mengenai bentuk keseluruhan rumah dari segala sisinya yang tiga dimensi itu. Hal yang sama berlaku jika kita menghadapi objek-objek lain, mengalami suatu peristiwa, memahami konsep-konsep filsafat, memecahkan persamaan matematis yang sulit, berjumpa dengan orang lain, dan sebagainya. Gambaran mental-konseptual yang terbentuk dalam kesadaran mengenai keseluruhan/keutuhan suatu objek, inilah yang disebut sebagai intuisi (Wesenanschauung).”

Bangsa sebagai ‘fenomena’ mungkin akan kita persepsi ketika kita bertemu dengan hal-hal partikuler, itupun kita pertama-tama akan mempersepsi satu sisi saja. Intuisi tidak akan lepas dari proses saat itu juga. Soal intuisi ini IPN memberi penjelasan yang baik: “Jika kita memasuki pintu depan rumah tersebut, dan ternyata kita menemukan diri kita berdiri di tengah hamparan lapangan, dan bahwa sisi depan rumah tersebut hanyalah papan yang digunakan untuk keperluan pentas teater, maka intuisi kita disebut sebagai intuisi kosong (empty intuition). Sebaliknya, jika kita memasuki pintu depan rumah tersebut, dan menemukan bahwa rumah itu memiliki berbagai ruang di dalamnya, berbagai sisinya yang lain yang berdimensi tiga menyerupai gambaran mental-konseptual kita, maka intuisi kita disebut sebagai intuisi yang terpenuhi (fulfilled intuition). Dengan demikian, jika persepsi menunjukkan sifat perspektif kesadaran di hadapan suatu fenomena menurut bagian atau sisinya yang tertentu, maka intuisi menunjukkan sifat antisipatif kesadaran dalam melihat, mengalami, dan memahami suatu fenomena sebagai suatu keseluruhan. Maka jelaslah bahwa fenomena hanya dimungkinkan sebagai fenomena melalui intensionalitas kesadaran yang memuat di dalamnya baik persepsi maupun intuisi sebagai akses langsung yang kita miliki menuju kepada sesuatu dalam keseluruhan dan keutuhannya.” *** (28-05-2020)

Bangsa sebagai 'Fenomena'