www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-05-2020

Ada yang menarik dari tayangan DW-TV (Jerman) yang mengangkat tema kesepian atau kesendirian (loneliness) di banyak negara-negara Eropa sana. Mungkin itu diangkat lagi terkait dengan bermacam variasi ‘di rumah saja’ dalam masa pandemi ini. ‘Gaya’ hidup sendirian ini semakin meningkat, dan kesepian-pun kemudian menjadi layak dibicarakan. Bahkan di Inggris dalam tayangan tersebut hal ini menjadi perhatian sampai di tingkat kementrian. Pada bagian yang membicarakan keadaan di Inggris, ada satu yang menarik. Yaitu ‘kumpulan’ bapak-bapak yang usia di atas 65 tahun di bagian Somerset. Penggagas mengatakan, ketika ada 12 ‘bapak-bapak’ yang kesepian itu berkumpul dan diminta untuk mulai ngobrol, biasanya akan ada 6 yang diam saja. Tetapi ketika disodori mesin pemotong rumput yang rusak dan perlu diperbaiki, maka segera saja ‘kebuntuan’ itu pecah. Mereka kemudian menjadi ramai ngobrol sembari otak-atik mesin pemotong rumput itu.

Sekitar 70 tahun lalu terbit buku The Lonely Crowd: A Study of the Changing American Character, ditulis oleh David Riesman, Nathan Glazer dan Reuel Denney. Lima tahun setelah Perang Dunia selesai, dan kapitalisme di AS sono sedang merangkak menuju ‘the golden period’-nya. Juga film dan terutama televisi juga sudah di ambang ‘hegemoni’-nya. Dan tentu juga apa yang disebut sebagai generasi ‘baby boomers’ itu. Riesman dkk menyoroti perkembangan karakter sosial dari masyarakat Amerika saat itu. Reisman membedakan tiga karakteristik masyarakat menjadi tradition-directed, inner-directed, dan other-directed.

Limapuluh tahun sebelumnya, di penghujung abad 19 –di puncak Revolusi Industri, Ferdinand Tonnies membedakan dua bentuk ‘karakter’ sosial, gemeinschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan). Apa yang dikatakan oleh Riesman dkk dalam The Lonely Crowd (judul yang sebenarnya diberikan oleh penerbit) terkait dengan tradition-directed dan inner-directed sedikit sedikit banyak tidak jauh dari apa yang disebut oleh Tonnies sebagai gemeinschaft. Hanya saja dalam inner-directed sudah mulai ada ‘keretakan’. Riesman mencontohkan bagaimana Reformasi Protestan dan Renaissance memulai keretakan tradition-directed. Dan memang kemudian juga terkait dengan Revolusi Industri. Tradition-directed dikatakan juga erat dengan Revolusi Pertanian, sedang other-directed dengan Revolusi Komunikasi.

Dalam masyarakat inner-directed, Reisman menuliskan, ‘the source of direction for the individual is “inner’ in the sense that it is implanted early in life by the elders and directed toward generalized but nonetheless inescapably destined goals.’ (The Lonely Crowd, hlm. 15) Selain soal Reformasi Protestan dan Renaissance, jenis-jenis pekerjaan yang ditawarkan Revolusi Industri dan semakin dilepaskannya anak-anak sebagai pekerja (sebagai salah satu sumber/aset ekonomi) semakin mendorong berkembangnya karakter inner-directed ini. Karakter inner-directed ini lebih terbuka jika dibanding dengan tradition-directed. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga terutama kemudian menjadi semacam, dikatakan Reisman: giroskop, ketika berhubungan dengan ‘dunia yang lebih luas’.

Jika boleh menggunakan imajinasi liar kita, maka pembedaan yang dilakukan oleh Riesman, tradition-directed, inner-directed, dan other-directed itu seperti penggambaran dari ‘manusia massa’ ke ‘manusia individu’. Meski tidak terlalu tepat bisa juga kita bayangkan pendapat Van Peursen yang ada dalam Strategi Kebudayaan (1970): mitis, ontologis, fungsional. Atau dari Paulo Freire yang membedakan kesadaran magis (semi-transitif), transitif-naif, dan transitif-kritis di bagian awal tahun 1960-an. Pembedaan Riesman di atas, masyarakat luas yang ‘mengawal’ nilai-nilai apa yang mesti anggota-anggotanya mengarahkan, kemudian bergeser ke keluarga, dan kemudian ke individu-individu. Mungkin tepatnya bukan ‘mengawal’ nilai-nilai, tetapi masalah seperti term yang dipakai oleh Riesman, kemana 'hasrat' tertujukan.

Hasrat paling primordial dari manusia adalah mempertahankan hidup. Di balik hasrat mempertahankan hidup itu sekaligus adalah hasrat menjauh dari kesakitan dan sejenisnya yang mengancam kelangsungan hidupnya. Dalam masyarakat agraris, ketergantungan akan alam semesta sangatlah tinggi, maka tidaklah mengherankan yang sebagai ‘tetua-nya’ tradisi itu seakan menjadi ‘panutan’ atau ‘model’ yang akan menjauhkan dari ‘chaos’-nya semesta. Dalam masyarakat industri, yang pegang uang-lah yang akan memberikan rasa aman. Dan itu adalah si-kepala keluarga dengan anggota ‘komunitas kecil’-nya, anak-anak yang telah dibebaskan dari kewajiban bekerja seperti layaknya dalam masyarakat agraris. Bagaimana dengan karakter other-directed? Anak-anak mereka ternyata lebih ‘diasuh’ oleh ‘yang-lain’, dan dengan menunjuk bagaimana khususnya televisi (dan jauh sebelumnya radio, mesin cetak, guru-guru keliling, juga kaum Sofis) berkembang, seakan ia sejak dini diasuh juga oleh ‘model-model’ iklan yang bertebaran dan menghampirinya sejak usia dini. Imajinasinya kemudian adalah konsumsi. Ia adalah juga anak-anak masyarakat konsumsi dalam kapitalisme yang terus berkembang. Bukan ‘giroskop’ lagi yang menjadi bagian penting dalam membangun relasi dengan ‘dunia luar’, tetapi dalam masyarakat berkarakter other-directed ini, ‘radar’-lah yang menjadi bagian penting.

Seperti pendapat Van Peursen dan Paulo Freire di atas, ketiga perkembangan karakter sosial yang disebut oleh Reisman dkk bukanlah berarti yang satu kemudian mengubur yang lainnya. Menurut Reisman, dalam masyarakat dengan karakter sosial tradition-directed, rasa malu-lah jika ia tidak memenuhi ‘standar’ nilai-nilainya. Dalam inner-directted, rasa bersalah. Dalam other-directed? Rasa cemas! Maka tidaklah mengherankan jika Reisman kemudian berpendapat, bukanlah rasa dihargai yang kemudian penting di ujung sana, tetapi dicintai.

Bagi Paulo Freire, yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsumsi lebih dari sekedar untuk bertahan hidup saja –terlebih yang di kota-kota besar, ia sebenarnya mempunyai modal besar untuk bergeser dari transitif-naif ke transitif-kritis. Sayangnya, ‘kegagalan’ pergeseran itu bisa-bisa kemudian akan jatuh dalam satu bentuk sikap: fanatik. Inilah mungkin mengapa ada yang kemudian mengeksploitasinya tidak hanya soal fanatisme saja, tetapi ‘fanatisme dalam mencinta’. Kalau di ujung sana ada keinginan besar untuk dicintai, mengapa tidak untuk mencintai? Bahkan untuk si-plonga-plongo-ona-anu-pun kemudian dia cintai juga. Cinta buta. Tidak hanya itu, bermacam ‘model’ yang bisa membantu berfungsinya ‘giroskop’ kalau perlu disingkirkan. Demi cinta butanya tidak tersaingi. Tidak hanya soal fanatisme atau cinta buta yang di eksploitasi, tetapi juga ‘bahan-bakar’ utamanya, bermacam kecemasan.  *** (23-05-2020)

Dicari, 'Pihak Ketiga'