www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-05-2020

“We are moving rapidly away from our democratic heritage into an oligarchic form of society where today we are experiencing a government of the billionaires, by the billionaires, and for the billionaires.” — Bernie Sanders[1]

Lebih dari 2000 tahun lalu, Aristoteles telah mengingatkan bagaimana rejim demokrasi itu bisa dengan mudah bergeser menjadi rejim oligarki. Dan bagaimana ketika kaum oligarknya kemudian tiba-tiba saja ingat soal keturunannya, anak-cucunya, dan selangkah lagi bisa menjadi rejim monarki. Kita kemudian bisa membayangkan, mono-arki ini akan mudah menjadi tirani. Dan rakyat-pun berontak, ingin kembali ke demokrasi.

Hal di atas bisa-bisa akan terhayati sebagai sebuah ‘siklus’. Tidak salah memang, hanya saja di era sekarang ini, ‘siklus’ tersebut menjadi tidak sederhana lagi. Judul di atas, Negara Kerajaan Republik I (baca: i saja) ingin mempersoalkan bagaimana sebuah negara berbentuk res-publika yang kemudian dalam praktek menjadi ‘res-olig’ saja, dan yang kemudian pura-pura menjadi ‘res-mono’. ‘Res-mono’ abal-abal karena sebenarnya ia adalah lebih sebagai tirai asap dari ‘res-olig’. Sebagai tukang ngibul, pengolah isu, atau sasaran tembak palsu. Bahkan jika ia disuruh lari ‘telanjang’pun akan ia lakukan dengan tanpa beban lagi, semata-mata demi kepentingan si res-olig itu. Alih isu demi segala kepentingan si-res-olig. Resep pura-pura kaget atau heran yang diulang-ulang. Menyibukkan khalayak untuk berurusan dengan bermacam aksi di  ‘bangunan atas’ sehingga melupakan ‘basis material’ yang berkembang semakin mbèlgèdès. Meluncur ke bawah. Intinya, boneka yang sibuk berlagak.

Judul juga menyinggung soal ‘kerajaan’ karena banyak ‘logika kerajaan’ yang kemudian di sana sini dipakai sesuai keperluan. Bahkan sebenarnya imajinasinya adalah memang kerajaan. Mirip-mirip Kerajaan Inggris, hanya saja raja atau ratunya dipilih dengan mekanisme seperti pemilihan Paus. Karena maunya sebagian mirip-mirip Inggris, makanya tidak ada ‘wakil raja’, adanya PM, meski samar-samar, masih malu-malu. Contoh logika kerajaan ini, meski abal-abal tapi jika diperlukan oleh res-olig maka sambil menepuk dada dia akan berkata: saya adalah hukum! Terutama jika menyangkut kepentingan para bangsawan. Atau bukan pajak saja, tetapi juga bermacam upeti yang akan ditarik dari rakyat. Dan juga soal ‘rekrutmen’ para bangsawan. Atau seperti Ratu Inggris yang menghibur rakyatnya dengan penggambaran sedang terjun payung saat membuka pesta olahraga, raja abal-abal inipun ikut saja ketika disuruh berlagak ciamik di atas sepeda motor, dalam pembukaan pesta olah raga juga.

Salah satu pondasi tegaknya logika kerajaan adalah adanya kaum bangsawan. Dan salah satu modifikasinya di NKRi adalah pada jabatan dengan kekuasaan tertentu, bahkan juga yang mengatasnamakan wakil rakyat itu. Jadi bukan pada soal luasnya tanah. Tetapi esensinya adalah sama. Kalau jaman old, tanah luas kaum bangsawan ‘disewakan’ bagi para hamba-budak untuk sekedar bertahan hidup saja, maka kekuasaan yang melekat pada jabatan itu juga siap untuk ‘disewakan’, rent seeking activity sebagian orang bilang. Maka kemudian soal nepotisme, kolusi, dan korupsi bukan lagi soal pemerintahan yang bersih, bukan soal good governance lagi atau apalah mau dikata, tetapi telah menjadi iming-iming mujarab yang bikin ngiler dan bahkan menjadi salah satu ‘soko-guru’ pondasi tegaknya ‘logika kerajaan’ yang sedang dibangun. Itu akan menjadi salah satu privilege bagi kaum bangsawannya. Yang kemudian akan bersumpah setia pada si ‘mono-arki’ abal-abal itu. Sumpah-setia yang akan dibalas dengan perlindungan dari ‘sang-raja’ (abal-abal). Atau kalau meminjam istilah Jeffrey Winters, sultanic oligarchy. Tak jauh beda dari jaman old. Satu guru?

Pembeberan soal tri-partit jiwanya Platon kemudian meluas pada soal polis, negara-kota. Tri-partit jiwanya Platon adalah soal nalar, kebanggaan dan nafsu-nafsu. Dalam urusan NKRi, posisi si-‘filsuf raja’ adalah si-‘mono-arki abal-abal’ itu. Yang dipuncak itu katakanlah: si-Sontoloyo Raja. Sedangkan para bangsawan seperti digambarkan di atas adalah para Sontoliyi Raja, si-raja-raja kecil. Raja-raja kecil karena jabatan atau karena mempunyai sebuah ‘perdikan’ seperti sebuah partai, misalnya. Para “Sontoliyi Raja’ ini akan selalu memakai seragam, hanya warnanya saja dibebaskan. Tetapi entah karena apa, kebanyakan memilih warna kuning, selain mulai banyak juga warna merah. Konon yang kuning itu untuk menunjukkan bahwa ia sudah terlatih untuk menjadi sontoliyi itu. Sedang warna merah menunjukkan suatu keinginan besar untuk belajar dan menjadi juga terlatih (sebagai sontoliyi). “Aku juga bisa …,” mungkin demikian si-merah sedang merengek-merajuk.

Adanya bangsawan tidak hanya ada di ranah ‘kepala’ saja, tetapi jika mengikuti pembagian Platon soal tri-partit jiwa, maka itu bisa dibayangkan ada juga yang di ranah ‘dada’ dan ‘perut ke-bawah’, terutama soal nafsunya akan uang. Pada jaman old, bangsawan yang ada di ranah ‘dada’ inilah yang dominan. Si-kuda putih. Jaman now terjadi ‘power-shift’, para bangsawan yang ada di ranah ‘perut ke-bawah’-lah yang kemudian dominan. Si-kuda hitam. Yang menurut Platon, si-kuda-hitam ini karakternya semau-maunya sendiri dan cenderung mengarah ke bawah. Padahal sebenarnya semua arahnya adalah ke atas, pada kebaikan para dewa-dewa. Atau dalam konteks republik, pada kebaikan publik seperti dimaui saat proklamasi kemerdekaannya. Jadi tidaklah salah jika ada yang kemudian membanding-bandingkan, masih enak jaman dulu. Paling tidak karakter si-kuda putih masih mudah ‘manut’ pada si-sais, nalar. Tentu yang dulu itupun masih jauh dari yang diharapkan, terutama setelah si-kuda hitam semakin liar dan semakin sulit dikendalikan.

Dominasi para bangsawan dari ranah ‘perut ke bawah’ terutama soal hasrat akan uang ini, menjadikan ‘demokrasi’ kemudian semakin berkembang layaknya seperti ‘sidang para kardinal’ yang akan memilih ‘paus’. Hanya saja itu ‘terpaksa’ dilakukan selama 5 tahun sekali. ‘Pertarungannya’ adalah siapa-siapa saja yang boleh masuk ‘ruang konklaf’. Dan apa yang terjadi di ‘ruang konklaf’ itu tetaplah tinggal di ‘ruang konklaf’. What happens in Vegas stay in Vegas.

Yang masih ditunggu-tunggu oleh ‘penggagas’ NKRi jaman now ini adalah soal para bangsawan dari ranah ‘dada’. ‘Ranah dada’ dalam artian yang ‘original’ Platon: serdadu, yang ‘hard-power’, yang pegang senjata. Bukan yang ‘soft-power’, bukan senjata ‘pena’ atau bacot buzzerRp di medsos yang lebih mudah untuk dikuasai atau dibeli atau apalah namanya, tetapi senjata asli yang jika kemudian dar-der-dor terus ada yang mati tersungkur itu. Mati sungguhan. Berdarah-darah. Mereka sangat yakin ‘fase stabilisasi rejim’ adalah akan berasal dari ranah ini. Yaitu sebagai ‘the lender of last resort’ untuk (memastikan) memotong ‘siklus’ yang menginginkan kembali ke demos-kratos.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah, rejim seperti di NKRi jaman now ini akan begitu alergi dengan pemimpin atau calon pemimpin berkualifikasi Filsuf Raja (jelas yang bukan abal-abal dan bukan juga boneka raja itu) atau yang mendekatinya. Karena jika itu terjadi atau yang menjadi pemimpin adalah yang mendekati kualifikasi ‘filsuf-raja’ maka pada dasarnya itu adalah sebuah (the real) power-shift. Dari kekuatan uang dan atau kekuatan kekerasan (jika mengikuti pembedaan Alvin Toffler) bergeser ke kekuatan pengetahuan. Akankah power yang sudah dipersiapkan selama lebih dari 15 tahun ini akan dengan mudah saja kemudian di-shift begitu saja? Tentu tidak! Sejarahnya tidak begitu. Lihat bagaimana tidak mudahnya mereka menggeser dari ‘the power of violence’ ke ‘the power of wealth’ seperti sekarang ini. Atau jika kita mau melihat dari sisi lain yang sebelumnya tidak nampak, kita bisa belajar dari soal lengser atau dilengserkannya Gus Dur sekitar 20 tahun lalu itu misalnya. Bayi ‘the power of knowledge’ itu begitu saja segera di-shift dalam hitungan bulan sebelum menapak ‘fase stabilisasi rejim’-nya.

Sebuah kerajaan apalagi sebuah tiran, mempertahankan kekuasaan adalah ada dalam paradigma at all cost. Maka ada baiknya ‘kaum demokrat’ untuk selalu ingat apa yang pernah ditulis oleh Edward Rutledge dalam salah satu suratnya pada John Jay, beberapa bulan setelah kemerdekaan AS: “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit.”[2] *** (14-05-2020)

[1] http://feelthebern.org/bernie-sanders-on-political-and-electoral-reform/

[2] https://pergerakankebangsaan.com/304-Surat-Edward-Rutledge-ke-John-Jay-24-Nov-1776/

Negara Kerajaan Republik I