www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-05-2020

Menurut Arnold J. Toynbee, berkembangnya peradaban karena adanya tantangan dan respon. Tantangan yang terlalu besar bisa-bisa akan menghancurkan peradaban, seperti sejarah mencatat hilangnya peradaban-peradaban karena bencana yang begitu dahsyat. Di antara tantangan dan respon itu ada yang disebut Toynbee sebagai: minoritas kreatif. Bagaimana sebagian kecil dari satu komunitas ini secara kreatif membangun responnya dalam menghadapi tantangan tersebut. Bagaimana dengan yang lain di luar minoritas kreatif itu? Menurut Toynbee, mereka akan menirunya.

Soal ‘tiru-meniru’ ini diangkat secara lebih dalam oleh Rene Girard dalam ‘teori segitiga hasrat’-nya. Orang (S) akan menghasrati obyek O misalnya, itu karena adanya model M yang juga menghasrati obyek O itu. S akan meniru M sehingga ia-pun kemudian menghasrati obyek O. Tidak jauh dari logika iklan. Hasrat untuk mendapatkan kulit putih, bersih dan mulus kemudian memunculkan model-model iklan sabun Lux pada artis atau model tertentu.

Beberapa waktu lalu media-media Barat mengangkat bahwa sebagian besar negara-negara yang berhasil mengatasi wabah COVID-19 ini ternyata dipimpin oleh perempuan. Mulai dari Taiwan, Jerman, sampai dengan New Zealand. Tentu bahasan soal jender akan menarik di sini, tetapi dari situ pula kita bisa meraba peran penting dari pemimpin negara dalam menghadapi wabah ini. Apapun jendernya. Ia adalah juga seorang minoritas kreatif jika kita memakai terminologi Toynbee di atas. Dan juga sebenarnya ia adalah seorang ‘model’ dalam ‘teori segitiga hasrat’-nya Girard. Ketika pengendalian COVID-19 menampakkan hasilnya, New Zealand mulai melonggarkan pembatasan-pembatasan, termasuk juga restoran, café. Ketika PM New Zealand dengan pasangannya ingin makan di luar, ia ternyata ditolak masuk karena restoran atau café sudah penuh. Penuh karena harus melaksanakan jarak 1 meter bagi pelanggannya, social distancing. Ojo cedhak-cedhak. Jecinda Arden, PM New Zealand itu dengan santai iapun ikut mengantre. Tidak terus memaksa masuk hanya karena ia pimpinan tertinggi negeri itu. Inilah juga salah satu contoh pemimpin yang sesadar-sadarnya ia adalah juga ‘model’ bagi warganya.

Tetapi bisa saja masalahnya tidaklah sesederhana di atas. Bagi Fenomenologi, kesadaran pastilah kesadaran akan sesuatu. Untuk sesuatu itu dapat dipahami sebagai obyek bagi kesadaran, maka perlu dikonstitusi terlebih dahulu sebagai fenomena, demikian alur yang disampaikan oleh Husserl seperti ditulis oleh IPN. Dan itu melibatkan proses-proses presentif dan representatif yang akan melibatkan apa itu memori, ingatan, dan tentu juga daya imajinasi. Juga persepsi-persepsi inderawi dan juga kapasitas intelektual. Pengalaman Clotaire Rapaille sebagai konsultan produsen kopi yang ingin memasarkan kopi di Jepang yang ratusan tahun tradisinya adalah peminum teh, menarik disampaikan di sini. Clotaire bicara soal cultural code. Bagaimana akan memasarkan kopi jika dalam satu komunitas itu ‘ingatan’ akan rasa kopi tidak ada? Maka Clotaire tidak langsung menggelontorkan uang dengan langsung memasarkan produk kopi itu ke masyarakat Jepang, tetapi ia menyarankan untuk memasukkan rasa kopi ke biskuit-biskuit atau lainnya misalnya, sehingga rasa kopi itu akan ter-imprint dalam memori. Setelah bertahun itu berlangsung maka ketika Starbuck membuka gerai kopinya di Jepang, penambahan pembukaan gerai-gerai baru ternyata bisa berlangsung cepat. Tentu segala ‘sihir’ Starbuck juga akan menentukan, tetapi jika cultural code akan rasa kopi tidak ditebar dulu oleh Clotaire bertahun sebelumnya, akankah peningkatan jumlah gerai akan secepat itu?

Maka pemimpin sebagai minoritas kreatif tidak hanya juga sebagai model, tetapi sebenarnya ia juga adalah ‘agen’ dari bermacam kode-kode kultural juga. Kode-kode kultural yang perlahan akan menelusup masuk ke bawah kesadaran khalayak. Dalam keadaan normal akan berlangsung perlahan dan perlu waktu bertahun. Bayangkan munculnya apa yang disebut Jung sebagai arketipe itu. Atau iklan yang bertubi-tubi lama menghampiri kita. Akselerasi bisa saja terjadi ketika situasinya dalam keadaan tidak normal. Maka benarlah peringatan Napoleon: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” Akan mundurlah kualitas hidup bersama jika kode-kode kultural yang ditebar oleh pemimpinnya adalah kode-kode kultural kelas medioker. Karena kemediokerannya dia, mampunya ya hanya segitu. Tidak lebih dari itu, dipoles setebal apapun. Kebanyakan ngibul dan lagaknya saja yang kagak ketulungan. Bangsat! *** (17-05-2020)

Wabah dan Pemimpin Sebagai Model