www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-05-2020

Bayangkan kita sedang mendengarkan sebuah melodi, dengan nada 1, nada 2, dan nada 3 berurutan secara indah. Jika sekarang, now, kita sedang mendengar nada 2, itu bukanlah berarti nada 1 hilang sepenuhnya. Nada satu seakan ‘tertahan’, mengalami retensi, dan sebenarnya ia ikut memberikan ‘horison’ bagi nada 2. Sedangkan nada 3 yang sama sekali belum terdengar itu sebenarnya juga ‘ikut hadir’ saat kita mendengar nada 2 sekarang ini. Kita seakan sedang ‘mengantisipasi’ hadirnya nada 3.

Horison memegang peran penting dalam hidup manusia, seperti dikatakan oleh Van Peursen: “Man’s entire life exists thanks to the horizon. Logical thinking, legal activities, social organization, artistic creation –all this circumscribes, defines, comprehends, demarcates and gives form. Each one of these activities evokes, as it were, its own horizon…. The horizon is the mark of man’s intervention, limitation and, at the same time, finiteness.” (hlm. Van Peursen, Phenomenology and Reality, hlm. 222) Tetapi bukankah semesta menyediakan ketidakterbatasan untuk kemajuan? Lihatlah ke atas, ke angkasa yang sungguh tidak terbatas itu. Tetapi tetap saja kita ‘dibatasi’ oleh horison penglihatan kita. Kita meluncurkan roket luar angkasa, dan kemudian horison kitapun meluas. Kita sedang berusaha mendarat ke Mars, dan horison kitapun akan meluas lagi. Kita bertemu-berbincang dengan banyak orang, horison-pun bisa meluas. Horison memang ‘membatasi’ tetapi ia bersifat dinamis. Tidak harus roket, kita bergeser saja horison-pun bisa berubah. Dan dalam sifatnya yang dinamis itu, horison bisa dikatakan juga sebagai room for progress, meminjam kata Van Peursen.

Ketika ada pemilihan, para kontestan mengajukan pandangan atau janji-janji mereka. Mereka menawarkan ‘horison baru’ tentang hidup bersama di lima tahun ke depan. Ada ‘ruang kemajuan’ yang ditawarkannya. Tetapi bagaimana jika yang dipegang sebenarnya adalah 2 ‘horison baru’? Satu ‘horison baru’ tipu-tipu yang disampaikan pada khalayak, sedangkan satunya lagi yang diumpetin yang sebenarnya adalah ‘horison baru’ bagi penyandang dananya atau ‘majikan sebenarnya’? Maka dapat dipastikan kemajuan pertama-tama tidaklah bagi khalayak. Khalayak hanya akan merasakan ‘trickle down effect’-nya saja. Ampasnya saja.

Jika ‘horison baru’ yang diungkap pada janji kampanye itu adalah nada 1, pasca pemilihan adalah nada 2, yang penghayatannya tidak akan lepas dari nada 1. Dan kemajuan-pun sudah membayang dan siap disambut (diantisipasi) sebagai nada 3. Maka tidaklah mengherankan jika nada 1 itu sebenarnya adalah ‘nada tipu-tipu’, maka begitu selesai pemilihan, ‘horison-horison baru’ di luar ‘horison baru’ yang ditawarkan saat kampanye akan ditebar oleh bermacam pihak. Bisa oleh media mainstream bayaran atau yang memang berpihak juga pada si majikannya kontestan, oleh buzzerRP yang taèk kucing itu, atau ‘tokoh-tokoh’ yang tidak punya integritas itu tapi lagaknya minta ampun. ‘Horison baru’ itu bisa soal radikal-radikul, bisa sekitar panas-dinginnya ‘ideologi’, atau apa saja pokoknya di luar ‘horison baru’ yang ditawarkan saat kampanye.

Ingatan akan seluk-beluk wabah di masa lalu membuat Taiwan menjadi begitu sigap ketika ada ‘nada baru’ wabah COVID-19. Endapan-endapan memori masa lalu itu seakan dihadirkan lagi sebagai bagian dari horison baru yang dibuka oleh COVID-19. Hasilnya, warga negaranya bisa menjalani hidup bersama dengan ‘nyaman’. Meski mungkin dengan menapak jalan yang agak berbeda, demikian pula dengan Korea Selatan, Vietnam, New Zealand, atau Jerman. Apa-apa yang dilakukan oleh pemerintah mereka telah juga membentuk endapan-endapan ingatan yang kemudian ikut mewarnai horison pandemi COVID-19. Tentu mereka juga sadar-se-sadar-sadar-nya virus tidak kemudian terus melayang terlempar keluar orbit bumi. Mereka sangat sadar bahwa virus corona akan terus gentayangan dalam waktu tertentu yang mungkin saja sampai hitungan tahun, dan tidak hanya itu, virus itu juga akan ‘memaksa’ untuk ‘diberi kesempatan’ hidup berdampingan dengan manusia. (Salah satu) host yang nyaman bagi kelangsungan hidup virus.

Virus dengue jelas telah merenggut ratusan ribu nyawa selama ini. Tetapi perkembangan pengetahuan, baik soal polah-tingkah virus di luar maupun dalam tubuh manusia, atau bagaimana pengelolaan jika manusia terjangkiti virus itu termasuk juga cara-cara pengendalian penyebaran virus, telah membuat kita mampu (tidak begitu gelisah-terusik) hidup ‘berdampingan’ dengan virus dengue. Tentu kalau boleh memilih (dan sebaiknya diusahakan), lebih baik virus dengue itu tidak di samping kita sepertihalnya virus polio. Dan penting juga di sini, karena berkembangnya kasus dengue sekarang tidak dalam kondisi wabah. Sampai KLB (Kejadian Luar Biasa), mungkin ya, tapi bukan wabah seperti COVID-19 sekarang ini. Apa yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah seperti disebut di atas (terkait pandemi COVID-19) adalah bagaimana ia bertindak tidak hanya soal menyelamatkan nyawa warganya, tetapi juga memberikan ‘sesuatu’ yang bisa untuk ‘pegangan’ ketika ‘ketidak-pastian’ yang menakutkan (karena kematian-kematian yang terus membayang) itu datang melingkupi warganya. Wajar jika pemerintah-pemerintah di atas melakukan upaya-upaya maksimal sehingga bisa menjadi ‘pegangan’ bagi warganya. Mungkin karena amanat konstitusi, atau mungkin juga dengan kesadaran penuh bahwa selama ini warganya telah membayar pajak dalam berbagai bentuknya.

Maka hidup ‘berdampingan’ dengan virus bukanlah seperti ‘cek kosong’. Apalagi yang ‘memaksa’ untuk hidup berdampingan itu sebenarnya adalah si-virus. Yang untuk ‘survival’-nya ia akan lebih senang dengan host seorang manusia. Endapan-endapan masa lalu terkait dengan apa yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi COVID-19 ini, dan juga data-data sekitar COVID-19 yang bisa dipertanggungjawabkan akan membangun horison baru dalam ranah baru: ‘survival of the fittest’ dalam menghadapi COVID-19 (paling tidak sekarang ini). Mana yang paling fit, manusia atau virus?

Tetapi ketika bermacam pembatasan yang dilakukan pemerintah demi mencegah merebaknya si-virus menunjukkan hasil, maka perlahan pula horison baru dalam ranah baru ‘survival of the fittest’ seperti dimaksud di atas, akan menempatkan manusia (baca warga negara atau khalayak) semakin percaya diri dalam menghadapi COVID-19. Di tambah dengan kebutuhan dasar yang semakin mendesak dan kebutuhan di atasnya (dalam hirarki Maslow) serta bosannya di rumah saja, pelonggaran-pun semakin dituntut. Maka hidup ‘berdampingan’ dengan si-viruspun akan benar-benar menjadi hidup bersama dengan horison baru pula. Yang sering dikatakan sebagai ‘normal baru’. Apapun desakan kepada pemerintahnya untuk dilakukan pelonggaran, sadar atau tidak sadar apa yang telah dilakukan oleh pemerintahannya sebelumnya akan masuk juga di ruang-ruang bawah sadarnya. Bagi warga negara yang pemerintahan berhasil melakukan pengendalian dalam banyak aspeknya seperti disebut di atas maka ‘normal baru’ itupun akan dilaluinya dengan langkah yang lebih ringan. Seakan ia telah masuk dan ‘lulus’ dari ‘sekolah yang bener’, yang berkualitas. Dan kemudian masuk dalam kehidupan dengan horison baru yang di belakangnya dia tahu persis ada back-up dari pemerintahannya yang all-out, meski ia tahu juga itu sama all-outnya ketika menegakkan aturan pajak.

Bagaimana ketika ada warga negara yang hidup dalam pemerintahan yang glécènan, tidak ambil langkah serius di awal wabah? Bahkan pakai goyang tik-tok segala? Dan terlalu banyak simpang-siur-nya pada langkah-langkah selanjutnya? Bahkan seakan membiarkan (atau justru juga kongkalikong memuluskan?) ketika ada pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan besar, ketika bajingan-bajingan itu mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan adanya wabah ini? Dan kemudian dengan sok-bijak mengajak warganya untuk siap hidup berdampingan dengan virus COVID-19? Mungkin saat itu kita di nada 2: mau-tidak-mau segera ada di ‘normal baru’, tetapi dengan horison yang terbangun di nada 1 seperti disebut di atas, maka antisipasi kita (untuk nada 3) mungkin sederhana saja terhadap ajakan sok-bijak itu: ndas-mu! Atau kalau Gombloh masih hidup, dalam dendangnya ia akan terus saja ngedumel, dan berkata singkat: bangsat! *** (17-05-2020)

Dua Hal Soal Berdampingan