www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19-05-2020

Kegelisahan menghadapi wabah sekarang ini sebagian besar adalah masalah daya dukung. Coba lihat misalnya, kurangnya daya dukung dalam bentuk pengetahuan terkait dengan perilaku atau karakter dari virus itu sendiri. Atau daya dukung antibodi tubuh yang dirasa kurang jika kita bicara komunitas. Makanya penambahan daya dukung melalui vaksin adalah ‘dambaan’. Dan tentu juga daya dukung pusat-pusat pelayanan kesehatan yang memang tidak/belum di-disain dalam ranah wabah. Belum lagi kita bicara soal daya dukung dalam bentuk alat pelindung diri bagi tenaga kesehatannya. Juga daya dukung finansial dalam menghadapi wabah dan dampak sosial-ekonominya. Keputusan dan kebijakan dari pemerintah.

Binatang dan manusia sama-sama mengandalkan alam sebagai daya dukung utama dalam menopang hidupnya. Tetapi yang membedakan adalah, manusia mempunyai horison, binatang tidak. Horison ini bisa dikatakan sebagai ‘daya dukung primordial’ bagi manusia. Semesta memang menyediakan ketidak-terbatasan sampai jauh di luar galaksi sana, tetapi dengan adanya horison manusia menjadi mampu memandang dalam batas-batas tertentu. Horison sendiri pada dasarnya adalah ‘membatasi’ tetapi sekaligus dalam dirinya ada dinamika yang tidak terbatas. Horison yang akan terus meluas sesuai dengan dinamika hidup manusia.

Dengan adanya batas tersebut, tiba-tiba saja justru bermacam kemungkinan (posibilitas) seakan ada di depan mata. Bermacam kemungkinan yang kemudian manusia tidak hanya bisa mengembangkan daya dukungnya, tetapi juga bisa memilah mana yang mempunyai daya ungkit lebih besar. Sesuatu yang kadang dipilah dan sayangnya kadang dicari manusia secara obsesif. Makanya dalam satu ‘komunitas yang lengkap’, seniman dengan karya-karyanya, baik itu musik, lukis, patung, puisi, sastra, dan lain-lainnya akan mendapatkan juga tempat terhormat karena ia selalu akan mengingkatkan untuk jangan terus mengubur dunia kemungkinan itu dengan jatuh secara obsesif pada soal daya ungkit (tertinggi) saja.

Tetapi ketika wabah menghampiri maka identifikasi daya dukung dan daya ungkit memang menjadi sangat penting. Paling tidak jika kita memilah apa yang tergantung dari kita atau yang tidak. Meluaskan horison adalah juga merupakan bagian dari yang tergantung dari kita. Dengan cepat kita bisa menelisik kembali bermacam endapan ingatan masa lalu. Kita bisa memaksimalkan bermacam ilmu pengetahuan yang sudah ada, temasuk mulai dengan kesungguhan mencoba mengenali karakter virus, bagaimana repons tubuh manusia, maupun respon sosialnya. Melakukan edukasi massif kepada khalayak. Serta kemudian memutuskan langkah-langkah cepat dan tepat untuk mengendalikan penyebaran virus melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Termasuk di sini adalah penanganan bagi yang terjangkit dan seluruh stake-holdersnya.

Fokus tulisan ini adalah soal daya dukung. Maka pertanyaannya adalah, apa daya dukung utama dan katakanlah juga yang mempunyai daya ungkit terbesar? Di banyak komunitas terorganisir (baca: negara) kalau kita mengikuti berita-berita maka akan nampak seringnya pemimpin negeri mereka tampil memberikan penjelasan tentang apa yang dihadapi, apa yang sedang atau akan dilakukan, kemajuan-kemajuan atau kemunduran/ancaman baru. Ini sebaiknya tidak kita lihat sebagai soal pencitraan meski itu tidaklah salah juga, tetapi adalah soal tanggung jawab. Ini saatnya pemimpin yang telah ‘tega’ nguber-uber pajak dari rakyatnya itu untuk tampil mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya. Dari sisi lain, dengan segala sumber daya yang ada di tangan, pemimpin tertinggi itu juga bisa kita lihat sebagai ‘daya dukung’ utama satu komunitas dalam menghadapi wabah. Melalui keputusan-keputusannya, melalui kebijakan-kebijakannya, dan yang tidak boleh dilupakan: melalui contoh-contoh kongkret darinya.

Sebenarnya tidak hanya soal tanggung jawab saja. Obama memakai kata-kata tepat dalam mengkritik respon Trump dalam menghadapi wabah di AS: ‘chaotic disaster’. Tentu disaster akan terhayati sebagai chaos, tetapi respons terhadap disaster itu bagi yang mempunyai bermacam sumber daya di tangan, mestinya tidak chaotic. Atau chaos-nya disaster itu perlahan dapat dibawa pada penghayatan sebagai ‘kosmos baru’ dengan langkah-langkah cepat dan tepat yang menjanjikan. Dan tentu itu juga akan membangun rasa aman. Tidak jauh sebenarnya dari yang diungkap oleh Arnold J. Toynbee dalam A Study of History (1965), yang juga menyinggung soal respons dan tantangan, dan di antaranya ada si-minoritas kreatif.

Daya dukung besar bagi hidup bersama yang dipunyai oleh negara itu wajar saja kemudian diperebutkan. Dan dalam hal inilah manusia-manusia kongkret yang sedang mendapat amanat mengelola negara itu dapat kita nilai kualitasnya. Apakah daya dukung itu akan memberikan daya ungkit bagi kebanyakan orang dalam menghadapi pandemi ini, atau justru hanya digunakan bagi segelintir orang saja atau kelompok saja. Bahkan adanya wabah ini seakan (wabah) bisa menjadi ‘daya ungkit’ keserakahan mereka. Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Anjing yang luar biasa serakahnya. Bajingan yang sudah tidak punya nurani lagi. Jika ini terjadi maka mungkin kita bisa dengan mulai berteriak keras: DASAR KACUNG-PENGKHIANAT!

Gouverner, c’est prévoir, to govern is to foresee,” demikian kata salah satu pelopor jurnalisme modern, Emile de Girardin. Hakikat dari kerja mengurus negara adalah melihat lebih dahulu ke depan. Dan dengan kualitas kepemimpinan dan segala sumber daya di tangan, ini mestinya yang berkembang. Melihat lebih dahulu ke depan adalah salah satu bentuk antisipasi dalam satu horison yang terbangun dari masa lalu dan bermacam kejadian, baik yang masih merupakan fakta potensial maupun sudah menjadi fakta faktual. Jika kemudian kepentingan yang dilihat, maka kepentingan siapa yang juga harus dilihat lebih dahulu ke depan? Itulah salah satu yang akan membedakan antara negarawan dan kacung atau pengkhianat. *** (19-05-2020)

Daya Dukung