www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-03-2020

Sebelum alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 adalah soal kemerdekaan. Adalah soal kedaulatan. Adalah juga soal perikemanusiaan dan perikeadilan. Soal kedaulatan yang tidak lepas dari bayang-bayang perikemanusiaan dan perikeadilan. Kedaulatan yang jauh dari 'cek kosong'. Perikemanusiaan dan perikeadilan yang tidak hanya berdenyut di bumi nusantara, tetapi juga di atas dunia. Kedaulatan yang juga dioperasikan pada penutup Pembukaan UUD 1945, alinea ke-empat.

Pada alinea ke-empat, paling tidak kita akan menemui tugas kewajiban dari pemerintah negara Indonesia dan dasar operasionalnya yang biasa kita sebut sebagai Pancasila itu. Tugas kewajiban dari pemerintah negara Indonesia disebutkan (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Jika ke-empat tugas kewajiban pemerintah negara Indonesia itu kita baca sebagai satu keseluruhan dari Pembukaan UUD 1945, segera saja kita akan merasakan denyut sentral-nya sebuah kedaulatan. Apalagi jika kita dihadapkan pada suatu keadaan atau situasi seakan ada di tepi jurang tanpa dasar. Tiba-tiba saja katakanlah kematian seakan ada di depan mata. Kata Carl Schmitt, sovereign is he who decides on the exception.

Pada langgam keseharian kita akan mengikuti saja irama yang ada. Tetapi ketika ‘kematian’ ada di depan mata, saat itulah segala kemampuan nalar dan ketetapan hati akan diuji. Di balik soal decides pada kutipan Carl Schmitt di atas, ada nalar dan ketetapan hati. Dua hal yang harus ada, karena terlalu ragu atau serampangan tanpa nalar yang cukup maka operasionalisasi dari keberdaulatan itu bisa-bisa justru menjauh dari perikemanusiaan dan perikeadilan seperti disinggung di awal Pembukaan UUD 1945. Ketika pengebom bunuh diri menara kembar WTC ada yang mengatakan sebagai seorang pemberani, maka segeralah pembanding bermunculan. Salah satunya adalah, bagaimanapun keberanian haruslah didukung oleh nalar juga. Atau misalnya, ingin menunjukkan bahwa ada keberanian atau katakanlah ketetapan hati dalam menghadapi Covid-19 dengan secara demonstratif makan kelelawar bakar dan juga malah mengundang orang-orang dari luar supaya masuk, jelas laku ini sedang meminggirkan nalar. Tetapi ketika terlalu banyak pertimbangan ini-itu dan kemudian tidak bersikap, maka bisa-bisa saja itu semua sudah terlambat.

Lepas dari bagaimana antara nalar dan ketetapan hati ’dikombinasikan’, apa yang dikatakan oleh Carl Schmitt di atas sedikit banyak bisa untuk meraba, sejauh mana sebenarnya kita itu berdaulat. Hal ini sangat penting karena bagi kita, karena ini adalah hal yang langsung terkait dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Juga sangat terkait bagaimana Proklamasi akan dioperasionalkan. Terkait dengan pandemi Covid-19 ini, kita jelas harus bahu-membahu dengan semua pihak untuk mencegah perluasannya. Mengobati yang sakit. Membuat protokol wabah. Jika ada orang masuk republik melenggang saja padahal jelas dia dari negara terdampak, kita ingatkan pemerintah bersama-sama. Dan seterusnya. Bagaimana kita menghadapi wabah ini sungguh merupakan pembelajaran bersama dalam hidup bersama. Termasuk juga bagaimana soal keretakan kedaulatan itu ternyata sungguh telah mendorong hidup bersama semakin kencang mendekat ke bibir jurang tanpa dasar itu. Pelajaran yang sungguh amat berharga, karena yang dipertaruhkan sungguh sangat-sangat mendasar. *** (16-03-2020)

Sebelum Alinea Ke-empat