www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-03-2020

Dalam rejim error ini saya khawatir semua yg dipercaya rakyat adalah bohong

Bre Redana[1]

The words that change America adalah frase yang sering muncul ketika kita sering membuka sejarah perjalanan AS itu. Dan sebenarnya tidak hanya di Amerika sana frase itu dapat diterapkan. Bahkan ketika Marx ingin menegaskan pentingnya ‘dunia-bawah’, pentingnya soal mode of production itu, ia menggunakan kata-kata, dan kita bisa mengatakan juga: the words that change proletariat.

Bagi seorang negarawan, ia lebih dari sekedar politisi, ia akan sangat memperhitungkan dunia kata-katanya, dan apa yang ia lakukannyapun tidak akan jauh-jauh dari apa yang dikatakan itu. Maka tidak semua yang disebut politikus itu akan menjadi seorang negarawan. Dan seorang negarawan tidaklah mesti seorang politikus. Tetapi jika suatu bangsa akan maju, ia harus melahirkan juga seorang politikus yang sekaligus juga seorang negarawan. Dan ini bukanlah mimpi seorang manusia.

Tetapi akan menjadi mimpi bagi satu bangsa ketika bangsa tersebut menjadi kurang bertenaga untuk membangun sebuah sangsi bagi elit-elitnya. Dan yang paling mendasar dari bermacam sangsi itu bukanlah sangsi di bilik pemilihan lima tahun mendatang atau bahkan sangsi yang dijatuhkan di ruang pengadilan, tetapi adalah sangsi-sangsi sosial. Dan pada sangsi-sangsi sosial inilah sebenarnya korban utama ketika apa yang disampaikan oleh Bre Redana seperti dikutip pada awal tulisan ini. Yang utama adalah, ketika kebohongan sudah tidak menjadi sekedar ‘kenakalan dari politisi’, tetapi seakan sudah menjadi ‘paradigma’ tersendiri. Bohong sudah menjadi laku yang tidak inappropriate lagi.

Ketika sangsi sosial melemah dalam horison hidup bersama, masa lalu, masa sekarang, dan masa depanlah yang sungguh dipertaruhkan. Sangsi sosial bisa dikatakan sebagai ‘sangsi-yang-serta-merta’. Dia tidak menunggu adanya penuntutan maupun sidang pengadilan, atau periodisasi lima tahunan dalam pemilihan. Bagi ‘penikmat’ melemahnya sangsi sosial ini ia akan terus mewacanakan soal periode lima tahunan itu. Seakan-akan dunia berputar tidak dalam hitungan hari atau minggu, tetapi setiap lima tahun. Padahal jika menurut Manuel Castells, di era masyarat jaringan yang difasilitasi kemajuan teknologi infromasi ini, aliran atau bahkan gelombang informasi, modal, images, sounds, simbol-simbol, dan bermacam lagi datang seakan tiada henti. Menit-per-menit. Menurut Castells: “People increasingly organize their meaning not around what they do but on the basis of what they are, or believe they are. Meanwhile, on the other hand, global networks of instrumental exchanges selectively switch on and off individuals, groups, regions, and even countries, according to their relevance in fullfiling the goals processes in the network, in the relentless flow of strategic decisions. There follows a fundamental split between abstract, universal instrumentalism, and historically rooted, particularistic identities. Our societies are increasingly structured around a bipolar apposition between the Net and the Self.[2]

Maka pada dasarnya, khalayak dalam era masyarakat jaringan ini sebenarnya akan lebih peka jika ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Selain banyak pembanding yang dalam sekejap tersedia di depan hidungnya, intersubyektifitas akan menjadi lebih intens. Imajinasi-imajinasi bisa saling dikomunikasikan, lebih dimungkinkan untuk saling koreksi. Tetapi disatu pihak, banjir dan kelap-kelipnya informasi itu juga bisa membuat rasa aman jadi terusik, pengendapan demi kedalaman akan juga terusik, atau juga katakanlah ‘logika waktu pendek’ bisa dengan mudah merebak. Sayangnya juga, bagi sementara khalayak tidak bisa dielakkan lagi kadang yang dibuka adalah situs atau akun yang sama atau yang membenarkan pendapatnya saja. Dan benih-benih ‘digital partisan’-pun bisa mulai merekah. Atau katakanlah fanatisme. Maka kadang kebutuhan akan hadirnya, katakanlah: axis mundi, bisa perlahan menelusup sebagai kebutuhan yang tak terhindarkan. Inilah yang kemudian mengapa frase ‘negara hadir’ itu bisa cepat masuk dalam kesadaran khalayak. Hadir untuk memberikan rasa aman bagi khalayak ketika ia harus berhadap dengan gejolak atau dinamika the Net.

Maka ketika kebohongan-kebohongan itu sudah tidak hanya sekedar ‘properti’ dari seorang politisi, tetapi sudah seakan menjadi sebuah ‘paradigma’, keluarlah istilah baru untuk menamainya, misal: bangsat bangsa itu. Mereka jelas sudah bukan politisi, apalagi negarawan. Mereka adalah berandal-berandal, kecu, bajingan yang sedang berenang di ranah politik. Atau kalau meminjam istilah Driyarkara, pemilihan umum, ada partai-partai, ada calon-calon lainnya, dan segala peraturan yang ada, itu adalah permainan. Dan bermainlah dengan sungguh-sungguh, demikian Driyarkara. Kebohongan yang sudah seakan tanpa batas, tanpa sungkan lagi, tanpa beban, dan berulang dan berulang ditambah dengan omongan asal njeplak yang berulang dan berulang, itu sudah masuk dalam kategori: ‘mempermainkan-permainan’. Dan jika permainan yang sebenarnya adalah untuk lebih memperadabkan hidup bersama itu sudah tanpa beban lagi dipermainkan semau-maunya, maka bisa-bisa permainan akan bergeser pada yang lain, yang sebenarnya kurang beradab: bentrok.

Dan Napoleon benar: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” *** (12-03-2020)

 

[1] https://twitter.com/BreRedana/status/

1237640014747467776

[2] Manuel Castells, The Rise of the Network Society, Vol 1, hlm. 3

Republik Yang Sedang Dipermainkan

gallery/pinokio2