www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-03-2020

Man behind the gun, nampaknya itulah esensi dari sang-Leviathan. Si-pemonopoli penggunaan kekerasan untuk mengawasi kesepakatan-kesepakatan yang ada. Untuk memastikan kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan. Kesepakatan untuk hidup dalam damai, bukan dalam situasi state of nature. Leviathan yang diangkat ‘derajat’-nya oleh Thomas Hobbes itu muncul dalam bukunya Leviathan di tahun 1651. Leviathan ditulis Hobbes di tengah-tengah gejolak Perang Sipil yang terjadi di Inggris sana. Buku yang pada bagian pertamanya itu membahas soal manusia (Of Man): manusia apa adanya. Manusia dalam kondisi state of nature dan bagaimana situasi damai bisa mewujud.

Setelah 1651 sampai sekarang, kita dan banyak negara di planet ini semakin ingin mengurangi peran ‘kerasnya’ Leviathan dalam mengawasi kesepakatan-kesepakatan yang disepakati. Jika mengikuti Hobbes, manusia apa adanya itu adalah seperti yang digambarkan oleh Spinoza: desire is the essence of a man. Hasrat-hasrat manusia yang setelah Abad Pertengahan itu ‘naik-derajat’ dengan diterima sebagai hal apa adanya saja, bukan sesuatu yang ada di ruang kegelapan. Maka dibalik kesepakatan-kesepakatan itu ada gejolak hasrat dari kegelapan state of nature, karena yang bersepakat adalah manusia-manusia kongkret. Montesquieu, ‘generasi’ setelah Spinoza dan Hobbes, mengajukan soal trias politika itu. Bukan hasrat diawasi oleh ‘kekuatan absolut’ tetapi hasrat dilawan oleh hasrat di tiga lembaga: eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Dan berkembang lagi, kemudian diakui juga peran penting dari media massa dan masyarakat sipil.

Maka bisa kita lihat bahwa sifat monopoli kekerasan dari sang-Leviathan-pun perlahan bergeser. Bukan untuk memastikan kesepakatan-kesepakatan itu dilaksanakan, tetapi lebih pada memastikan bahwa kesepakatan-kesepakatan itu dapat dicapai dan dijalankan dalam suasana yang kondusif, damai. Yang memastikan bagaimana kesepakatan-kesepakatan yang sudah disepakati itu dijalankan adalah soal eksekutif, legislatif, yudikatif, media massa, dan masyarakat sipil. Maka di banyak komunitas, bagi yang sudah lama ada di ‘dunia monopoli kekerasan’ (yang lama pegang senjata) itu jika ingin masuk dalam ‘dunia-kesepakatan-kesepakatan’ ia harus menunggu beberapa saat. Tidak bisa langsung. Karena ke dua dunia itu memang sudah berjarak. Saat terseret banjir misalnya, insting kita akan berusaha menggapai apa saja yang terdekat. Ketika hasrat kemudian datang laksana banjir yang tidak bisa ditahan lagi, yang terdekat bisa saja kemudian menjadi andalan. Dan bagaimana jika yang terdekat itu adalah senjata laras panjang? Atau hukum? Atau media? Atau uang yang menggunung itu?

Bertahun terakhir rasa-rasanya kita mengalami hal terkait dengan jarak ini. Yang pertama kita merasakan bagaimana ketika media massa ‘mainstream’ itu banyak yang lebih memilih mempersempit jarak dengan kekuasaan. Kita merasakan bagaimana kualitas hidup bersama serasa tertahan dalam berkembang. Denyut hasrat serasa semakin liar saja. Semakin semau-maunya. Atau ketika hukum menjadi alat efektif untuk sandera kasus, misalnya. Atau liarnya sogok-menyogok dalam bermacam bentuknya itu. Ditambah lagi ketika sebagian yang semestinya ada di masyarakat sipil juga turut mempersempit jarak dengan kekuasaan. Semakin asyik dengan kekuasaan. Jauh sebelumnya, pengalaman akan hilangnya jarak antara yang pegang senjata dan ‘dunia-kesepakatan-kesepakatan’ selama 30 tahun itu telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.

Negara yang berdasarkan hukum itu juga berarti soal batas merupakan hal esensial. Kita sudah tidak mungkin lagi hanya mengandalkan pada ‘maksud baik’ saja, tetapi juga membuat bermacam batas sehingga apa yang dinamakan sebagai hasrat itu tidak kemudian menjadi liar semau-maunya. Dari perjalanan sejarah kita bisa melihat bagaimana bermacam upaya dalam mengelola hasrat itu. Mulai dari pengendalian diri, ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar dalam bermacam bentuknya, sampai dengan hasrat vs hasrat. Dari ketiga hal tersebut ada yang bisa kita hayati sebagai hal mendasar, dan itu sekali lagi adalah soal batas.

Masalah isu profesionalisme TNI di awal-awal Reformasi adalah soal batas ini. Termasuk juga istilah ‘kembali ke barak’. Kembali ke batas-batas barak. Tidak sedikit biaya yang harus ditanggung oleh bangsa ini untuk mendorong profesionalisme TNI ini. Biaya untuk menarik garis batas yang tegas. Masalahnya adalah, yang pegang senjata itu tidak hanya TNI. Polisi juga pegang. Dan kita berharap sejarah tidak berulang. Terlalu mahal bagi republik.

Soal batas ini ada satu lembaga yang batas-batas operasionalnya sungguh bisa dikatakan sangat remang-remang. Yaitu intelijen. Maka dari bermacam modus pengendalian/pengelolaan hasrat di atas, kualitas diri harus betul-betul diperhatikan dengan sungguh-sungguh dalam proses rekrutmennya. Dan mereka harus menjawab pertanyaan awal dengan sungguh-sungguh pula: apakah loyalitas akan ditempatkan pada rejim atau negara? Jika masih ragu sebaiknya mundur. *** (04-03-2020)

Man Behind the Gun