www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-03-2020

Menurut Harold Laswell, politik tidak akan lepas dari ‘who gets what, when, how’. Bagi sementara orang, who berarti khalayak, what adalah mimpi-mimpi, when kalau bisa selamanya, dan how: dikibulin aja. Sedang bagi yang lain, what tidak pernah lepas dari alat-alat produksi, hubungan-hubungan produksi, kekuatan-kekuatan produksi. When-nya sama, kalau bisa selamanya. Bahkan menurut Jeffrey Winters, hancurnya sebuah otoritarianisme itu bukan berarti juga hancurnya oligarkinya. Oligarki yang merengkuh erat alat-alat produksi, hubungan-hubungan produksi, kekuatan-kekuatan produksi itu. Bagaimana dengan how? Ya pasang tukang ngibul aja.

Tetapi mimpi memang tidak lepas dari politik, atau sebenarnya kebalikannya. Politik tidak akan lepas dari mimpi, atau tepatnya: harapan. Harapan bahkan bisa terhayati sebagai sebuah pulau kepastian di tengah-tengah samudera ketidak-pastian. Masalahnya, bukankah soal alat-alat produksi, hubungan-hubungan produksi, kekuatan-kekuatan produksi, atau katakanlah mode of production itu adalah ‘yang-pasti-pasti’ ‘who gets what, when, how’-nya? Yang akan menentukan apa bentuk atau isi dari harapan? Termasuk juga harapan yang ‘digendong’ oleh politik? Atau juga justru dinamika politik itu sendiri yang seakan tidak bisa meloloskan diri dari mode of production dari oligarki-pemburu rente itu.

Kesadaran selalu kesadaran akan sesuatu, demikian kata Husserl. Maka adalah penting jika kita mau meluangkan waktu untuk kembali ke sesuatu itu. Sesuatu sebagaimana ia menampakkan diri. Dan kita betul-betul bersikap sebagai ‘pemula’. Apa yang biasanya kita terima begitu saja, kita ‘tunda’ dulu. Prasangka-prasangka kita tunda dulu, dan kita mendekati sesuatu itu sekali lagi, sebagai ‘pemula’. Kita lihat dari bermacam sudut, bermacam aspeknya, dan juga membuka diri untuk sebuah dialog dengan yang lain. Karl Marx dan terlebih Engels jelas bukan kelas proletar. Tetapi Marx dan Engels menunda segala prasangka yang terbangun dari eksistensinya yang bukan proletar itu, dan kemudian melihat dari bermacam sudut, aspek, dan lainnya, terkait dengan soal alat produksi, hubungan produksi, kekuatan produksi. Jadi, bukankah Marx dan Engels sendiri juga sudah ‘mengatakan’ bahwa ada ‘waktunya’ kesadaran itu tidak ditentukan oleh realitas semata. Tetapi ada ‘peran aktif’ dari manusia yang berkesadaran itu. ‘Peran aktif’ yang sama sekali bukan dimaksudkan menyingkirkan hal yang dialami. Justru berangkat dari yang dialami sehari-harilah titik berangkatnya.

Bagi Heidegger, ciri khas keseharian adalah orang dapat menggantikan orang lain. Si A mengambilalih posisi direktur umum[1], misalnya. Atau si-B mengambilalih posisi presiden, atau ketua lembaga X. Atau mewakilkan kedatangan pada suatu acara. Dan seterusnya. Tetapi ada satu hal yang tidak mungkin digantikan orang lain atau diwakilkan, menurut Heidegger itu adalah kematian. Kematian yang dihayati sebagai kemungkinan itu harus dihadapi sendiri. Dalam konteks inilah kita bisa lebih mungkin memaknai otentisitas. Dengan apa yang dilempar Heidegger ini kita bisa mengembangkan imajinasi dalam ranah politik. Yaitu bagaimana kita bisa membangun sikap otentik dalam sebuah horizon akan adanya kematian sebagai kemungkinan. Bukan kematian diri-individu-individu, tetapi ‘kematian hidup bersama’.

Itulah mengapa ‘sense of urgency’ itu sebenarnya merupakan syarat mutlak bagi seorang pemimpin. Bukannya khalayak tidak mempunyai sense of urgency, tetapi karena seorang pemimpin akan menghadapi situasi-situasi yang seakan tiba-tiba saja ‘kematian hidup bersama’ itu datangnya bisa terus-menerus secara bergelombang. Dari bermacam arah dan waktu-waktu tak terduga. Ke-urgency-annya akan sesuatu seakan bagai bayang-bayang yang selalu mengikutinya. Maka tidak semua mau menjadi pemimpin, tidak semua mampu menjadi pemimpin di puncak. Seorang pemimpin tidak akan bicara soal ‘tanpa beban’, apapun itu konteksnya. Hanya pemimpin dunia mimpi-lah ia bisa merasa sedang memimpin dengan tanpa beban. Karena beban itu akan terus melekat selama ia ada di ruang-antara mimpi dan realitas.

Akio Morita adalah CEO sekaligus pendiri Sony Coorporation. Ketika pasar valuta dan sejenisnya semakin merebak, Morita merasa prihatin terhadap perkembangan kapitalisme yang seperti itu. Katanya: “Ini permainan yang memabukkan, penuh kegairahan, tapi kemenangan dan kekalahan di meja poker tidak menutup fakta yang mengerikan bahwa kapal itu sedang tenggelam dan tidak ada seorangpun yang menyadarinya.” [2] Apa yang terjadi bertahun terakhir di republik kiranya tidak jauh dari gambaran Morita di atas. Dibuat asyik di ‘bangunan atas’ dan bahkan digelontorkan milyaran rupiah untuk memelihara para buzzer-buzzer istana itu. Sementara ugal-ugalan di ‘basis’ seakan tiada henti. Bolong-bolong di kapal republik itu terus saja tambah menganga.

Soal Covid-19 adalah contoh yang telanjang bahwa terlalu nyaman di ‘dunia atas’ bisa-bisa kita akan menuai badai akibat dampak realitas yang berkembang. Atau kalau meminjam istilah populer, terlalu nyaman di dunia pencitraan tahu-tahu krisis sudah di depan mata. Dan jelas mereka-mereka itu bukanlah pemimpin yang otentik. *** (03-03-2020)

 

[1] F. Budi Budiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, Gramedia, 2016, cet-3, hlm. 103

[2] Alan Woods, Ted Grant, Reason in Revolt, IRE Press, 2006, cet-2, hkm. 520

Terlalu Nyaman Di "Dunia Atas"