www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-03-2020

Humans are tribal,” demikian Amy Chua membuka bukunya Political Tribes (2019).[1] Ben Anderson dalam Komunitas Terbayang menunjukkan bagaimana dampak dari penemuan mesin cetak Guttenberg dapat mempengaruhi hidup bersama. Salah satunya, bisakah kita bayangkan soal ‘print tribalism’? Yaitu ketika diterjemahkan dan dicetaknya Bible dalam bahasa-bahasa lokal itu juga mendorong apa yang bisa disebut sebagai ‘print nationalism’ itu? Atau yang di awal abad 20 kemudian berkembang bentuk baru: ‘electronic tribalism’? Yang ‘difasilitasi’ oleh kemajuan komunikasi melalui media elektronik seperti radio, film, dan televisi. Bagaimana dengan awal abad 21? Adakah ‘digital tribalism’ itu?

Jika kita melihat dari kacamata Abraham Maslow, tribalisme mungkin pertama-tama berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar, basic needs. Terutama adalah soal ‘rasa aman’. Menurut Maslow, yang masuk dalam basic needs selain rasa aman adalah juga kebutuhan-kebutuhan fisik: makan, minum, tempat tinggal untuk istirahat. Jika kita mengikuti lanjutan yang ditulis oleh Amy Chua: “We need to belong to groups. We crave bonds and attachments, which is why we love clubs, teams, fraternities, family,”[2] maka akan nampak tribalisme-pun tidak hanya urusan soal basic needs saja. Ia juga bisa berurusan dengan psychological needs maupun self-fulfillment needs.

Dalam soal empati, menurut Adam Smith, “kita mendapat simpati lebih kecil dari seorang kenalan biasa daripada dari seorang sahabat,” dan “kita menerima simpati jauh lebih kecil lagi dari orang-orang yang tidak kita kenal”.[3] Pengertian simpati jaman Adam Smith adalah sama dengan empati jaman sekarang. Adam Smith memang sedang ingin mengulas terkait bagaimana pada akhirnya ‘bahasa harga’ yang akan dipakai ketika perdagangan terjadi diantara dua orang yang saling tidak kenal, tetapi pada kesempatan ini paling tidak ini bisa untuk memperjelas bagaimana dorongan tribalisme itu memang ada. Karena salah satunya adanya perasaan saling ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Terlebih jika dalam konteks basic needs.

Jika kita kembali kepada Amy Chua, kutipan-kutipan di atas kemudian berlanjut pada hal yang harus kita perhatikan: “But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude.” Dua instinct ini jika kita lihat pendapat Paulo Freire di tahun 1960-an akan menarik bagi para ‘manipulator’.[4] Para manipulator itu akan melihat segmen pada yang masih dalam kesadaran transitif-naif menjadi ‘sasaran tembak’ eksploitasinya. Menurut Freire, jika kesadaran transitif-naif itu tidak beranjak menjadi kesadaran kritis, ia bisa jatuh pada kesadaran fanatik.[5] Dan ketika tribalisme kemudian ditambah dengan fanatisme yang pada dasarnya adalah menjauhnya proses berpikir kritis itu, kekelaman sejarah bisa-bisa terus membayang di depan mata. Terutama dari sisi ‘an instinct to exclude’ itu.

Baik media komunikasi cetak maupun elektronik termasuk perkembangan mutakhirnya, digital, adalah media komunikasi di luar komunikasi face-to-face. Dalam komunikasi tatap muka, jika kita mengikuti Levinas, wajah yang kita hadapi itu sudah seakan juga menjadi atau bahkan menuntut ‘tanggung-jawab’ kita. Coba kita lihat mengapa ketika hukuman mati dilaksanakan ditutup wajahnya? Atau ketika kita melihat bayi yang sedang menangis karena terlantar misalnya. Atau yang sedang tertawa. Ada hal etis yang menyelusup ketika kita bertatap muka. Maka jika kita menggunakan media komunikasi yang menjauhkan moment tatap muka, ada sesuatu yang melemah dalam modus komunikasi itu. Tentu di luar yang melemah itu ada banyak hal yang sungguh memajukan hidup bersama dengan berkembangnya media-media komunikasi tersebut di sekitar kita.

Maka tidaklah mengherankan jika Amy Chua dalam bagian akhir Political Tribes mengutip pendapat Gordon W. Allport yang mengatakan bahwa face-to-face dengan bermacam kelompok akan mengurangi bermacam prasangka (prejudices).[6] Dan tentu pula kita mengharapkan para pemimpin mau menaruh perhatian dalam hal-hal di atas. Selain tidak menampilkan wajah-wajah cengèngèsan, cobalah selalu berusaha menaikkan mutu dalam komunikasi face-to-face itu. Baik dalam soal kredibilitas isi maupun juga ekspresi kesungguhannya. Jauhkan untuk menggunakan ‘tentara-tentara bayaran’ dalam hal ini buzzer-buzzer yang seakan tidak bisa dikendalikan dalam jumpalitannya itu. Adanya istilah ‘buzzer istana’ itu bukanlah ada di ruang kosong. Ia muncul disertai dengan beribu-ribu kegeraman publik. Jangan main-main. Yang dipertaruhkan itu adalah republik dengan manusia-manusia di dalamnya. Konkret, bukan sekedar angka statistik. *** (02-03-2020)

 

[1] Amy Chua, Political Tribes. Group Instint and the Fate of Nations, Penguin Books, 2019, hlm. 1

[2] Ibid

[3] B. Herry Priyono, Adam Smith dan Munculnya Ekonomi, Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial, Jurnal Diskursus, Vol. 6 No. 1, 2007, hlm. 11

[4] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.

com/154-Manipulasi-Di-Tiga-Lapangan-2/

[5] Paulo Freire, Pendidikan Yang Membebaskan, Penerbit Melibas, 2001, hlm. 23

[6] Amy Chua, hlm 198-199

Pada Permulaan Abad