www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-02-2020

Dari segi usia, Daniel Bell bisa dikatakan ia juga menjadi saksi segala kekejaman di sekitar Perang Dunia II. Ia juga melalui komplitnya Perang Dingin termasuk juga keruntuhan Tembok Berlinnya. Juga di abad 21, dengan segala lompatan awalnya. Sekitar 60 tahun lalu, Daniel Bell menerbitkan kumpulan tulisannya dalam sebuah buku dengan judul: The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Sekitar enam tahun setelah Stalin meninggal. Dan paradigma welfare state pasca Perang Dunia II sudah menunjukkan kemapanannya. Buku tersebut dipersembahkan Daniel Bell pada gurunya, Sidney Hook.

Bagi Bell, subtitle dalam judul bukunya adalah penting. Political ideas yang berkembang sejak 19 atau bahkan sebelumnya itu, di pertengahan abad 20 sudah dirasakan ‘megap-megap’, kelelahan. Yang mau-maunya memberikan penjelasan tunggal tapi menyeluruh dan dapat menjawab segala hal itu dirasakan sudah semakin ‘ketinggalan jaman’. Semangat yang dibawa ketika modernisasi menyeruak di penghujung Abad Pertengahan itu semakin dirasa sudah tidak bisa menjawab bermacam tantangan yang berkembang. Dalam arti inilah yang dimaksud ideologi oleh Daniel Bell dalam ‘keberakhiran’-nya.

Frasa ‘the end of ideology’ menurut Bell pertama-tama disuarakan oleh Albert Camus setahun setelah Perang Dunia II berakhir. Mungkin Camus -yang lahir enam tahun sebelum Daniel Bell dan meninggal beberapa saat sebelum The End of Ideology terbit, merasakan bagaimana ketika kemutlakan segala ‘atas nama’ itu betul-betul telah membuat kelam sejarah manusia. Lupa dengan apa yang pernah ditulis Machiavelli dalam The Discourses, “But men make this error who do not know how to put limits to their hopes.[1] Ketika orang mengatakan bahwa bunga yang indah bisa menggambarkan sebuah cinta, siapa yang akan mengingkarinya? Tetapi bagaimana ketika dikatakan bahwa cinta akan terungkap hanya dan hanya jika melalui bunga? Atau, siapa yang akan mengingkari bahwa ‘dunia obyektif’ itu juga dibentuk oleh sains? Tetapi benarkah ‘penghayatan subyektif’ manusia hanya terbatas pada ‘dunia yang dibentuk oleh sains’ itu? Atau contoh kongkret, apakah penghayatan subyektif warga dalam pemilihan atau demokrasi hanya dibentuk oleh ‘dunia obyektif dari polling’ dengan metodologi-metodologi saintifiknya? Apalagi jika dorongan si-surveyor itu tidak sekedar obyektifitas, tetapi juga sangat diganggu oleh ‘fulus-itas’.

Ketika politik direduksi semata hanya sebatas ‘komunikasi politik’, atau bahkan ‘sihir-sihir yang lalu lalang di bangunan atas’ itu, tiba-tiba saja apa yang dikatakan Machiavelli di atas semakin nampak kebenaran. Terlebih ketika ‘hubungan-hubungan produksi’ itu maunya semakin digeser pada logika ‘agama sekuler’ yang merebak sejak akhir dekade 1970 itu: neoliberalisme. Pasar bebas yang dikumandangkan oleh Thatcher sebagai yang tidak ada alternatif lain selain itu. Pasar bebas sebagai penjelas satu-satunya tidak hanya soal ekonomi saja, tetapi juga telah mengkooptasi segala aspek kehidupan. Siapa yang tidak butuh pasar sebagai salah satu mekanisme ‘pembagian kekayaan’ itu? Mungkin hanya Korea Utara saat ini. Tetapi sejauh kita mengakui hak milik pribadi dan adanya kompetisi serta usaha bebas misalnya, pasar tidaklah mungkin kita hapus. Tetapi sekali lagi, bagaimana jika kemudian pasar digeser menjadi satu-satunya penjelas bagi segala hal? Maka kegusaran Albert Camus yang muncul dalam frasa the end of ideology sebenarnya masih juga relevan juga. Yaitu potensi munculnya awan kelam dalam sejarah manusia. Lihatlah awan-awan hitam yang mulai muncul di sana-sini ketika salah satu dari pewartanya itu menjadi menteri keuangan republik.

Menteri keuangan yang lupa akan ‘batas-batas sebuah harapan’ atau dalam hal ini ‘klaim-klaim ideologis’-nya. Batas-batas yang sebenarnya akan semakin nampak jika peran dari sais dan kuda putih serta terawatnya sayap-sayap dalam Analogi Kereta Perang-nya Platon tidak kemudian menghilang.

Lalu dimana soal Pancasila? Soal salam-kah? Soal tik-tok-kah? Huasyuuu ... *** (23-02-2020)

 

[1] Niccolo Machiavelli, Discourses on Livy, Trnsl. Harvey C. Mansfield, Nathan Tarcov, The University of Chicago Press, 1996, hlm. 195

Pancasila dan Berakhirnya Ideologi (1)

gallery/plato wings