www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-02-2020

“Republik macam apa yang kami miliki?” demikian kegundahan Alexi Puskhov, seorang komentator televisi di Rusia, seperti tertulis di Washington Post edisi 30 Agustus 1998.[1] Runtuhnya Tembok Berlin dua tahun sebelum Yeltsin naik kursi presiden Rusia di tahun 1991 –dan kemudian lengser pada pertengahan periode ke-duanya, adalah puncak dari apa yang pernah ditulis Bung Karno, lebih dari 80 tahun lalu:

“Tak berhenti-henti modern imperialisme itu memukul-mukul di atas pintu gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukanya, tak berhenti-henti kampiun-kampiunnya modern imperialisme yang tak sabar lagi itu menghantam-hantam di atas pintu gerbang itu, tak berhenti-henti penjaga-penjaga pintu gerbang itu saban-saban sama gemetar mendengar dengungnya pekik ‘naar vrij arbeid’, ‘ke arah kerja merdeka!’ daripada kaum-kaum modern kapitalisme yang tak mau memakai lagi sistem kuno yang serba paksa itu, melainkan ingin mengadakan sistem baru yang memakai ‘kaum buruh merdeka’, ‘penyewaan tanah merdeka’, ‘persaingan merdeka’, dan lain sebagainya. Dan akhirnya pada kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin yang makin membanjir, sebagai gemuruhnya tentara yang menang masuk ke dalam kota yang kalah, maka sesudah Agrarische wet dan Suikerwet-de-Waal di dalam tahun 1870 diterima oleh Staten Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikelir (swasta, ed) di Indonesia, -mengadakan pabrik-pabrik gula di mana-mana, kebun-kebun teh di mana-mana, onderneming-onderneming (perkebunan, ed) tembakau di mana-mana, dan lain sebagainya: tambahan lagi modal partikelir yang membuka macam-macam perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta api, tram, kapal, atau pabrik-pabrik yang lain-lain. Imperialisme tua makin lama makin layu, makin lama makin mati, imperialisme modern menggantikan tempat-tempatnya. Cara pengambilan rejeki dengan jalan monopoli dan paksa makin lama makin diganti cara pengambilan rejeki dengan jalan persaingan merdeka dan buruh merdeka, cara pengambilan rejeki yang menggali untung bagi ‘negeri’ Belanda makin lama makin mengerut, terdesak oleh pengambilan rejeki secara baru yang mengayakan modal partikelir.”

Ujung dari apa yang ditulis oleh si-Bung itu adalah Politik Pintu Terbuka. Atau yang juga kita kenal sebagai open door policy. Kita bisa menggunakan analisis Marx dalam memperdalam potret si-Bung tentang akhir abad 19 di Nusantara, dan juga kelanjutan dari open door policy – open door policy itu, juga di tingkat global. Dan yang memuncak di akhir abad 20, runtuhnya Tembok Berlin. Tetapi pada kesempatan ini kita akan ‘minta bantuan’ Platon sehingga bisa mengambil respon yang tepat.

Bagi Platon, tripartit jiwa bisa dibayangkan sebagai juga dinamika sebuah polis. Tripartit jiwa Platon digambarkan bahwa jiwa akan mempunyai akal, kebanggaan, dan nafsu-nafsu. Yang ada di kepala, dada, dan perut ke bawah. Atau dalam Alegori Kereta Perang-nya, akal digambarkan sebagai sais, kebanggaan sebagai kuda putih, dan nafsu-nafsu perut ke bawah sebagai kuda hitam. Masih ada juga sayap di kanan-kiri kereta: eros. Nafsu-nafsu bawah perut adalah soal makan, seks, dan terutama adalah uang. Kebalikan dari si-kuda putih yang lebih cenderung ‘manut’ si-sais, si-kuda hitam karakternya semau-maunya sendiri, dan cenderung meluncur ke bawah. Padahal dalam gambaran Alegori Kereta Perang itu, kereta sebenarnya mau di arahkan ke atas oleh sais menuju ‘kebaikan para dewa-dewa’.

Dari gambaran si-Bung di atas, dan juga jika kita melihat gelombang-gelombang globalisasi yang sudah terjadi sejak abad 19 (paling tidak), hal utamanya adalah soal modal, das kapital. Kita tidak bisa mengelak atau kemudian menutup diri total dari gelombang globalisasi atau dalam hal ini bisa kita maknai sebagai open door policy itu. Kecuali jika kita memang mau memilih hidup bersama ala Korea Utara itu. Maka sebenarnya pilihannya adalah pilihan etis. Terkait dengan soal open door policy ini menjadi bukan lagi masalah menolak atau tidak, tetapi sejauh mana open-nya. Atau digambarkan oleh Sidney Hook: “Masalah etis yang sesungguhnya [...] dirumuskan tidak sebagai pertentangan antara baik dan buruk, melainkan sebagai pertentangan antara baik dan baik, antara benar dan benar, serta antara yang baik dan yang benar.”[2]

Dari Sidney Hook di atas kita bisa langsung meraba pentingnya akal kecerdasan. Akal kecerdasan yang mempunyai kemampuan juga menilai batas-batas pada dirinya sendiri. Yang akan juga (semestinya) membuka diri akan sebuah dialog, yang mana dengan dialog itu bisa diharapkan semakin ‘memajukan’ batas-batas tersebut. Akal kecerdasan yang juga didorong oleh kecintaan akan nasib saudara-saudaranya, baik yang ada di sekitar, se-bangsa-se-tanah-air, maupun juga saudara-saudara kita yang ada di luar. Komunitas global. Inilah juga eros itu, sayap-sayap itu, atau katakanlah: elan vital. Akal kecerdasan yang juga didorong adanya kebanggaan, dan sekaligus juga akal kecerdasan yang mampu mengendalikan ‘liar’-nya atau bahkan madness-nya soal kebanggaan itu: chauvinisme.

“Republik macam apa yang kami miliki?” adalah kegundahan ketika akal kecerdasan dan kebanggaan seakan dimakan habis oleh keserakahan si-kuda hitam. Kegelisahan akan makna (hidup bersama) yang tidak mungkin (lagi) diselesaikan oleh segala pencitraan Yeltsin. Ugal-ugalan yang berujung berhentinya Yeltsin di tengah-tengah periode ke-dua-nya. *** (21-02-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/380-Republik-Macam-Apa-Yang-Kami-Miliki/

[2] Harsja W. Bachtiar, Percakapan Dengan Sidney Hook, Penerbit Djambatan, 1986, cet-3, hlm. 9

Republik Macam Apa Yang Kami Miliki? (2)

gallery/plato wings