www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-01-2020

Kalau kapitalisme dan demokrasi mau di-‘tandem’-kan, maka salah satu unsur penting yang harus dijaga adalah: sungkan. Sungkan dalam arti ‘merasa tidak enak hati’. Ia sungkan (‘merasa tidak enak hati’) menegur orang itu. Bagaimana jika orang itu ingin menyeberang bukan pada tempatnya? Bukankah sungkan justru tidak berujung pada kebaikan? Atau contoh lain, ‘ia merasa sungkan untuk menipu sahabatnya’. Dari beberapa contoh di atas, ‘merasa tidak enak hati’ sebenarnya juga melibatkan kemampuan imajinasi: bagaimana jika ‘aku’ di pihaknya? Ada dalam posisinya? Tetapi sungkan juga bisa karena melibatkan soal rasa hormat-menghormati, yang kadang tidak perlu kemampuan imajinasi. Taken for granted. Atau juga sebagai ‘pembenaran’ akan pilihannya untuk tidak berbuat sesuatu? Atau tidak berbuat yang semestinya diperbuat? Alasannya: sungkan.

Pengertian empati yang kita kenal sekarang ini pada saat Adam Smith menulis buku-bukunya disebut sebagai simpati. Dan simpati inilah menjadi salah satu sentral Adam Smith membangun teorinya, yang dikemudian hari berkembang dan sering disebut sebagai kapitalisme itu. Simpati ini akan melibatkan imajinasi, bagaimana jika saya berada dalam posisinya? Maka jika kita mengakui adanya hak milik, akumulasi modal, adanya kompetisi, dan lainnya, bagaimana jika soal simpati ini kemudian meredup? Atau katakanlah sungkan dalam arti yang tidak jauh dari kata simpati ini (atau empati dalam pengertian sekarang)?

Di belakang ‘tindakan konyol’ pengunduran diri beberapa pejabat publik karena ‘kesalahan kecil’ di beberapa negara maju yang men-tandem-kan kapitalisme dan demokrasi, sedikit banyak adalah soal pentingnya simpati ini. Mereka membayangkan bagaimana perasaan rakyat atau paling tidak pemilih ketika ia berbuat seenak-enaknya. Simpati yang merupakan ‘code of conduct’ dalam pasar kapitalisme itu mestinya ada yang selalu berdiri dalam upaya universe-maintenance. Di pundak para elite yang terpilih dalam prosedur demokrasi-lah soal universe-maintenance ini merupakan salah satu tanggung jawabnya. Jadi ketika ada pejabat publik mengundurkan dari karena kasus ‘sepele’ (melanggar lampu lalu lintas, ‘keprucut’ ujaran yang melukai banyak orang, misalnya) harus dilihat juga itu bukanlah sok-sok-an, tetapi ia dengan sadar akan tanggung jawabnya dalam universe-maintenance itu. Maka di dalam kapitalisme dan demokrasi ini tidak hanya soal kebebasan saja, tetapi kebebasan yang hadir bersamaan dengan tanggung jawab.

Katakanlah kita memakai kata sungkan dalam arti yang dekat dengan simpati, atau yang sekarang kita kenal sebagai empati ini. Ketika kita sebagai pemimpin lempar-lempar bingkisan melalui jendela mobil yang terbuka dan mobil tetap jalan itu kepada rakyat, apakah kita tidak mampu lagi membayangkan jika ia dalam posisi sebagai rakyat yang kemudian berebut itu. Atau justru kita malah pecingas-pecingis cengèngèsan saat melempar bingkisan itu? Tanpa rasa sungkan sedikitpun? Dan banyaaak lagi contoh, dari selfa-selfi di daerah bencana, atau di sana ngibul di sini ngibul, sampai ketika ada perasaan gundah akan adanya potensi wabah malah justru main tebak-tebakan gambar. Atau lihat ketika ada yang ditanya soal 100 hari kepemimpinannya, ia justru menyuruh bertanya kepada para pembantunya. Padahal dia yang ikut kontestasi, bukan para pembantunya itu.

Mungkin ini karena kata sungkan juga bisa terkait dengan sikap hormat. Dan dalam komunitas dengan power distance tinggi kayak komunitas kita ini, membuat ‘rasa hormat’ entah karena sungkan atau apa, kemudian mudah ditelingkung. Dan kemudian bisa kita lihat, rasa sungkan dalam arti simpati kemudian semakin meredup. Se-mau-mau-nya. Dan berpestalah para bajingan itu. Tanpa sungkan-sungkan lagi. *** (31-10-2020)

Redupnya Kata Sungkan