www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-01-2020

Sekitar 92 tahun lalu, pemikir Perancis, Julian Benda, menerbitkan esai yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai: Pengkhianatan Kaum Intelektual. Dan relevansinya di tahun-tahun terakhir di republik rasa-rasanya semakin meningkat. Tetapi pada kesempatan ini kaum jurnalis-lah yang perlu dibahas terkait dengan pengkhianatannya. Juga, terlebih di tahun-tahun terakhir ini. Jurnalis adalah kata serapan dari bahasa asing, dalam hal ini dari Perancis, yang di tahun 1690 sudah berarti ‘one whose work is to write or edit public journal or newspaper’.

‘Pengkhianatan’ lebih menunjuk pada konteks dimana media massa sudah banyak diakui sebagai salah satu pilar demokrasi. Pengkhianatan adalah terhadap ke-pilar-annya dalam ranah demokrasi. Demokrasi yang akan langsung dapat dibedakan dengan sistem monarki atau tirani dalam hal check and balances-nya. Atau kalau dibaca terbalik, jika check and balances ini melemah maka monarki atau tirani akan menguat.

Tentu tidak semua jurnalis berkhianat, demikian juga kaum intelektual. Tetapi di ranah publik kita-pun dengan mudah melihat bagaimana pengkhianatan (sebagian) kaum intelektual itu nyata adanya. Cetho, tanpa sungkan-sungkan lagi. Sama dengan kaum jurnalisnya, terlebih lima-delapan tahun terakhir. Amerika memerdekakan diri lepas dari monarki Inggris, dan ingin membangun hidup bersama di luar sistem ke-monarki-an. Monarki bisa berdiri tegak salah satunya karena mereka punya code of conduct sendiri di kalangan para bangsawannya, demikian juga nampaknya ada code of conduct sendiri yang harus dijaga jika hidup bersama mengambil bentuk di luar monarki. Paling tidak ini nampak dari bagian surat Edward Rutledge ke John Jay, beberapa bulan setelah Amerika mendeklarasikan kemerdekaannya: “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must supress a little of popular spirit.”[1]

Karena pelaku demokrasi adalah manusia kongkret maka ia bagaimanapun juga tidak akan lepas dari gejolak hasratnya. Gejolak hasrat yang meski ia meniti jalan demokrasi untuk menggapai kekuasaan, ia bisa saja jatuh ke anti-demokrasi ketika melaksanakan kekuasaannya itu. Maka demokrasi-pun kemudian berkembang selain masalah prosedurnya, adalah juga soal check and balances itu. Soal hasrat vs hasrat. Hasrat yang menuju ke sebuah tirani dilawan dengan hasrat yang menolaknya. Maka dikenallah beberapa pilar dalam demokrasi, mulai dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sampai dengan masyarakat sipil dan media massa. Intinya adalah, kecintaan akan kekuasaan dari rejim yang sedang berkuasa dilawan oleh apa yang disebut Rutledge di atas, ketika patriotism is the ruling passion. Bagaimana jika 4 pilar itu kemudian direngkuh dalam genggaman rejim eksekutif? Itulah ketika demokrasi sangat mungkin telah dalam genggaman kaum rascals, kaum bajingan, kaum bangsat yang semakin jauh dari semangat, semakin jauh dari passion patriotism, jika meminjam terminologi Rutledge di atas.

Inilah peran penting kaum jurnalis sebagai penyangga utama media massa. Baik media massa cetak maupun digital. Atau juga kaum intelektual sebagai bagian masyarakat sipil. Dan juga dari sini pula kita bisa mulai prihatin ketika ‘relawan-relawan’ itu kemudian asyik-masyuk dengan kekuasaan dengan tanpa sungkan lagi. Semestinya setelah pemilu selesai ya bubar. Tulisan ini ditulis dengan mengikuti beberapa laporan jurnalistik dari kelompok Tempo akhir-akhir ini. Tentu kita punya hak misuh-misuh (mengumpat-umpat) terhadap Tempo untuk beberapa tahun terakhir ini. Tetapi kita juga bisa memberikan apresiasi terhadap yang akhir-akhir ini. Dan juga banyak media massa digital yang tetap kukuh dalam code of conduct kaum jurnalis. Salam hormat dan semoga berlanjut. Untuk beberapa lainnya, tetaplah kami punya hak untuk misuh-misuh: huuaaasyu ... *** (27-01-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com

/304-Surat-Edward-Rutledge-ke-John-Jay-24-Nov-1776/

Pengkhianatan Kaum Jurnalis