www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-01-2020

Kejadiannya adalah di-tahun kedua saya sekolah dokter, perempat-final Piala Dunia 1986. Argentina membuat Inggris tersungkur dalam kegundahan yang begitu dalam, karena salah satu gol Argentina dicetak oleh Maradona dengan bantuan tangannya. Apalagi berbau offside. Protes? Ya, tentu. Tetapi wasit tetap mengesahkan gol itu. Dan kompetisi-pun berlanjut, Argentina menjadi juara dunia dengan mengalahkan Jerman Barat di final. Gol ‘tangan Tuhan’ itu-pun tidak ada habis-habisnya dibahas. Bukan berarti dunia sepak bola berhenti, tidaklah, tetapi terus berlanjut dengan bermacam pengembangan terkait dengan pertandingan.

Demikian juga dengan keruntuhan seorang Hitler. Berapa buku atau film dokumenter telah dibuat? Sampai sekarang kita-pun bisa melihat misalnya serial Hunting Hitler yang pertama kali tayang tahun 2015 itu. Enam-puluh tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II. Atau juga sisa-sisa Tembok Berlin yang sengaja dipertahankan. Juga beberapa sisa-sisa kengerian bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Dan itu bukan berarti bangsa Jerman atau Jepang tidak move-on, atau apalah mau dikata. Itu adalah masalah yang tetap harus menjadi bagian dari horizon dalam hidup bersama.

Ketika ‘kegelapan’ menjadi bagian dari horizon, sebenarnya ia juga masuk dalam apa yang disebut oleh Van Peursen, room for progress. Ia seakan masuk dalam sebuah melodi, yang mana saat kita mendengar nada-2, nada-1 tidaklah menghilang sepenuhnya. Ia seakan tertahan. Nada-3 meski belum terdengar, tetapi seakan kita sudah mengantisipasinya. Itulah sebenarnya waktu yang sungguh kita alami. Meski kejadian sudah bertahun lalu dan kita tidak mengalaminya secara langsung, tetapi kita bisa juga menghayatinya dengan bantuan buku, film, cerita, atau saksi mata. Dan penghayatan akan kegetiran-kegetiran itu akan ikut juga memberikan kita kemungkinan untuk perlahan ‘memajukan’ horizon kita.

Apa yang membuat sebagian warga Australia jengkel pada PM-nya terkait dengan bencana kebakaran akhir-akhir ini salah satunya adalah miskinnya PM tersebut terkait dengan perubahan iklim dalam horizonnya. Yang kemudian muncul dan dihayati oleh banyak warganya adalah compang-campingnya antisipasi ketika bencana (kebakaran) betul-betul telah menjadi fakta faktual. Jadi memang tidak mudah meski hal itu penting, ia tidak mesti dengan serta merta masuk sebagai bagian dari horizon seseorang. Maka ‘dunia’ yang dihayatinyapun akan berbeda satu dengan yang lainnya.

Salah satu yang mungkin bisa menjelaskan pentingnya horizon sebagai room for progress adalah apa yang disebut dalam Yunani Kuno sebagai doxography. Doxography adalah cara penulisan di jaman Yunani Kuno dengan mengutip, atau menuliskan lagi beberapa pemikiran sebelumnya, kemudian bisa dikritisi atau untuk menguatkan opini sebelum pemikirannya sendiri di tulis. Hal yang tidak menjadi perhatian sebelumnya, cara penulisan ini secara tidak langsung ikut menyelamatkan pemikiran dari pemikir yang tulisan aslinya sudah tidak terlacak. Kegelapan, kegetiran ditulis ulang misalnya, atau masuk dalam horizon kita misalnya, akan dapat memperkaya kemungkinan-kemungkinan yang akan kita antisipasi. Dari semakin luasnya kemungkinan-kemungkinan itulah progress akan menjadi lebih dimungkinkan.

Ketika ‘sejarah’ mobil Timor seakan tenggelam dalam riuh rendahnya mobil Esemka bertahun lalu, kita bisa melihat bagaimana kita dipermainkan habis-habisan oleh isu itu. Kalau ada yang begitu marah atas tipu-tipu kampanye dan realisasinya, itu bukanlah yang tidak mau move-on atau apalah mau disebut. Tidak ada urusannya dengan itu. Serial Hunting Hitler, atau monumen holocaust atau bom atom Nagasaki dan Hiroshima, tidak ada hubungannya dengan move-on atau tidak. Tapi soal antisipasi masa depan yang akan dibangun bersama.

Tentu politik pastilah ada tipu-tipunya, dan makanya ia ada di area abu-abu. Tetapi ketika ia sudah bergeser pada area kegelapan, berarti tipu-tipu itu sudah melampaui batas. Kegelapan yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin mengantisipasi masa depan yang lebih baik. Pembunuhan massal akal sehat itu akan sama dahsyatnya dengan pembunuhan massal lainnya. Pada akhirnya.

Yang terjadi adalah satu bentuk subversif, terutama pada langgam keseharian. Sebagian besar hidup kita ada pada langgam keseharian. Bangun, mandi, makan, dan berangkat kerja, atau sekolah. Pulang, ngobrol-ngobrol, dan kemudian tidur. Jika ada kesempatan naik pangkat, atau berkembangnya usaha, itulah yang akan dituju. Dan seterusnya. Itulah sebagian besar hidup yang dialami. Memang itu kemudian rutinitas. Memang bisa-bisa akan tenggelam pada rutinitas. Rutinitas yang sebagian besar just do it. Atau taken for granted. Kebanyakan tidak berpikir lagi. Dan memang akan susah hidup ini untuk dijalani jika apa-apa harus dipikir dan dipikir ulang. Capek. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian Adam Smith mendeskripsikan bahwa bagi kebanyakan orang dalam hidup bersama itu, cukuplah moralitasnya ‘yang sekedar kepantasan’ saja. Tetapi di luar itu Adam Smith menunjuk adanya ‘sekte agung’ atau famous sect. Mungkinkah yang dimaksud Smith adalah yang berdiri sebagai seorang pemimpin? Pemimpin yang mempunyai keutamaan tertinggi? Yang terbaik dari yang terbaik?

Kemajuan bersama haruslah berangkat dari langgam keseharian ini. Yaitu ketika pada titik tertentu kita akan berhenti sejenak untuk hal-hal yang memang memerlukan kedalaman lebih. Kedalaman untuk membuka kemungkinan-kemungkinan lain. Untuk menilai kemungkinan-kemungkinan lain. Dan untuk itulah adanya sebuah pemilihan dalam alam demokrasi, untuk melihat, menilai, dan memutuskan diantara kemungkinan-kemungkinan. Di sinilah horizon akan sangat berperan. Sebagai waktu yang benar-benar dialami. Entah dialami sebagai pengalaman langsung, atau melalui buku, film, dokumentasi lain, kata orang, dan seterusnya. Dan tepat pada titik inilah sebenarnya ‘subversif’ terhadap keseharian ini bisa terjadi. Keseharian yang ditelikung menjadi sebuah fanatisme, misalnya. Yang itu jelas akan berkelindan erat dengan ke-tidak-berpikiran. Hal yang sebenarnya juga erat dengan keseharian. Atau keseharian yang dicabut sejenak dengan paparan survei. Dari sini kita bisa melihat betapa jahatnya para ‘ahli-ahli survei’ itu ketika kaidah-kaidah profesionalitasnya ditabrak secara ugal-ugalan. Mereka adalah bangsatnya bangsat. Lihat itu si-ahli-survei-pengemis-jabatan-yang-kemudian-buat-cerpen itu. Jika cerpennya dijual, rasanya ingin beli untuk kemudian diludahi. Diinjak dan kemudian masuk tempat sampah. Tempat yang sebenarnya paling layak bagi dirinya.

Subversi dari asal katanya memang mempunyai arti meretakkan, menghancurkan. Keseharian itu diretakkan sehingga kemampuan berhenti sejenaknya menjadi tidak produktif untuk peningkatan hidup bersama. Maka horizon-pun tidak mengalami ‘kemajuan’ yang signifikan. Sangat jauh dari yang sedang pegang ‘pakta dominasi’.

Bagi yang sedang pegang ‘pakta dominasi’, waktu yang dialami betul-betul dijaga kontinyuitasnya. Sedang yang ada di luarnya, dipaksa untuk hanya menghayati ‘waktu kalender’ saja. Termasuk pula kalender seksi, tahun 2024. Diskontinyu yang membuka lubang menganga dimana itu akan menjadi tempat bagi yang ada di pakta dominasi (para #bangsatbangsa) memaksimalkan pengerukan republik secara ugal-ugalan. *** (18-01-2020)

Maradona dan 'Tangan Tuhan'-nya