www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-01-2020

Sekitar 47 tahun lalu mulai dikenal apa yang kita sebut sebagai Sindrom Stockholm. Sindrom sebagai kumpulan dari gejala-gejala itu terutamanya menunjuk bagaimana justru korban bersimpati terhadap pelaku. Saat itu di tahun 1973 terjadi perampokan bank di Stockholm, Swedia. Empat orang disandera. Tetapi setelah penyanderaan berakhir justru korban malah bersimpati terhadap para perampok, dan menolak untuk bersaksi di pengadilan.

‘Sindrom Jakarta’ di sini lebih menunjuk pada soal elit yang berkuasa di Jakarta. Elit-elit yang sedikit banyak merasakan apa yang terjadi selama Orde Baru. Baik sebagai korban maupun yang tidak. Dan apa yang mereka kritik keras atau bahkan mengutuk apa yang terjadi saat Orde Baru itu, justru sekarang banyak dilakukan juga. Tentu dengan banyak ‘modifikasi’ di sana sini.

Jika kita memakai juga konteks geopolitik global, Orde Baru ada dalam konteks Perang Dingin. Perang Dingin yang mempunyai prolog kebrutalan kemanusiaan yang sungguh mengerikan. Dua Perang Dunia dan fakta sejarah pembantaian yang mengikutinya. Kengerian pembantaian dengan adanya Perang Dingin itu bukannya terus berhenti dan ikut menjadi ‘dingin’, tetapi nyatanya menerus di banyak bagian dunia lain. Baik itu di Amerika Latin, Afrika, Eropa, dan Asia. Termasuk juga di Indonesia. Kegilaan akan keserakahan pada sumber daya alam salah satu faktor pentingnya. Sumber daya alam yang penting bagi industri-industri massal mereka. Maka tidaklah mengherankan ketika abad 20 selain ada yang menunjuk sebagai abad nasionalisme, tetapi juga merebaknya atau naiknya bermacam otoritarianisme. Hal yang semakin mudah dengan berkembangnya modus komunikasi man-to-mass, dari surat kabar, radio, dan terutama adalah televisi.

Jika otoritarianisme ini mau dibahasakan dengan bahasa sederhana, mungkin yang paling mendekati adalah: semau-maunya gué. Trias-politika yang esensinya adalah hasrat vs hasrat itu ditelikung habis-habisan demi hasrat semau-maunya gué itu. Lepasnya gejolak hasrat dari check and balances.

Dari sejarah kita bisa belajar bagaimana laku semau-maunya gué itu bisa menjadi fakta faktual. Jika meminjam pembedaan kekuatan dari Alvin Toffler, maka ia akan melibatkan 3 kekuatan, pengetahuan, kekerasan, dan uang. Dan ia akan sadar juga bahwa dengan 3 kekuatan itu juga ia bisa tumbang. Dari ketiga bentuk kekuatan itu, di masing-masing masa akan menjadi berbeda ‘ramuan’-nya.

Ada masanya ketika si- semau-maunya gué itu perlu pernak-pernik pakaian yang gemerlap, jauh dan sangat jauh berbeda dari pakaiannya rakyat biasa. Karena ia adalah dewa, ia adalah ‘utusan dari langit’. Atau lihat bagaimana setting panggung dari seorang Hitler ketika tampil di depan publik. ‘Sihir’ yang masih bisa kita rasakan jejak-jejaknya. Bahkan kadang serasa begitu noraknya. Meski Toffler menunjuk kekuatan kekerasan menjadi lebih dominan di masa Revolusi Pertanian, ketergantungan besar pada alam yang kadang tidak menentu membuat ‘sihir’ semacam ini menjadi lebih mudah diterima.

Perang Dingin nuansanya adalah kekerasan. Tetapi itu adalah yang langsung nampak. Yang sering tidak nampak adalah bagaimanapun Perang Dingin itu ada juga dalam konteks Revolusi Industri, sebuah revolusi yang menjadi lebih menarik jika dilihat tidak lepas dari perkembangan kapitalisme global. Bahkan jauh sebelum prolog-nya Perang Dingin. Maka memang tidaklah berlebihan jika Toffler kemudian menunjuk bahwa kekuatan dominan dalam Revolusi Industri adalah uang. Artinya, kekuatan uang yang mampu mengotak-atik kekuatan kekerasan dan pengetahuan. Dan kita bisa melihat kemudian bagaimana apa yang sering dikenal sebagai ‘kutukan sumber daya’ atau resource curse itu-pun semakin merebak. Lengkap dengan sang operator (lokal) utamanya, yang salah satunya adalah si- semau-maunya gué itu.

Semau-maunya gué tidak mesti 100% jahat, dan karenanyalah mucul istilah benevolent dictatorship. Tetapi itu tidak lebih dari jumlah jari sebelah tangan. Ada banyak hal yang bisa menyebabkan yang semau-maunya gué itu dapat tegak berdiri. Dan jika kita meminjam salah satu esai Gayatri Spivak, itu mungkin bisa diringkas oleh pertanyaan yang diajukannya, can subaltern speak? Pada soal bicara-lah yang utama sehingga yang semau-maunya gué itu dapat tegak berdiri. Yang sering nampak adalah represi terhadap soal bicara itu. Tetapi yang sebenarnya laten adalah: monopoli bicara. Monopoli tafsir. Jaman dulu kala monopoli tafsir ini ‘sah’ karena dia ‘utusan dari langit’. Kemudian dalam perjalanannya, ia menjadi ‘sah’ karena pegang senjata, dalam bermacam bentuk. Bisa ‘hard power’, ataupun bisa juga ‘soft power’.

Karena kita bicara soal hidup bersama maka soal bicara inipun tidak akan lepas dengan soal mendengar. Bahkan pertunjukan monolog-pun ada yang mendengar juga. Bahkan banyak. Bisa tergelak sampai terharu. Dan persis di titik ini yang semau-maunya gué ini-pun bisa mengambil bentuk baru. Soal bicara, hanya dia yang layak didengar. Lainnya? Boleh bicara, tetapi tidak akan didengar. Bangsat! *** (17-01-2020)

'Sindrom Jakarta'