www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-01-2020

Bahkan binatang-pun bisa marah, apalagi manusia. Bermacam bentuknya ketika marah, atau ketika banyak orang marah. Ketika kerumunan itu melampiaskan kemarahan terhadap seorang pencopet, maka jika ada yang berpikiran dingin ia akan membawanya ke kantor polisi. Bukan terus dihajar bersama-sama. Maka sebenarnya, hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan itu juga salah satu bentuk penyaluran kemarahan. Tentu yang utama adalah soal keadilannya. Mengapa kita perlu memerhatikan soal ‘marah’ ini? Selain sering kita tidak bisa menghindar dari sebuah kemarahan, atau bahkan ada sisi positif sebagai salah satu mekanisme hidup, tetapi kemarahan tetaplah mesti ‘dikelola’ dengan baik. Sebab kadang kemarahan itu sendiri bisa mengakibatkan masalah baru juga.

Salah satu yang mesti diperhatikan di sini adalah pertanyaan, mengapa si A marah pada B. Atau mengapa banyak orang marah secara bersama-sama? Ada satu peristiwa yang terjadi terkait dengan bencana kebakaran besar di Australia baru-baru ini. Seseorang petugas kebakaran yang sedang duduk istirahat menolak ketika PM Australia mengajaknya berjabat tangan. Sebelumnya beberapa warga sekitar juga marah-marah kepada sang PM itu saat dia ‘blusukan’ ke daerah. Dengan penuh kemarahan. Apakah orang yang marah dan kemudian menolak jabat tangan sang PM itu mesti ditangkap? Atau yang misuh-misuh pada sang PM mesti ditangkap karena ‘menghina’ PM-nya? Yang sering dilupakan adalah, mengapa mereka marah? Pada alasan-alasan inilah salah satunya kita bisa membedakan mana ujaran kemarahan dan ujaran kebencian. Mereka tidak sedang membenci PM mereka, tetapi marah karena merasa kebijakan PM-nya terkait upaya pemadaman kebakaran di lokalnya itu jauh dari harapan mereka. Dan itu menyakitkan.

Kehadiran kemarahan dalam dua komunitas dengan power distance yang berbeda bisa juga akan berbeda dalam masing-masing penghayatannya. Komunitas dengan power distance tinggi bisa digambarkan sebagai hubungan antara pimpinan yang yang dipimpinnya diterima dengan ‘legowo’, terutama dari sisi yang dipimpin. Adanya perbedaan otoritas antara pimpinan dan yang dipimpinnya diterima sebagai bagian dari fakta kehidupan. Sedangkan dalam komunitas dengan power distance rendah, yang dipimpin tidak terus serta merta dengan begitu mudahnya menerima perbedaan otoritas itu. Australia sering dimasukkan dalam komunitas dengan power distance rendah. Dan mungkin karena itulah mereka tidak sungkan-sungkan menunjukkan kemarahan pada sang PM-nya terkait dengan pengelolaan bencana kebakaran seperti di atas.

Baik komunitas dengan power distance tinggi maupun rendah bisa sama-sama majunya. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Bagi kita yang sering dikategorikan sebagai komunitas dengan power distance tinggi, yang patut diperhatikan adalah ke-mbèlgèdès-annya. Artinya, ketika ada yang mengeksplotasi kondisi itu justru untuk sekedar tipu-sana-tipu-sini. Dalam komunitas dengan power distance rendah misalnya, seorang pimpinan datang ke daerah bencana hanya untuk selfa-selfi-demi-pencitraan, sekali dua kali mungkin akan dibiarkan. Tetapi ketika ‘resep’ itu selalu diulang dan diulang di bermacam bencana, mungkin yang ketiga kalinya sudah akan diusir oleh warga setempat. Apalagi jika janji untuk-ini dan untuk-itu terbukti banyak yang hanya sekedar janji belaka.

Dari kasus OTT anggota KPU WS terkait dengan suap-menyuap baru-baru ini, di media-media sosial menampakkan adanya ‘ledakan kemarahan’. Kemarahan-kemarahan yang bertumpuk-tumpuk selama proses pemilu dan pilpres 2019 seakan memperoleh momentumnya untuk meledak. Tidak ada yang salah dengan itu. Ujaran kemarahan bertebaran di mana-mana, dan itu juga tidak masalah. Kemarahan adalah salah satu ‘solusi’ dari rasa sakit. Rasa sakit dicurangi, di-pongah-i, di-‘budeg’-i, dan banyak lagi. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kemarahan-kemarahan itu dikelola. Asal-usul ujaran kemarahan itu jelas sebab-sebabnya. Mereka tidak hanya asal marah saja. *** (10-01-2020)

Ujaran Kemarahan

gallery/tiga pejabat