www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-01-2020

KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) adalah kerangka penjejangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.[1] Pengelompokan 9 jenjang kualifikasi KKNI terdiri atas: jenjang 1-3, dikelompokkan dalam jabatan operator; jenjang 4-6, dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis, dan jenjang 7-9, dikelompokkan dalam jabatan ahli.[2] KKNI ini sebagian besar akan ada di ruang antara keluarga dan negara. Atau kalau meminjam pembedaan dari Ferdinand Tonnies, ia banyak di ruang sosial gesellschaft.

Ruang antara keluarga dan negara oleh Hegel disebut sebagai masyarakat sipil. Pendapat lain ada yang membedakan antara masyarakat sipil, pasar, dan negara. Ketimpangan dalam konteks tulisan ini adalah soal ketimpangan dengan apa yang ada dalam dinamika di masyarakat sipil, pasar, dan negara.

Ketika seorang anak beranjak dewasa dan ‘wis njowo’ (Jw, sudah di-jawi, di luar) maka ia akan segera melangkahkan kaki di antara ruang keluarga dan negara dengan segala kemungkinannya. Dia akan berinteraksi dengan orang lain. Dia ngobrol, bercakap, diskusi, dan mungkin membangun suatu kerjasama. Persahabatan. Apapun itu. Juga mungkin ia akan bercakap soal lingkungannya, juga soal negaranya. Dan imajinasi tentang bagaimana sebaiknya negara dikelola-pun bisa semakin berkembang. Ada yang juga sebagian besar waktunya untuk mempersiapkan diri sehingga lebih mampu menggapai hidup layak. Bermacam upaya dan bermacam tujuan. Ruang di antara keluarga dan negara itu ada kebebasan.

Adanya KKNI atau yang lainnya semestinya tidak mengusik esensi adanya kebebasan di ruang antara keluarga dan negara itu. KKNI misalnya, ia ada sebagai salah satu ‘rute’ supaya hidup bersama bisa lebih produktif. Demikian juga dengan bertebarannya berbagai standarisasi dalam bermacam bentuknya. Atau misalnya jika kita bicara soal ranah pasar. Lihat bagaimana yang terjadi ketika Otoritas Jasa Keuangan itu diisi oleh orang-orang dengan kapasitas di bawah standar. Jiwasraya-gate itupun akhirnya terkuak kegelapannya. Tetapi standarisasi yang kebablasan bisa kontra-produktif, seperti standar harus ijin dulu kalau mau demo beberapa waktu lalu. Atau pasal-pasal karet yang terus dipelihara oleh negara untuk mengancam kebebasan yang ada di ruang antara keluarga dan negara itu.

Bicara ketimpangan antara masyarakat sipil-pasar-negara biasanya lebih bicara soal lemah atau melemahnya masyarakat sipil. Sebelumnya ada baiknya kita mengingat lagi apa yang pernah ditulis oleh Harold J. Laski di tahun 1935: “The profit-making motive demanded lower wages, inferior general conditions of industry, a diminution of the charges imposed upon capital by taxation, a consequent contraction of the social services. But democracy had led the masses to expect the reverse of all this.”[3] Jadi memang ada ketegangan antara masyarakat sipil-negara-pasar. Jika ‘dilema’ ini tidak dapat dikompromikan dengan baik Laski di tengah-tengah awal membesarnya kekuasaan Hitler kemudian menunjukkan bahwa fasisme bisa menjadi salah satu ‘solusi’. Di satu sisi sudah banyak ditunjukkan pula bahwa supaya demokrasi dapat berkembang dengan baik maka masyarakat sipil harus diperkuat. Semestinya jika mengikuti Thomas Hobbes, bermacam ketegangan yang kemudian di sana-sini muncul kesepakatan-kesepakatan itu, pada negaralah pengawasan bagaimana kesepakatan itu akan dijalankan.

Dari Pierre Bourdieu kita bisa mendapat sedikit gambaran ‘solusi’ lain dari dilema Laski di atas. Neoliberalisme yang mulai merebak di akhir dekade 1970-an oleh Bourdieu disebut esensinya adalah ‘a programme for destroying collective structures which may impade pure market logic’.[4] Ditambah lagi ‘kampanye’ terkait dengan ultra-minimal state. Dan juga segala yang ada dalam Konsensus Washington itu. Maka diantara ruang keluarga dan negara semakin ditampakkan dapat dibedakan antara masyarakat sipil dan pasar. Bahkan pasar kemudian menjadi begitu kuat dan malah kemudian ‘mendikte’ yang ada di masyarakat sipil itu. Maka jika mau masuk ke ranah pasar misalnya, perlulah beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Bermacam-macam, termasuk juga soal KKNI seperti sudah disinggung di awal tulisan. Dan tentu tidak semua buruk, apalagi pasar adalah juga tempat untuk mengejar kehidupan layak. Ada prasyarat-prasyarat ‘input’ yang harus diperkuat dalam pasar yang semakin kompetitif. Dan persis di-‘input’ inilah rasa-rasanya kita khawatir ketimpangan akan terus melebar.

Yang dimaksud ketimpangan di sini adalah soal ‘input’ atau rekrutmen aktor politik di ranah negara. Bayangkan untuk ngurus satu Kota cukup pamer masuk selokan berlumpur-lumpur dan kemudian menenteng es teh dalam plastik. Berbulan lalu omong A sekarang omong kebalikannya. Atau kalau memakai parameter KKNI, yang terhormat (calon) calon eksekutif itu sebenarnya hanyalah pada jenjang 1-3, kelompok operator. Operator untuk siapa? Jelas operatornya yang sedang dominan di pasar. Inilah ketimpangan tersebut. Akankah terus berlanjut? Bisa jadi, karena menurut Napoleon, ‘when small men attempt great enterprises, the always end by reducing them to the level of their mediocrity’. Maka jika masyarakat sipil kemudian bergejolak sebagai akibat ketimpangan itu beserta ‘efek samping’ lanjutannya, bisa diprediksi salah satu solusi yang dimungkinkan dan disebut oleh Laski akan menjadi potensial untuk mewujud, fasisme. Kekuatan propaganda dan kekerasanlah yang akan mengemuka. *** (08-01-2019)

 

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/KKNI

[2] Ibid

[3] Harold J. Laski, The State in Theory and Practice,  George Allen and Unwin Ltd, 1951, cet-5, hlm. 131

[4] https://mondediplo.com/1998/12

/08bourdieu

Ketimpangan Yang (Akan) Terus Melebar?