www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-12-2019

Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto pada Sjafrie. Itu adalah ‘perintah’ dari Pak Harto kepada Sjafrie Sjamsoedin pengawal Pak Harto saat berkunjung ke Bosnia di tahun 1995. Sepulang dari Istana Kepresidenan Bosnia, Sjafrie bertanya kepada Pak Harto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang situasinya masih berbahaya. Jawab Pak Harto: “Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah , kita tidak bisa membantu dengan uang  ya kita datang saja. Kita tengok.”[1] Sjafrie bertanya lagi: “Tapi resikonya sangat besar, Pak.” Dan dijawab Pak Harto: “Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat.”

Dari pembicaraan antara Pak Harto dan Sjafrie Sjamsoedin di atas ada yang bisa kita pelajari, yaitu jawaban Pak Harto, ‘ya itu bisa kita kendalikan’. Seorang pemimpin memang semestinya paham betul terkait dengan ‘apa yang tergantung pada kita’ dan ‘yang tidak tergantung’. Tsunami yang meluluh-lantakan kehidupan terutama di pantai, datangnya bisa dikatakan tidak tergantung pada kita. Tetapi memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi terdampak adalah tergantung dari kita. Termasuk juga mengembangkan, memasang, dan merawat alat deteksi dininya. Juga rencana evakuasi termasuk latihan-latihannya. Itu yang tergantung pada kita. Ada dalam kendali kita.

Sebagai pemimpin Negara Non Blok saat itu, dan yang tidak punya uang, keputusan untuk datang ke Bosnia adalah tergantung Pak Harto. Tidak bisa didikte oleh siapapun. Soal resiko dengan berbagai macam bentuknya dalam situasi berbahaya di Bosnia saat itu, hal itu tidak tergantung dari Pak Harto dan Sjafrie. Yang tergantung pada Pak Harto atau Sjafrie saat itu adalah misal, keputusan Sjafrie untuk memakai kopiah seperti Pak Harto untuk membingungkan sniper misalnya. Dan upaya-upaya pengamanan lainnya.

Arnold J. Toynbee dalam A Study of History menekankan peran ‘minoritas kreatif’ dalam berkembangnya peradaban. Dan itu dikaitkan dengan bagaimana respon dalam menghadapi tantangan. Di balik ini sebenarnya bisa kita lihat juga dalam kacamata ‘apa yang tergantung pada kita’ dan ‘yang tidak’. Apapun itu bentuk tantangan yang ada di depan kita, kehadirannya sering tidak tergantung lagi dengan mau-maunya kita. Seringnya kita tidak bisa memilih bentuk tantangan seperti apa yang mestinya kita hadapi. Maka Toynbee menekankan hal respon, atau bisa dikatakan hal ‘yang tergantung pada kita’.

Meski kita sebenarnya tidak bisa memilih tantangan yang ada, tetapi kadang kita bisa saja urik, ‘curang’ dalam hal ini. “Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat,” demikian diungkap oleh Richard Robinson dalam kuliah umumnya di Universitas Melbourne, Selasa 5 Juli 2016.[2] Urik-nya adalah ketika lebih memilih menghindar dari tantangan ‘di panggung internasional’ dan menyibukkan dengan masalah radikal-radikul, misalnya. Maka respon-pun akan menjadi berbeda. Respon kelas medioker.

Dan akhirnya yang nampak telanjang adalah jumpalitan dan jungkir-baliknya bermacam boneka. Boneka-boneka yang sungguh sangat tergantung dari dalangnya. Tanpa martabat secuil-pun. Nol besar! *** (27-12-2019)

 

[1] https://www.merdeka.com/

peristiwa/kisah-soeharto-tembus-medan-perang-sarajevo-untuk-bantu-bosnia.html

[2] http://internasional.kompas.com/

read/2016/07/08/13300091/

profesor.australia.indonesia.

tak.punya.kapasitas.untuk.jadi.

kekuatan.baru.di.dunia

Pak Harto Di Bosnia