www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-12-2019

Hiduplah Sebagai Sahabat Bagi Semua Orang” adalah tema natal yang diangkat oleh KWI tahun 2019 ini. Demikian juga yang diungkap dalam khotbah Romo di gereja-geraja, termasuk misa natal tadi malam di Geraja St. Paulus Sendangguwo Semarang. Dan yang juga sebelumnya ditegaskan Mgr. Ignatius Suharyo: “Pada tahun ini PGI bersama KWI merumuskan pesan Natal dengan judul ‘Hiduplah Sebagai Sahabat bagi Semua Orang’. Semboyan ini diangkat untuk mengajak umat Kristiani di Indonesia khususnya untuk membuat Natal itu bermakna kontekstual.” Selanjutnya oleh detik.com dikatakan bahwa ‘Suharyo menilai kehidupan masyarakat beragama saat ini sedikit terganggu, karena munculnya beberapa hal. Dia menyebut seperti ujaran kebencian, politik identitas, dan intoleransi’.[1]

Dari beberapa hal di atas sebenarnya kita dapat melihat ada hal krusial terkait dengan persahabatan itu sendiri. Dan itu ternyata adalah hadirnya ‘pihak ketiga’ dalam persahabatan. ‘Pihak ketiga’ yang merupakan suatu yang dipedulikan secara mendalam oleh orang-orang yang bersahabat itu. Ternyata persahabatan tidak hanya berhenti dengan hanya membuka diri kepada sahabat yang mana itu tidak akan pernah dibukanya pada orang lain, misalnya. Atau merasa ikut terluka ketika sahabat kita itu sedang sedih. Tetapi, seperti sudah disebut, ia memerlukan hadirnya ‘pihak ketiga’ yang menjadi kepedulian bersama secara mendalam. Seperti yang sudah pernah disinggung oleh Platon dalam Lysis.

Paulo Freire lebih dari 2000 tahun setelah Lysis, seakan meluaskan faktor ‘pihak ketiga’ terkait dengan persahabatan itu. Freire dengan jeli meraba kemungkinan ‘persahabatan’ itu justru dapat berkembang menjadi ‘gerombolan fanatik’.[2] Yaitu ketika orang dalam tahap kesadaran transitif-naif yang tidak kemudian berkembang ke transitif-kritis. Dan dimanipulasi oleh elit-elit politik yang sungguh mbèlgèdès. Apa yang tersirat di balik analisis Freire ini adalah pentingnya berpikir (kritis). Dan Platon yang menunjuk ‘pihak ketiga’ sebagai Kebaikan itupun tidak lepas dari apa itu ke-hikmat-an. Kehikmatan dan kebijakan yang akan terus menggali dan mendekat pada Kebaikan.

Mungkin benar juga jika ujaran kebencian, politik identitas dan intoleransi dirasakan sebagai yang mengganggu hidup bersama. Siapa yang tidak akan terganggu oleh ketiga hal tersebut? Tetapi bagaimana dengan keadilan? Atau ke-tidak-adilan? Apakah kehikmatan dan kebijakan kita tiba-tiba saja menjadi kabur dan rabun untuk merasakan merebaknya ketidak-adilan itu? Dan segala upaya-upaya mbèlgèdès untuk menutup-nutupinya? *** (25-12-2019)

 

[1] https://news.detik.com/berita/d-4834411/uskup-agung-jakarta-ungkap-alasan-tema-natal-sahabat-bagi-semua-orang

[2] https://www.pergerakankebangsaan.

com/154-Manipulasi-Di-Tiga-Lapangan-2/

Sahabat Bagi Semua Orang