www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-12-2019

Ada hantu sedang gentayangan di Eropa, hantu komunisme, demikian awal Manifesto Komunisme seratusan tahun lalu. Dengan runtuhnya Tembok Berlin di tahun 1991 setelah 30 tahun berdiri, hantu itu semakin tahu diri. Dan semakin menyusut dengan merangkaknya kemakmuran di Eropa sono. ‘Kutukan’ akan eksploitasi manusia oleh manusia itu ternyata dijawab dengan kemakmuran bersama, dan bukannya dengan hantu komunisme. Tentu ini tidak sekali jadi dan sebaiknya jangan diasumsikan akan bertahan selamanya dengan sendirinya. Satu-satunya cara untuk memastikannya adalah, jangan lengah dalam bermacam aspeknya. ‘Kutukan’ yang ngendon dalam hasrat itu tidak akan pernah pergi selama manusia hidup.

Tetapi ada satu ‘kutukan’ yang sejak dulu sampai sekarang terus menerus mengundang bermacam ‘hantu’ dalam hidup bersama di planet ini. Dan itu adalah ‘kutukan sumber daya (alam)’. Apalagi jumlah populasi dunia sekarang ini sudah lebih dari 7 milyar. Dan ternyata, baik kapitalisme dan komunisme tidak berhasil ‘menghantui’ berkembangnya ‘kutukan’ jenis ini. Dalam praktek, justru sama-sama serakahnya. Kutukan sumber daya adalah ketika mempunyai sumber daya alam melimpah, justru kesengsaraan yang merebak. Justru yang lebih menikmati melimpahnya sumber daya itu adalah orang lain.

Human are tribal,” demikian Amy Chua mengawali Introduction dalam bukunya Political Tribes, Group Instinct and the Fate of Nations (2019). Bandingkan dengan pendapat Adam Smith terkait dengan kinerja simpati. Menurut Smith, “kita mendapat simpati lebih kecil dari seorang kenalan biasa daripada dari seorang sahabat, dan kita menerima simpati jauh lebih kecil lagi dari orang-orang yang tidak kita kenal.”[1] Mungkin ini bisa kita raba sebagai bagian dari ‘ke-tribal-an’ manusia juga, soal empati, atau simpati dalam bahasa Adam Smith dulu. Tetapi soal kinerja simpati ini, Adam Smith juga menunjukkan adanya paradoks. Dikatakan oleh Smith, ‘selalu dari orang yang tidak kita kenal, dari mana kita hanya berharap sedikit simpati, kita lebih mungkin belajar penguasaan-diri yang paling baik.’[2] Maka bagi yang saling tidak kenal itu dan dalam konteks perdagangan maka mereka akan saling bicara dengan satu bahasa: harga (price).[3]

Bagaimana jika yang pertama-tama ‘diperdagangkan’ itu adalah simpati itu sendiri? Ketika bermacam sumber daya ada di depan mata, justru para elitnya ‘memperdagangkan’ simpati yang ada dalam dinamika komunitasnya. Dengan harga tertentu. Itulah ‘antek-isme’, dimana elit tersebut akan berperan sebagai ‘pemadam kebakaran’ ketika simpati dalam komunitasnya bergejolak. Demi keuntungan dahsyat yang diperoleh para elit itu terkait ‘harga’ yang sudah disepakatinya dengan ‘orang yang tidak dikenal’ oleh komunitasnya. Dan itu dimungkinkan ketika ‘penguasaan-diri’ ditinggalkan dan bertekuk lutut terhadap kegilaan hasrat. Tidak hanya kegilaan, tetapi sudah menjadi kejahatan hasrat. Itulah juga mengapa Noam Chomsky memandang penting untuk menghambat faktor ‘mengetahui bahwa orang lain mempunyai sentimen sama’[4] sehingga keadaan tidak berubah. Sehingga keadaan dimana elit yang ‘melepas diri’ dari dinamika simpati komunitasnya tetap berjalan terus tanpa diusik. Dan itu barulah satu dari sekian ‘taktik-strategi’ pengerukan sumber daya secara tidak adil. Meninggalkan kesengsaraan dan kemelaratan komunitas terdekat dari sumber daya alam itu.

Albert Camus dengan masih dalam nuansa kekejaman Nazi membedakan dua kejahatan, yaitu kejahatan hasrat dan kejahatan logika. “There are crimes of passion and crimes of logic,” demikian Camus membuka Introduction-nya dalam The Rebel.[5] Kita bisa membandingkan dua kejahatan ini dengan dua pendapat tentang esensi manusia. Yang satu menurut Spinoza yang berpendapat bahwa ‘desire is versy essence of man’ dan pendapat Alaisdair McIntyre, ‘man is essentially a story telling animal’. Kejahatan hasrat lebih mudah kita bayangkan. Untuk kejahatan logika, Camus memberikan ilustrasinya, “tetapi apabila manusia kehilangan wataknya dan mulai berlindung di balik doktrin-doktrin, kejahatan pun mulai mencari alasan-alasan pembenarannya, dan semakin berlipat ganda seperti alasan pembenarannya, dengan segala aspek silogismenya.[6]

Maka penguasaan bermacam sumber daya-pun bisa juga melalui rute kejahatan logika ini. Yang ujung akhirnya adalah kejahatan hasrat yang sungguh bisa sangat telanjang. Kebrutalannya juga. Ketelanjangan yang dibungkus oleh bermacam pembenaran. Siberia dengan Gulag-nya dan holocaust adalah dua contoh kelam di abad 20. Atau di abad-abad sebelumnya, bermacam armada yang dibungkus oleh God, Glory, dan Gold itu. Abad 21? Yang sedang memprihatinkan kita semua adalah semakin terkuaknya apa yang sedang terjadi di Uighur. Daerah yang selain kaya akan sumber daya alam, ia masuk juga sebagai Heartland dalam kacamata Halford MacKinder (1919). Maka sangatlah benar apa yang ditulis di sebuah gambar yang banyak beredar di media sosial, you don’t need to be a muslim to feel the pains of Uyghur. Just be human being. *** (23-12-2019)

 

[1] B. Herry-Priyono, Adam Smith dan Munculnya Ekonomi, Jurnal Diskursus Vol 6 No. 1, April 2007,  hlm. 11.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] https://www.pergerakankebangsaan.

com/041-Belajar-Dari-Noam-Chomsky/

[5] https://www.pergerakankebangsaan.

com/326-Kejahatan-Hasrat-dan-Kejahatan-Logika-1/

[6] Albert Camus, Krisis Kebebasan, YOI, 1990, hlm. 33

'Kutukan' Yang Terus Gentayangan