www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-12-2019

Norma Jeane Mortenson atau yang lebih dikenal sebagai Marilyn Monroe lahir tahun 1926 dan meninggal di usia 36 tahun. Dia adalah bintang sexy Hollywood yang menggetarkan di jamannya. Pada awal karier melesatnya, tiba-tiba saja beredar foto seronoknya di ranah publik. Foto sebelum ia terkenal. Orang-orang sekitar menyarankan untuk membantah keaslian foto tersebut, demi karier yang sedang menanjak. Tetapi Monroe menolak saran tersebut. Ia memilih mengakui adanya foto tesebut, dan dikatakannya itu terjadi ketika ia masih muda, masih lugu, dan seterusnya. Monroe juga minta maaf atas ada dan beredarnya foto tersebut. Ternyata tanggapan publik justru mengejutkan. Publik justru memberikan simpatinya pada Marilyn Monroe, dan memaafkan.

Sepuluh tahun setelah Marilyn Monroe lahir, Gary Hart lahir di Ottawa, Kansas. Gary Hart adalah politisi yang cerdas dan di tahun 1988 ia merupakan calon kuat dari Partai Demokrat di AS sono. Tetapi ia akhirnya mengundurkan diri dari pencalonan karena tersebar isu bahwa ia dekat dengan wanita lain. Tidak ada foto yang senonoh sebenarnya, atau testimoni, tetapi isu dan investigasi reporter membuat dia akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari pencalonan. Agak aneh juga jika kita melihat film-film Hollywood yang nampak begitu bebas itu, ternyata pemimpinnya dituntut untuk hadir ‘tanpa cela’. Mungkin di Perancis hal seperti itu tidak akan membuat sang calon mengundurkan diri. Tetapi di AS sono bisa berujung pada upaya pemakzulan, contoh Bill Clinton. Meski akhirnya gagal dimakzulkan. Lain ladang, lain belalang.

Dua hal di atas sedikit memberikan gambaran tentang apa itu ranah. Ranah sepakbola tentu akan berbeda dengan ranah bola basket. Masing-masing mempunyai logika-aturannya sendiri dan masing-masing yang terlibat di dalamnya akan menyesuaikan diri terkait dengan perannya. Juga termasuk bagaimana penonton menghayati pertandingan. Atau di rumah sakit, bagaimana peran dokter, perawat, petugas administrasi, petugas kebersihan, manajer dan lain-lain mempunyai peran yang berbeda-beda. Atau juga ranah yang sama tetapi dihayati secara berbeda di satu komunitas dengan komunitas lain. Termasuk juga misalnya, penghayatan akan peran di ranah publik dan ranah privat. Atau misalnya ada yang membedakan antara ranah negara, masyarakat sipil, dan pasar.

Platon tidak sekedar membedakan bermacam ranah ketika ia membayangkan tripartit jiwanya dalam hidup polis. Ia menambahkan nuansa keadilan. Yaitu ketika masing-masing ranah, ‘filsuf raja’, serdadu, dan pedagang/petani itu melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik, maka di situ akan ditemukan keadilan. Tentu banyak pendekatan tentang keadilan yang berkembang selama 2000 tahun lebih setelah Platon, tetapi apa yang diungkap Platon itu sebenarnya bisa kita pakai untuk ‘deteksi dini’ potensi ketidak-adilan. Yaitu ketika ‘lompat pagar’ menjadi suatu ‘kebiasaan’. Terlebih di ranah negara. Atau ketika pasar terlalu dalam melompat ke negara. Atau masyarakat sipil, relawan-relawan itu misalnya, terlalu asyik kemudian melompat ke ranah negara. Atau negara yang punya hobi mengusik masyarakat sipil. Dan banyak kemungkinan lagi.

Pejabat publik di ranah publik semestinya dilihat atau dinilai dari kebijakan-kebijakan publiknya, pertama-tama. Tetapi kadang-kadang bahwa kualitas diri akan dipersepsi juga akan mempengaruhi kualitas kebijakannya dan itu menjadikan sering kehidupan privatnya juga disorot oleh khalayak. Satu hal yang sebenarnya wajar saja karena selain begitu banyak harapan di pundak, sebagai pejabat publik ia mempunyai juga berbagai privilege yang tidak dipunyai kebanyakan orang. Semakin tinggi pohon semakin kencang angin bertiup. Maka memang semestinya yang terbaik dari yang terbaiklah akan duduk di puncak pohon itu dan mampu menahan angin sekencang apapun. Angin yang tidak hanya berasal dari khalayak atau lawan-lawan politiknya, tetapi terlebih angin yang berasal dari segala hasrat.

Masalahnya adalah jika kehidupan privatnya justru dieksploitasi sebagai tirai asap dari bermacam kebijakan publiknya yang sebenarnya banyak mbèlgèdèsnya. Tentu politik tidak akan lepas dari kerjaan PR (public relations), tetapi jelas bukan hanya itu saja. Putin boleh saja naik kuda dengan betelanjang dada pamer bentuk tubuh macho-nya, atau main judo tanpa stuntman. Atau Justin Trudeau bertinju, yang sebenarnya ia juga seorang petinju sebelumnya. Atau SBY dengan gitar dan lagunya. Atau Thatcher dengan dandanan rambut khas-nya. Sah-sah saja, asal tahu batas. Dan batas itu adalah ketika itu sudah seakan berfungsi sebagai tirai asap yang menyembunyikan kebijakan publiknya yang mbèlgèdès itu. Tirai asap bagi ketidak-mampuan dalam mengelola masalah publik melalui kebijakan-kebijakannya. Itulah kemudian dari sudut tertentu, pembodohan publik sedang berlangsung. Aksi-aksi pribadi yang sebenarnya cuman aksi doang, di-ulang-ulang sampai dengan level yang mendekati menjijikkan. Termasuk juga ditiru beberapa bawahannya. Contoh, gubernur yang suka nonton film porno itu. Rakyat diminta menghayati bahwa ia pemimpin yang mak-nyus karena berani jujur di depan publik seperti itu. Nggak-lah. Khalayak tahu membedakan tempat dimana si-Marilyn Monroe berdiri dan mana pejabat publik (yang suka sok-sok-an itu) berdiri. Orang Jawa bilang, empan-papan. *** (22-12-2019)

Norma Jeane Mortenson