www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-12-2019

Mengapa bicara soal nation building mesti dikaitkan dengan pemimpin? Tidak mesti memang, tetapi faktanya adalah di luar pemimpin itu, katakanlah ‘rakyat biasa’ ia akan disibukkan dengan kegiatan rutin sehari-hari. Terutama terkait dengan survive-nya. Sebagian besar hidupnya adalah untuk diri sendiri dan keluarganya lebih dahulu. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Bukan berarti dia tidak pernah memikirkan soal hidup bersama. Paling tidak setiap lima tahun sekali ia akan memilih seorang pemimpin. Pemimpin yang akan mengurus soal hidup bersama itu. Dan juga memilih yang yang mengawasinya. Jika pemimpin yang dipilihnya memang sungguh mak-nyus, dan demikian juga ‘pengawas’ yang dipilihnya, maka ia bisa betul-betul fokus pada kegiatannya sehari-hari. Sebagai apapun. Tetapi jika pemimpin dan pengawasnya malah lèda-lèdè, se-mau-maunya, maka tentu ia akan ‘terpaksa’ mengurangi fokus sehari-harinya untuk meluangkan waktu terkait dengan hidup bersama itu.

Jika politik tidak mau ‘diterkam’ oleh kekuatan ekonomi maka iapun harus mampu ‘menandingi’ logika yang berkembang di ranah ekonomi itu. Contoh misal, ketika pengeluaran di bidang ekonomi lebih ditentukan oleh pemasukan di masa depan maka keputusan atau sikap politik-pun harus mampu diambil berdasarkan ‘gambaran masa depan’ yang dijanjikan oleh (calon) pemimpin. Ketika ini kemudian dipermainkan dengan tipu-tipu maka jelas dari sisi ini saja politik akan selalu ‘diterkam’ oleh kekuatan ekonomi. Nation building itu adalah juga buah dari keputusan, sikap politik dan perilaku yang mengikutinya. Coba lihat dari sejarah, nation buildings apa yang dipetik dari keputusan politik Lenin dan Stalin. Juga Mao. Atau juga Hitler. Kim Il Sung dan penerusnya.

Nation building sebenarnya bisa juga kita hayati sebagai ‘merawat jiwa’. Jiwa yang kalau kita memakai analogi jiwanya Platon, dan juga menggunakan alegori kereta perangnya, jiwa yang semestinya mengarah ke atas. Mendekati ‘kebaikan para dewa-dewa’. Jiwa yang mempunyai rasio, kebanggaan, dan hasrat-hasratnya itu. Yang ketika hasrat dikandangi secara ketat dan membabi buta, atau sebaliknya, dilepas sebebas-bebasnya, sejarah mencatat noda kelamnya. Atau ketika kegilaan propaganda ala Hitler yang sungguh mengerikan. Atau juga ketika pemimpin lebih memilih sebagai jongos belaka. Tanpa sedikitpun berusaha belajar apa itu martabat.

Mania dalam rasio, kebanggaan, dan hasrat akan meretakkan jiwa bersama. Tetapi dari ketiga hal tersebut, yang mudah jatuh dalam bentuk mania adalah hasrat, yang digambarkan Platon dalam alegori kereta perangnya sebagai kuda hitam. Menurut Platon, si-kuda hitam memang mempunyai kecenderungan untuk selalu ke bawah. Hasrat-hasrat perut ke bawah itu, dan terutama hasrat akan uang, bagai kuda hitam binal-liar yang sulit dikendalikan. Tetapi di satu sisi ia mempunyai energi dengan daya ledak tinggi. Dalam alegori kereta perangnya Platon nampak sekali bagaimana sais masih memerlukan si-kuda putih, hal kebanggaan yang bersumber di dada itu, ikut membantu ‘menjinakkan’ si-kuda hitam. Dikatakan oleh Platon, si-kuda putih lebih cenderung ‘manut’ atau dikendalikan oleh sais (rasio).

Alvin Toffler membedakan tiga bentuk kekuatan, pengetahuan, kekerasan, dan uang. Tidak jauh-jauh amat dari tripartit-nya jiwa Platon, rasio, kebanggaan, dan hasrat, terutama hasrat akan uang. Kebanggaan jika mau digambarkan lebih konkret dalam polis, ia ada di serdadu, dan memang akan lekat dengan kekerasan. Analisis Toffler akan lebih berdaya guna jika kita hayati ala alegori kereta perang-nya Platon. Sebagai satu-kesatuan jiwa yang dinamis. Tetapi dari Toffler kita diyakinkan bahwa era abad 21 ini, pengetahuan-lah yang semestinya memimpin. Masalahnya adalah, pengetahuan seperti apa yang dalam hidup bersama tidak terus loyo ketika ia berhadapan dengan si-kuda hitam?

Jika kita kembali ke Platon, pertanyaan di atas mungkin bisa kita raba jawabannya. Ia (pengetahuan) harus berkolaborasi dengan si-kuda putih. Dan tentu juga harus menjaga sayap-sayap yang ada di kanan-kiri kereta perang untuk selalu mengepak membantu. Sayap-sayap yang ada di kanan-kiri itu menggambarkan eros, katakanlah energi hidup. Atau untuk menghindarkan salah tafsir, elan vital. Energi hidup yang selalu berusaha ikut mendorong kereta menuju ke atas ke arah ‘kebaikan para dewa-dewa’.

Mungkin Adam Smith paham akan energi yang terkandung dalam hasrat, terutama terkait dengan uang sebagai sarana utama bertahan hidup. Bagi Adam Smith, kesejahteraan hidup bersama adalah ‘konsekuensi yang sebenarnya tidak dituju’ ketika masing-masing diberi kebebasan untuk mengejar kepentingan dirinya. Lalu bagaimana itu kemudian tidak menjadi chaos, dan menjadi brutal? Simpati atau dalam pengertian sekarang empati, itulah hal mendasar yang membuat adanya ‘tertib tatanan’ meski setiap orang mengejar kepentingan dirinya. Kuda hitam itu dilepas dengan tetap ada keutamaan, meski ‘sekedar kepantasan’ saja.

Kalau kita lihat beberapa ‘negara kapitalis’ dan dengan sistem demokrasinya, nampak ada bermacam upaya keras untuk memagari ‘sang penguasa’. Dimulai dari sisi check dan re-check-nya, sampai dengan soal rekrutmen calon-calon pemimpinnya. Negara modern lahir dari bayang-bayang dilepasnya hasrat (baca: kepentingan diri) di tempat yang lebih terhormat. Sekaligus juga menggerogoti sistem kerajaan dan para bangsawannya. Tetapi pada saat yang sama juga muncul pertanyaan soal tertib tatanan. Meski sistem check dan re-check, sistem check and balances terus berkembang, tetapi bayang-bayang hadirnya seorang pemimpin yang sungguh mak-nyus nampaknya tidak pernah hilang. Terbaik dari yang terbaik. Mungkinkah Adam Smith yang dalam Moral Sentiments (edisi terakhir) menyinggung soal famous sect terkait dengan hal ini? Sosok ‘sekte agung’ yang dengan keutamaan tinggi, tidak hanya ‘sekedar kepantasan’ saja. Semacam axis mundi ketika hasrat diberi kesempatan untuk jumpalitan dengan segala energinya?

Dengan beberapa hal di atas kita melihat Anies Baswedan yang baru saja ‘ulang tahun’ ke duanya. Kukuhnya Anies dalam paradigma kata-narasi-kerja mengindikasikan bagaimana pengetahuan dipakai sebagai ujung tombak. Kata dan narasi tidak hanya soal menjabarkan apa yang dipikirkan, tetapi juga membuka diri terhadap check dan re-check oleh banyak orang. Dari unggahan beberapa gambar dan video terkait dengan upaya penanganan banjir oleh jajajaran DKI, nampak beberapa tindakan yang bisa dikatakan itu sebagai hal detail. The evil always comes from details, demikian Hanning Mankell pernah menulis. Di balik upaya serius dan detail soal penanganan banjir ini ada yang mungkin tidak nampak, yaitu keinginan untuk menorehkan prestasi. Nasionalisme bagi Sartono Kartodirdjo harus mulai berkembang pada penghayatan akan prestasi. Bukan chauvinisme buta, tetapi mengejar prestasi.

Juga soal kesempatan Christmas Carol di Jl. Sudirman. Atau juga bagaimana salah satu tokoh Hindu mengapresiasi perhatian dari gubernur. Juga bagaimana misal kegiatan lanjutan dari Aksi 212. Dan tak lupa soal takbir keliling beberapa waktu lalu. Dan masih banyak lagi. Belum lagi beberapa perbaikan dan pembangunan yang gambarnya banyak diunggah di media sosial. Dan itu semua, langsung atau tidak langsung, akan mempengaruhi hidup bersama di Jakarta. Bagaimana dengan Indonesia bersama presidennya itu? Ini sudah menginjak tahun ke-enamnya lho ... *** (20-12-2019)

Anies dan Nation Building