www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-12-2019

Setiap masuk bulan Desember dan mendengar (lagi) lagu Silent Night rasanya .... sulit digambarkan. Bermacam hal bercampur aduk di luar dari lagu itu sendiri yang memang indah. Saya lahir di kota kecil antara Magelang dan Jogjakarta, Muntilan. Dan menjadi Katolik sejak kecil. Tempat tinggal masa kecil hanya seratusan meter dari gereja, dan itu membuat menjadi lebih mudah untuk menjadi ‘putra altar’ –yang membantu romo di misa, bahkan di banyak misa pagi harian. Seberang jalan tempat tinggal kami waktu kecil adalah desa atau perumahan Kauman. Saat Lebaran dulu waktu kecil, rasanya juga ikut senang. Mengapa? Karena banyak jajanan yang ada atau dijual saat puasa. Sehingga jika waktu sebelum buka puasa, kadang kami ikut menikmati dengan membelinya. Juga setiap Lebaran sekeluarga ke Simbah di Kalasan, nginep, dan silaturahmi dengan saudara-saudara lainnya di sana.

Lepas dari SMP kemudian melanjut ke Jogjakarta. Kebetulan ada rumah di Jogja sehingga tidak perlu keluar biaya kost. Yang kebetulan juga cuma sekitar 300 meteran dari gereja. Meski sudah mulai bolong-bolong ikut misa Minggu, tetapi jika pas ikut misa, lancar-lancar saja perjalanan ke gereja. Jalan kaki sudah cukup. Empat tahun di Jogja dengan sempat juga kuliah 1 tahun di UGM, kemudian masuk sekolah dokter di Semarang, UNDIP –masuk 1985. Setelah disumpah menjadi dokter kemudian sekitar tiga setengah tahun wajib kerja di Sragen. Dan kemudian kembali ke Semarang, menetap sampai sekarang. Di Semarang tempat tinggal juga tidak jauh-jauh amat dari gereja. Sekitar 3 kilometeran. Meski bolong-bolongnya ikut misa mingguannya semakin bolong, tetapi ketika mengikuti misa, baik pergi maupun pulang lancar-lancar saja.

Paling tidak di 4 tempat tinggal yang cukup lama ada di tempat tersebut, saya tidak pernah sekalipun dihalang-halangi oleh siapa saja saat menuju tempat ibadah, gereja. Atau juga saat pulang. Bahkan juga ketika merayakan Paskah maupun Natal. Baik-baik saja. Lancar-lancar saja. Khidmat dan penuh syukur. Maka rasanya menjadi aneh ketika ada yang merasa begitu ‘darurat’-nya ketika seorang pemimpin meminta supaya polisi menindak yang menghalangi ibadah Natal 2019 ini. Sing arep alang-alangi iki soopoooo. Soo ... poooo ... cuk?! Nèk omong mbok dipikir dhisik. Clap-clup ora entèk-entèk. Mikiiiir! Utek lan ati kuwi ora mung nggo pajangan thok. Nggo mikir, cuk! Perasaan, cuk! Macem-macem aé. Né muni berpikir positip. Positip cuk, berpikir positip. Caaangkem ..... wis kojur tenan iki ndès ...  Pecas ndahé, dab!

Maka ketika mendengar (lagi) Silent Night di bulan Desember ini, ada satu perasaan yang ikut menelusup diam-diam. Getir, kegetiran. Seakan Silent Night itu hadir berdampingan dengan Silent Take-over-nya Noreena Hertz.[1] *** (17-12-2019)

 

[1] Buku karangan Noreena Hertz, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, 2003

Silent Night