www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-12-2019

Repetition is the mother of all learning, pengulangan adalah ibu dari segala pembelajaran. Menghafal tidak bisa dipisahkan dengan pengulangan-pengulangan itu. Tetapi mengapa menghafal menjadi masalah di pendidikan anak-anak kita seperti diungkap oleh Mas Menteri itu? Mungkinkah karena soal menghafal ini lebih didekati dalam paradigma output daripada proses? Terlebih jika beban yang harus dipikul anak terlalu berat jika dibandingkan dengan umur psikologisnya?

Inilah mengapa guru-guru terbaik itu semestinya ada di jenjang-jenjang awal usia anak sekolah. Bahkan sampai pada TK, juga kelas 1, 2, 3, dan 4 Sekolah Dasar. Jika PAUD mau dipaksakan masuk, juga semestinya di PAUD itu adalah juga guru-guru pendamping terbaik. Mengapa harus terbaik? Karena ia terlibat dalam membangun dasar-pondasi bagi si anak, dan itu adalah anak-per-anak-nya. Yang masing-masing anak mempunyai keunikannya sendiri-sendiri. Selain itu ia juga harus mampu membangun komunikasi yang efektif dengan masing-masing orang tuanya.

Jika soal menghafal ini menjadi begitu pentingnya untuk dipermasalahkan di pendidikan kita, maka tidak ada jalan lain selain mempersoalkan seluruh paradigma pendidikan kita, yaitu untuk mau bergeser dari paradigma output ke paradigma proses. Sampai dengan anak usia 11 tahun sebaiknya tidak usah ada kenaikan kelas, atau ada naik kelas mulai di kelas 5 ke 6 SD saja. Supaya benar-benar godaan untuk kembali ke paradigma output itu bisa diminimalisir. Atau jika mau dikaitkan dengan soal hafalan dalam konteks bahasan kali ini, siswa melakukan pengulangan bukan sekedar untuk hafal demi naik kelas, tetapi memang itu bagian dari proses belajarnya. Dan seperti sudah disinggung di atas, supaya siswa dengan masing-masing keunikannya bisa didampingi dengan serius. Tanpa harus di-‘booster’ demi kepentingan naik kelas. Mungkin ada yang baru bisa baca tulis di kelas 2, atau 3 misalnya. Dan itu tidaklah masalah.

‘Kemenangan-kemenangan kecil’ yang diperoleh siswa dalam proses belajarnya itu akan sungguh berdampak di hidup lanjutannya dibandingkan ‘kekalahan-kekalahan kecil’ yang harus ditanggungnya karena saat itu ia harus dikaitkan standard output tertentu, misal yang ada dalam kenaikan kelas itu. Atau karena ia harus ‘kompeten’ dalam pelajaran tertentu. Tentu bermacam standard itu penting, selain sebagai bahan evaluasi dan yang terutama adalah pada kompetensi. Tetapi kita paham juga, kompetensi itu akan lebih mampu berlari kencang jika ia didukung potensi. Dan masing-masing anak mempunyai potensi-potensi diri yang unik. Untuk itulah mengapa pendidikan dasar semestinya lebih dititik-beratkan pada potensi, dan bukan kompetensi. *** (!5-12-2019)

Repetitio est mater studiorum