www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-12-2019

Long Live Shame! Demikian ‘slogan kecil’-nya Ben Anderson, ditulis ketika ia menulis soal nasionalisme, 20 tahun silam.[1] Tulisan yang sebenarnya bahan presentasi di ulang tahun ke 28 majalah Tempo, 4 Maret 1999. Dan saat itulah kehadiran (lagi) Ben Anderson ke Indonesia terhitung sejak 1972. Mengapa Ben Anderson membuat slogan kecil seperti itu? Karena menurut Ben, “no one can be true nationalist who is incapable of feeling ‘ashamed’ if his or her state/government commits crimes, including those against his or her fellow citizens”.

Jika kita bicara ‘today and in the future’ maka kita bisa juga menunjuk soal ‘extra-ordinary crime’, korupsi misalnya. Apakah kita masih punya urat malu lagi untuk melihat para mantan koruptor itu menaikkan tangannya berpidato berapi-api di atas panggung kampanye? Tentu mereka sudah menerima hukuman atas perilaku korup-nya di masa lalu, tetapi apakah betul kita sedang dalam keadaan ‘darurat calon’ sehingga seorang koruptor itu masih diperlukan kehadirannya untuk berseliweran di panggung politik? Ini bukan hanya masalah hak atau apalah mau dikatakan pasal-per-pasalnya, tetapi seperti dikatakan oleh Ben Anderson, apakah kita masih punya kemampuan untuk malu? Keputusan MK yang menegaskan mantan narapidana korupsi baru boleh ikut pemilihan sebagai calon setelah 5 tahun keluar dari penjara patut diapresiasi. Paling tidak itu bisa sedikit menghindarkan terhadap ‘kematian’ urat malu kita sebagai bangsa.

‘Slogan kecil’ Ben Anderson, Long Live Shame!, seperti disebut di atas jika dilihat dari kacamata Carl Schmitt bisa saja itu bukan ‘slogan kecil’ lagi, tetapi ‘slogan besar’ yang sungguh mendasar.

All significant concepts of modern theory of the state are secularized theological concepts,” demikian Carl Schmitt dalam Political Theology hampir 100 tahun lalu.[2] Menjadi ‘orang baik’ salah satunya adalah jika kita mampu mendengar suara hati nurani kita. Hati nurani merupakan keterarahan mutlak pada yang baik dan benar yang justru kita rasakan apabila berhadapan dengan situasi konkret yang bermasalah.[3] Dan itu akan secara terus-menerus ada dalam ‘supervisi’ Tuhan Segala Kebenaran. Ketika kita ‘memutuskan’ untuk tidak mendengar lagi suara hati yang mengarah pada yang baik dan benar itu, segera saja kita terasa terusik karena adanya ‘supervisi’ itu. Kita menjadi merasa bersalah, merasa malu kepada Tuhan yang ada persis di hadapan kita. Negara -dengan ‘kehati-hatian super’, bisa kita lihat sebagai bentuk sekularisasi dari Tuhan dalam bahasan Schmitt itu. Atau jika kita bicara kerajaan, yang telah dibajak oleh sang raja. Dan ketika orang-orang yang mengelola negara itu melakukan crimes, maka menjadi ‘orang-baik’ atau ‘true nationalist’ dalam hal ini, mestinya kita harus merasa malu jika tidak terusik. Atau jika ada pertanyaan, apakah anda akan loyal pada rejim atau negara? Ketika rejim ugal-ugalan melakukan kejahatan, kita harusnya malu pada negara dimana loyalitas kita tempatkan.

Bagi yang paham ‘anatomi’ di atas, dan sedang men’dalang’ lakon penguasaan dengan cerita bahwa ‘true nationalist’ bisa menjadi musuh besarnya, maka ia akan berusaha membunuh segala kemampuan untuk malu itu. Terutama malu ketika hidup bersama berubah atau menjadi seperti ini, menjadi seperti itu, yang jauh dari apa yang dibayangkan berkembangnya hidup bersama seperti yang dicita-citakan saat Proklamasi. Dan dengan pemahaman ‘anatomi’ di atas ia juga paham apa ‘unintended consequences’-nya. Karena ia sangat paham yang dihadapi adalah manusia-manusia konkret yang mempunyai hati nurani. Dan kita menjadi paham juga mengapa kemudian kegilaan omongan soal radikal-radikul itu seperti tidak pernah berhenti juga. Dasar ‘dalang’ bangsat! *** (14-12-2019)

 

[1] Benedict Anderson, Nationalism Today and in the Future, Jurnal Indonesia no 67, April 1999

 

[2] Carl Schmitt, Political Theology. Four Chapters on the Concept of Sovereignty, Trsl. George Schwab, The MIT Press, 1988,  hlm. 36

 

[3] Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Kanisius, 2006, hlm. 180

Long Live Shame!