www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-12-2019

Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang dikenal sebagai Yenny Wahid, ia menjadi staf khusus presiden bidang komunikasi politik era Gus Dur (dan juga di era SBY). Saat itu Yenny baru berusia 25 tahun. Dan kemanapun Gus Dur pergi, Yenny selalu mendampingi. Mungkin ini karena ada keterbatasan Gus Dur dalam melihat juga. Yenny sebelumnya bekerja sebagai wartawan dan sempat menjadi koresponden koran Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age antara 1997-1999. Tak jauh dari yang ditekuninya selama mahasiswa di Trisakti jurusan desain dan komunikasi visual. Yenny juga pernah aktif di partai politik (PKB) sebagai sekretaris jendral setelah Gus Dur tidak menjabat lagi sebagai presiden.

Siti Hardjianti Rukmana atau yang dikenal juga dengan Mbak Tutut, menjadi Menteri Sosial pada masa akhir Pak Harto, di tahun 1998, menjelang usianya yang ke 50. Sebelumnya pernah menjadi anggota MPR dari Fraksi Golkar selama 6 tahun yang juga sekaligus sebagai Ketua Koordinator Bidang Pemberdayaan Wanita DPP Partai Golkar (1992-1997).

Apakah Gus Dur dan Pak Harto dengan mengangkat putri-putrinya itu sedang dalam praktek nepotisme? Tidak mudah mengurai ini, tetapi jika kita dalam posisi Gus Dur, maka potensi Yenny kiranya bisa menjadi salah satu alasan dalam merekrutnya. Dan lagi, dengan keterbatasan penglihatannya, kiranya memang perlu orang yang sungguh bisa membuat diri nyaman. Tentu banyak orang yang sungguh bisa dipercaya lahir-batin, tetapi yang sungguh bisa memberikan kenyamanan tentu tidaklah banyak. Soal Pak Harto dan Tutut, baru setelah 30 tahun berkuasa ia merekrut anaknya ke dalam pemerintahan. Tentu kita bicara soal hal formal, tetapi tetaplah ini hal yang patut diapresiasi. Karena dengan segala situasi dan kondisinya, siapa yang akan menolak jika Pak Harto mau memasukkan anak-anaknya dalam pemerintahan jauh sebelum tahun 1998 itu? Dan dalam politik, paling tidak selama 6 tahun ‘sekolah’ di Golkar dan MPR itu telah memberikan bermacam pengalaman sendiri bagi Mbak Tutut.

Era SBY dan Megawati sedikit banyak memberikan warna tersendiri, terutama jika dikaitkan dengan partai-partainya. Ketika Megawati menjadi presiden, Puan Maharani sudah berumur sekitar 30 tahunan. Dan selama pemerintahan Megawati ia sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Demikian juga era SBY yang 10 tahun itu. Baik SBY dan Megawati sama-sama ‘menggunakan’ partai politik dalam 'memperkaya' anak-anaknya di bidang politik. Tentu meski kita bisa jumpalitan memberikan penilaian tetapi bagaimana-pun itu adalah dinamika internal masing-masing partai. Cocok ya masuk, nggak sepakat ya cari yang lain. Silahkan saja. Mau terpuruk atau berkembang atau stagnan, silahkan saja. Tentu sekali lagi, kita bisa (dan sebaiknya ikut) memberikan penilaian-penilaian kita, apapun itu, sebab bagaimanapun juga partai politik adalah salah satu aset berharga bagi republik.

Ketika Agus Harimurti Yudhoyono maju sebagai calon gubernur DKI di tahun 2017, AHY berumur 39 tahun –setelah menjadi tentara selama 16 tahun. Melihat catatan di Wikipedia terkait dengan karier militernya selama 16 tahun dan bermacam pendidikan yang telah dilaluinya, nampaknya berlebihan jika seorang Ikrar Nusa Bhakti menilai bahwa AHY itu sebagai ‘tentara ingusan’. Mengapa sampai sekaliber Ikrar keluar penilaian seperti itu, mungkin hanya Ikrar yang tahu pasti. Tapi lepas dari itu, bagi yang di luar lingkaran dan mengamati dari jauh, nampak sekali bagaimana SBY mencoba menggembleng anak-anaknya di kancah politik, dan itu sekali lagi seperti disebut di atas, melalui partai politik. Kalau kita memposisikan diri sebagai SBY, mungkin melihat potensi yang ada di AHY (bukan Ibas), maka kita akan juga berangan nantinya ia bisa berkiprah di panggung yang lebih luas. Dan kita sebagai orang tua akan tahu juga bahwa itu perlu gemblengan yang tidak ringan dan membutuhkan waktu. Kekalahan AHY di pilkada DKI mungkin sebenarnya sudah bisa diraba, tetapi kadang itu perlu juga sebagai gemblengan. Apalagi saat itu SBY sudah bukan lagi sebagai presiden. Lalu bagaimana dengan ‘nasib’ AHY ke depan setelah kekalahannya di pilkada DKI? Tentu tidak mudah untuk bangkit lagi, tetapi jelas itu juga bagian untuk menjadi besar nantinya. Semua akan terpulang lagi pada AHY, terlebih sekali lagi, SBY sudah bukan presiden lagi.

Bagi SBY, majunya anaknya sebagai kontestan calon eksekutif dengan ia sudah tidak menjabat lagi sebagai presiden, paling tidak ia bisa memberikan contoh bagi republik dan warganya bagaimana salah satu dimensi kekuasaan itu mesti dikelola. Bagaimana harus menahan diri demi terbangunnya hidup politik yang lebih sehat bagi republik. Dan bermartabat. *** (13-12-2019)

AHY Yang 'Ingusan' Itu