www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-12-2019

Di banyak negara kapitalis, sedikit sekali yang kemudian mengalami ‘arus balik’ menjadi negara komunis. Yang banyak terjadi adalah ia mengalami bermacam koreksi atas kritik-kritik yang diajukan oleh yang ada di sebelah kiri. Kalau toh terjadi ‘arus balik’ maka itu ada dalam bayang-bayang Perang Dingin bertahun lalu. Mengapa dari negara-negara maju itu yang sekaligus juga kita kenal sebagai negara-negara kapitalis itu dapat ‘menghindar’ dari ‘arus balik’-nya dan tidak menjadi negara-negara komunis? Atau justru apa yang dulu kita kenal sebagai dedengkotnya komunis sekarang malah menapak jalan kapitalisme?

Jika kita lihat dari sisi lain, maka sebenarnya baik kapitalisme maupun komunisme itu ‘gorengan’-nya adalah sama, soal hasrat. Hasrat dari seorang individu manusia, yang menurut Spinoza, ‘desire is the very essence of man’. Dalam kapitalisme hasrat ‘dilepas’, sedang dalam komunisme hasrat ‘dikandangi’. Tentu ini penyederhanaan agak berlebihan, tetapi dari sini pula nampaknya kita bisa meraba beberapa hal penting.

Bermacam ‘strategi dan taktik’ dalam upaya mengelola hasrat ini bisa kita telusuri dari sejarah dan literatur. Dari dengan mengandalkan adanya ‘orang baik’, kekuatan pengendali yang mak nyos, sampai pada hasrat versus hasrat. Tetapi dari bermacam itu, baik teori, ideologi, asumsi, sistem, kita juga bisa melihat bahwa akhirnya kita (kembali) bicara soal manusianya. Tentu kita bicara soal manusia dan kompleksitasnya, nilai-nilai yang melingkupinya, budaya yang membesarkannya, dan banyak lagi. Sistem check and balances dalam politik pada akhirnya juga bicara soal manusia dengan segala hasratnya.

Sekitar 5 tahun setelah Tembok Berlin runtuh di tahun 1991, Ignas Kleden pergi ke Jerman dan dalam satu kesempatan ia bertemu dengan salah satu dosen yang berasal dari Jerman Timur. Dosen itu mengatakan pada Kleden, dan ditulis Kleden dalam kolomnya di Kompas (1996): “Tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme hanya akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia. Jadi kesimpulannya: sistem kapitalisme itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain”.[1] Bagi yang melihat perkembangan tekhnologi komunikasi maka “tidak diancam oleh sistem lain” seperti kutipan di atas bisa dikatakan hampir mustahil. Mungkinkan ini yang mendorong juga ‘dedengkot’-nya komunisme itu kemudian banting stir? Suatu bentuk hubungan-hubungan kekuatan produksi yang berkembang sedemikian rupa sehingga berpotensi menggocang bangunan atasnya?

Yang bisa kita lihat di atas sebenarnya adalah kemampuan mawas diri. Kapitalisme yang akan menjadi ‘sangat kasar, buas, dan memangsa manusia’ itu akan terjadi (lagi) jika kemampuan mawas diri-nya hilang. Depresi 1930 dan langkah-langkah berikutnya bisa kita lihat juga sebagai ‘the great introspection’. Sayangnya setelah melewati ‘masa emas kapitalisme’ di era tahun 1950-1960-an akhir, kapitalisme model ‘daur ulang’, neoliberalisme, mulai merangkak naik. Glorifikasi hasrat individu kembali mengalami puncaknya. Yang dalam praktek sebenarnya adalah hasrat dari korporasi-korporasi raksasa. Atau menurut David Harvey: restorasi kelas yang berkuasa (baca: korporasi raksasa). Bagi mereka, gelombang merger adalah salah satu pilihan utama dalam meraksasa, di luar mereka seperti dikatakan Pierre Bourdieu tentang esensi neoliberalisme, yaitu ‘a programme for destroying collective structures which may impede pure market logic’.[2] Maka tidak heran salah satu kampanye mereka adalah ‘ultra-minimal-state’.

Era nasionalisme di Abad XX bukanlah gerak sejarah yang jatuh dari langit, tetapi nampaknya erat dengan pergeseran dari pax-Britanica ke pax-Americana. Woodrow Wilson selaku Presiden AS pada akhir Perang Dunia I mengintrodusir pemikiran soal self determination. Dan nampaknya ini kemudian menjadi salah satu bahan bakar yang mendorong merdekanya banyak negara di luar Eropa. Terutama yang sedang dijajah oleh negara-negara Eropa. Pernak-pernik di sana-sini jelas sangat bervariasi dan signifikan, tetapi ‘narasi besar’ itu tetaplah penting dalam keberhasilan perjuangan.

Jaman ‘kapitalisme ugal-ugalan’ ala neoliberalisme itu sekarang sudah mulai menampakkan ‘sisi iblis’-nya. Terlebih dengan tidak sungkannya lagi dinamika perang dagang antara AS dan China. Dinamika geopolitik yang mungkin tidak jauh dari dinamika Perang Dunia I dan II yang berujung pada pengibaran bendera pax-Americana itu. Dan rasa-rasanya pula, ada yang sedang membuka-buka lagi soal self determination. Ada yang kemudian memplesetkan pada soal referendum, tetapi sebenarnya itu adalah arus balik terhadap apa yang sudah disinyalir oleh Bourdieu di atas. Arus balik ketika ‘collective structures’ sudah sedemikian di’acak-acak’nya. ‘Ultra-minimal-state’ itu sedang masuk dalam upaya introspeksi di banyak tempat.

Dan si satu republik, pemimpin tertingginya sedang sibuk soal sosialisasi Pancasila pada rakyatnya. Seolah dia yang paling tahu dan rakyat goblok semua. Bukannya soal bagaimana republik berdasar Pancasila itu mampu berperilaku cerdas dengan naik gelombang ‘self-determination’ menghadapi sisi gelap neoliberalisme itu. Dan dinamika geopolitik yang membayanginya.

Hasrat-hasrat yang berserakan itu hanya akan memperoleh momentum positifnya ketika ada pemimpin-pemimpin yang benar-benar seorang famous sect –meminjam istilah Adam Smith. Karena ia mempunyai keutamaan-keutamaan lebih dari yang dipimpinnya, dan bukan yang hanya sekedar kepantasan saja. Maka kapitalisme akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia, selain karena tidak ada sistem yang mengancamnya, atau koreksi-koreksi genuinenya, ia juga karena merebaknya krisis kepemimpinan. *** (09-12-2019)

 

[1] Ignas Kleden, Sosialisme Dari Tepi Sungai Elbe, Kompas 6 Juli 1996

[2] Pierre Bourdieu, The essence of neoliberalism, https://mondediplo.com/1998/12

/08bourdieu

Arus Balik 'Banjir' Pancasila