www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-11-2019

Apakah kata-kata kasar dan ngawur yang menyerang Rizal Ramli di sosial media itu berasal dari orang-orang miskin atau hampir miskin? Atau orang-orang yang hanya lulus SD atau bahkan tidak pernah sekolah? Seperti kita ketahui Rizal Ramli termasuk yang kritis terhadap wacana Ahok masuk ke BUMN. Dan karena itu ia ‘diburu’ oleh para pendukung atau simpatisan Ahok dengan kata-kata kasar dan ngawur. Ada apa ini?

Kalau yang dicaci maki itu adalah pejabat publik kiranya tidak akan terlalu besar reaksi yang muncul di khalayak. Coba lihat bagaimana video boneka Trump jadi sasaran pukulan dan tendangan di AS sono. Tentu ‘lain ladang lain belalang’, tetapi intinya adalah sebagai pejabat publik memang salah satu ‘resiko’nya adalah ia akan dicaci dan dimaki pembayar-pembayar pajaknya. Tetapi ketika sosok seperti Emil Salim, dan sekarang Rizal Ramli yang mempunyai background juga sebagai intelektual itu diperlakukan sedemikian kasar dan ngawurnya, banyak kalangan juga bereaksi membela. Dia sedang di luar jajaran pemerintahan saat ini.

Jauh sebelum era sosial media ini meledak, Paulo Freire sudah menengarai potensi munculnya fanatisme, yaitu dimana ketika kesadaran transitif-naif itu tidak hanya tidak beranjak ke kesadaran transitif-kritis, tetapi juga yang kemudian dimanipulasi oleh elit.[1] Dan ini ditemukan Freire justru di kota-kota besar Brasil saat itu, sekitar tahun 1960-an. Pergeseran dari kesadaran semi-transitif ke kesadaran transitif-naif biasanya dengan prakondisi ketika kebutuhan-kebutuhan dasar sudah terpenuhi.

Amy Chua dalam Political Tribes (2019) mengutip pandangan Gordon W. Allport (The Nature of Prejudice, 1954) menegaskan bahwa pertemuan kongkret face-to-face akan mengikis bermacam prejudice.[2] Jika kita melihat juga pemikiran Emmanuel Levinas, apa yang ditekankan oleh Allport itu akan mendapatkan penguatan filosofisnya. Maka di dunia sosial media yang merebak sekarang ini, dimana face-to-face semakin terpinggirkan, fanatisme menjadi lebih besar untuk menjadi fakta faktual dibanding dengan yang diamati Fraire 50 tahun lalu.

Akankah bermacam hal itu akan berujung pada banality of evil seperti ditunjuk Hannah Arendt terkait kekejaman Nazi di bagian pertama abad 20 itu?

Nampaknya ini akan tergantung bagaimana dilema antara profit-making motive dalam kapitalisme dan demokrasi seperti ditunjukkan Harold J. Laski sekitar 90 tahun lalu itu akan dikelola. Atau dalam konteks republik, kegilaan profit-making motive dalam ‘kapitalisme’ a la oligarki-pemburu rente dan demokrasi. Sebuah dilema yang di dalamnya menyimpan salah satu fakta potensial berupa jalan mudah yang begitu menggoda, fasisme.[3] *** (23-11-2019)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/422-Dari-Freire-ke-Milgram/

[2] Amy Chua, Political Tribes, hlm. 199

[3] Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, hlm. 131

Rizal Ramli vs Para Fanatik