www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-11-2019

Amandemen UUD 1945 di awal-awal reformasi melahirkan istilah ‘efisiensi berkeadilan’ di pasal 33. Jika melihat Penjelasan UUD 1945 yang sudah di-amandemen itu, maka penggalan istilah itu haruslah dipahami juga suasana kebatinan yang mengiringi kelahirannya. Dan itu akan segera nampak bagaimana bersitegangnya antara pendukung efisiensi dan keadilan. Atau jelasnya, pendukung paradigma neoliberalisme dan kerakyatan. Atau dalam kata-kata Polanyi, antara yang disembedded economy dan yang embedded economy.

Kalau memang self regulating market itu begitu sempurnanya, mengapa ada perang dagang? Dari ini saja kita bisa melihat bahwa apa yang dinamakan sebagai disembedded economy yang kemudian meng-ultra-minimalkan peran negara itu adalah sebatas klaim saja. Klaim yang muncul karena sifat egois yang sudah menggila. Lupa bahkan Adam Smith sendiri tidak kemudian mengubur peran negara, meski sifatnya terbatas pada hal-hal tertentu.

Jika kita melihat tulisan Prof Soemitro di tahun 1975[1] itu bisa juga dilihat dari kacamata ‘efisiensi berkeadilan’ ini, yaitu bagaimana pergulatan antara efisiensi dan berkeadilan ini ikut terlibat dalam penghayatan akan perkembangan teknologi. Penghayatan obsesif terhadap yang serba digital seperti sekarang ini bisa-bisa berujung pada kegelisahan akan keadilan. Obsesif akan dekat dengan pengertian absolut, dan itu akan berakibatkan meminggirkan hal lainnya.

Kepemimpinan heroik dimaksudkan adalah kepemimpinan yang sungguh tidak pernah menyerah atau berhenti untuk mencapai yang lebih baik, atau bahkan yang terbaik. Terbaik dalam hal apa? Dalam urusan republik, terbaik dalam (1) melindungi bangsa dan tumpah darah, terbaik dalam (2) memajukan kesejahteraan umum, terbaik dalam (3) upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan terbaik dalam (4) pergaulan antar-bangsa. Dan ia akan terus didorong oleh adanya elan vital yang terus menghidupi lumbung energinya dalam mencapai yang terbaik itu, elan vital akan kehormatan, kemartabatan kemanusiaan dengan selalu menantang segala bentuk penjajahan, semangat dasar dari Proklamasi yang dapat diraba denyutnya dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Dalam mengelola republik menuju empat hal di atas, ia mendasarkan diri pada sila-sila Pancasila yang ada di bagian akhir Pembukaan. Yang intinya adalah pada yang terakhir, menuju terwujudnya keadilan sosial. Maka pertanyaannya, bagaimana efisiensi itu dapat ikut terlibat dalam upaya mewujudkan keadilan sosial itu?

Apakah hanya sosok super-hero Marvelian yang mampu merengkuh hal-hal di atas? Atau seorang Ratu Adil? Tidaklah ..., paling tidak jika kita mau belajar dari apa yang terjadi di tempat lain maka kita akan yakin tidaklah perlu seorang super-hero atau Ratu Adil. Yang membuat kita prihatin terkait dengan hal ini adalah justru wira-wiri-nya tokoh antagonisnya, si-economic hitman/woman itu.

 Tetapi ada pengalaman yang mungkin kita bisa belajar, yaitu bagaimana soal efisiensi dan keadilan ini tidak pertama-tama sebagai ‘satu-kesatuan-harmonis’, tetapi sebagai dinamika yang berhadapan. Efisiensi yang kebablasan akan diperingatkan oleh keadilan dan keadilan yang ngelamun akan ‘dikoreksi’ oleh efisiensi. Efisiensi yang lebih ‘diperanakkan’ oleh free market survival of the fittest itu dan keadilan sosial yang akan mencari jalannya untuk mengurangi kesenjangan-keretakan yang dihasilkan. Atau, katakanlah di AS sono, Partai Republik yang ‘gas-pol’ dengan Partai Demokrat yang siap-siap ‘cuci piring’ sehingga hidup bersama bisa dipertahankan. Tentu ini adalah juga soal spektrum, atau jika dulu titik A adalah ‘kanan’ mungkin saja sekarang sudah dirasakan sebagai lebih ‘kiri’. Tetapi bagaimana jika pemilunya curangnya gila-gilaan? Akankah mawas diri itu akan berjalan?

Atau ada pemikiran lain? *** (16-11-2019)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/

Efisiensi Berkeadilan dan 'Heroic Leadership'

gallery/pinokio2