www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-11-2019

Baru setengah jalan, itupun masih beberapa bulan lagi. Itulah yang sudah dijalani oleh Gubernur DKI Anies Baswedan sejak dilantik Oktober 2017 lalu. Publikpun bisa melihat apa yang sudah dikerjakan dan yang sedang atau masih dalam rencana. Jika dibandingkan dengan janji-janji kampanyenya, kita bisa belajar banyak bagaimana semestinya seorang pemimpin itu selalu berusaha menepati apa yang pernah diucapkannya. Dari lontaran-lontarannya kita bisa melihat semestinya pemimpin itu juga sedapat mungkin mencerahkan, ikut mencerdaskan yang dipimpinnya. Ia harus sadar pula bahwa ia adalah juga ‘model’ bagi warga yang dipimpinnya. Memang menjadi pemimpin itu akan terbebani banyak hal, tidak ada pemimpin yang tanpa beban, makanya tidak semua mau, tidak semua mampu.

Janji (kampanye) itu laksana sebuah pulau kepastian di tengah samudera ketidak-pastian[1]. Pemilihan umum adalah sebuah peristiwa atau sebuah tempat di mana khalayak akan memilih ‘pulau kepastian’ mana yang paling menarik untuk dituju dan memulai perjalanan mengarungi samudera selama 5 tahun ke depan. Dan jika kemudian pulau itu semakin melenyap dari peta, maka tentu warga dalam kapal republik itu akan gundah, kecewa, dan bisa saja marah. Mereka bisa merasa tertipu. Kenyamanan sebagian besar warga DKI dalam konteks ini mungkin juga terkait dengan tidak melenyapkan ‘pulau kepastian’ yang ditawarkan Anies selama masa kampanye. Hal yang sungguh berbeda dengan apa yang kita rasakan di level republik selama 5 tahun terakhir ini. Atau bahkan melanjut 5 tahun ke depan?

Fokus itu mengandung energi yang dahsyat. Coba kita bayangkan ketika sinar matahari kita fokuskan pada satu titik di atas kertas, ia akan membakarnya. Dari banyak teori keadilan, dari Platon kita bisa gunakan lebih untuk meraba potensi ketidak-adilan. Platon berdasarkan tripartit jiwanya kemudian membayangkan bahwa hidup bersama dalam polis itu ada tiga pembedaan dalam masyarakat, ada yang sebagai filsuf raja, ada yang tentara, dan pedagang/petani. Keadilan akan mewujud ketika masing-masing menjalankan tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab. Jika kita baca melalui sudut pandang ketidak-adilan, maka ini bisa kita gunakan sebagai deteksi dini potensialnya ketidak-adilan mewujud. Yaitu ketika masing-masing kemudian tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Cobalah kita lihat ulang apa yang terjadi selama 5 tahun terakhir, ‘menteri segala urusan’ yang sering loncat pagar itu misalnya. Apa yang kita rasakan? Selain menjengkelkan, perlahan mulai semakin nampak ada yang salah dari ‘pethakilan’-nya. Udang di balik banyak batu itu semakin menggelisahkan saja.

Bagi kaum Stoa, dikenal ada pembedaan, apa yang tergantung pada kita dan tidak. Ini sebenarnya juga terkait erat dengan masalah fokus. Sebaiknya memang fokus pada apa yang tergantung pada kita. Contoh soal banjir misalnya, meski limpahan air dari luar Jakarta bisa menjadi penyebab utama, fokus pada apa yang sepenuhnya tergantung pada apa yang bisa dikerjakan di Jakarta adalah terpenting. Tentu tetap ada upaya melobi pusat atau yang lain soal ini, termasuk juga media massa tentunya. Sebagai pejabat publik terpilih, Anies memang sebaiknya fokus pada relasi keterpilihannya, pada apa yang dulu diperjanjikan. Dan dia mempunyai bermacam sumber daya di tangan. Termasuk juga dalam memberikan sangsi pada bawahan yang nyata-nyata tidak mendukung upayanya itu. Tetapi soal komentar orang luar, relatif itu tidak tergantung padanya. Tentu apapun komentar itu harus didengarkan dan siapa tahu bisa jadi masukan yang baik dalam perjalanan. Maka jika perlu ditindak-lanjuti dalam dialog terbuka. Tetapi tentu saja tidak semua harus direspon.

Bagi yang penuh kelicikan dan laku liciknya itu bisa sangat erat bersinggungan dengan keadilan-ketidak-adilan, maka soal fokus itu bisa menakutkan, atau paling tidak akan mengganggu (kelicikannya). Ketika dia mau berperilaku semau-maunya karena sedang pegang kuasa, maka ‘melaksanakan kewajiban sesuai dengan fungsi dan tugas’-nya bisa-bisa justru akan ‘nyrimpeti’. Ngunthet-ngutil-urik-kong-ka-li-kong-kkn-nya bisa menjadi tidak leluasa. Maka apa yang dikatakan Noam Chomsky itu bisa jadi benar.[2] Bagaimana jelas-jelas di depan mata berkembang laku mbèlgèdès tapi tetap saja ia bisa terpilih kembali. Bagi Noam Chomsky, selama publik terus dibatasi, dialihkan perhatiannya, dan tidak punya akses untuk berorganisasi atau menyatakan sentimennya, atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama, keadaan tidak akan berubah.[3] Keadaan yang tidak berubah itu bisa juga berarti laku-laku serba mbèlgèdès itu, ngunthet-ngutil-kong-ka-li-kong-annya itu terus saja berlangsung aman sentosa. Apalagi jika sampai saatnya kontestasi, tinggal ditambah urik abis, curang habis-habisan.

Maka ketika ‘pulau janji’ itu semakin melenyap ditelan samudera ketidak pastian, mereka bisa saja mengajukan ‘pulau-pulau’ lain. Fokus dialihkan ke ‘pulau-pulau’ lain yang mungkin saja sebenarnya itu sebuah ‘pulau’ sudah tanpa penghuni lagi.

Baru setengah jalan, itupun masih beberapa bulan lagi. Kita sungguh beruntung bisa belajar dari bagaimana perahu DKI itu berlayar menuju pulau janjinya, di bawah nahkoda Anies. Dan sungguh akan lebih menarik di separoh napas berikutnya. Karena nampaknya akan semakin banyak gelombang besar yang menerjang. Kita menunggu di Oktober 2022 itu. Sementara ini, tidak di 2024. Itu kita tunda dulu. Menunda bukan berarti menghapus. *** (12-11-2019)

 

[1] Adeline MT, Hannah Arendt Seorang Pesimis? dalam Jurnal Driyarkara, No.1 September 2002, hlm. 131

[2] https://www.pergerakankebangsaan.

com/041-Belajar-Dari-Noam-Chomsky/

[3] Ibid

Baru Setengah Jalan

gallery/jpo tanpa atap